Anarki dan Nihilisme Penguasa Dunia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jimmy-h-siahaan-5'>JIMMY H SIAHAAN</a>
OLEH: JIMMY H SIAHAAN
  • Sabtu, 04 Oktober 2025, 06:15 WIB
Anarki dan Nihilisme Penguasa Dunia
Ilustrasi. (Foto: iStock)
DAVID Jamieson, seorang jurnalis dan aktivis Skotlandia mengulas buku karya Robert David Kaplan yang paling berpengaruh "The Coming Anarchy”. Buku itu diterbitkan di The Atlantic Monthly pada tahun 1994 dan terakhir berjudul "Waste Land: A World in Permanet Crisis" (2025).

Kritikus artikel tersebut membandingkannya dengan tesis Clash of Civilizations milik Samuel P. Huntington, karena Kaplan menyajikan konflik di dunia kontemporer sebagai perjuangan antara primitivisme dan peradaban. 

Tema lain yang sering muncul dalam karya Kaplan adalah munculnya kembali ketegangan budaya dan sejarah yang sementara ditangguhkan selama Perang Dingin.

Pada 2011 dan 2012, majalah Foreign Policy menobatkan Kaplan sebagai salah satu dari 100 pemikir global teratas dunia. 

Pada 2017, Kaplan bergabung dengan Eurasia Group, sebuah konsultan risiko politik, sebagai penasihat senior. Pada tahun 2020, ia diangkat sebagai Robert Strausz-Hupé Chair dalam Geopolitik di Foreign Policy Research Institute .

Begitu banyak tulisan tentang optimisme naif tahun 1990-an sehingga menghancurkannya kini terasa sia-sia, bahkan pengecut. Hanya sedikit pemikir yang dikritik habis-habisan (atau disalah artikan secara luas) seperti Francis Fukuyama dan peresmiannya tentang "Akhir Sejarah dan Manusia Terakhir". 

Apa yang bisa dibaca sebagai prognosis yang agak suram berakhirnya perjalanan epik kemajuan manusia dalam paradigma liberal yang gagal memuaskan kerinduan manusia sejak itu umumnya diterima sebagai klaim arogansi terhadap utopia duniawi.

Salah satu mitos yang menyelimuti teks tersebut berdiri sendiri dan berbicara dengan suara bulat, setidaknya dikalangan elit. Namun, selalu ada perbedaan pendapat. 

Sisi pesimisme elit menemukan suaranya yang paling jelas dalam diri filsuf Inggris John Gray dan pakar hubungan internasional realis AS, John Mearsheimer. 

Dalam versi yang lebih pedas, seperti "The Clash of Civilizations" karya Samuel Huntington, pemikiran semacam itu membayangkan skenario dimana konflik peradaban akan menggantikan perjuangan ideologis abad ke-20.

Robert Kaplan memantapkan dirinya sebagai bagian dari gerakan ini melalui esainya tahun 1994, "The Coming Anarchy". Peringatan tentang kekacauan pasca perang dingin, tentang geografi kekacauan baru yang akan terbebas dari kebuntuan antar kekaisaran, membuatnya didengarkan di kalangan Washington yang sedang berjuang untuk memahami ruang lingkup dan fungsi kekuatan global AS.

Campuran ketakutan histeris dan perhitungan imperialis yang amoral ini masih mewarnai pemikiran Kaplan hingga kini. Yang berubah adalah hilangnya kepercayaan pada para nabi Abad Amerika dan keyakinan bahwa "anarki" akhirnya tiba dengan segala kengeriannya.

Omong kosong yang membingungkan seperti ini tersebar di seluruh buku, memberi kesan seorang penulis yang telah dimanjakan dengan sanjungan dan jarang ditantang.

Kesimpulan yang sinis dari karya terbaru Kaplan, "Waste Land: A World in Permanent Crisis", hanya sedikit teredam oleh kekonyolan beberapa prosanya. "Sejarah itu Shakespearean sekaligus geopolitik," renung Kaplan di awal karena sejarah adalah masalah kontinjensi. 

Buku singkat ini hanya memuat sedikit gagasan, dan penulisnya mengulang serta menentangnya dengan frekuensi yang menjengkelkan. Kita mendapatkan interpretasi yang dangkal dari tokoh-tokoh konservatif yang umum: 

Pembangkang Soviet Aleksandr Solzhenitsyn, ahli botani peradaban Jerman Oswald Spengler, ekonom dan pembenci manusia Thomas Malthus. Berharap terlihat banyak dibaca, Kaplan justru terkesan mudah terkesan.

Karena gagal mengembangkan kelas menengah yang kuat sebelum revolusi, Rusia tidak memiliki budaya tandingan untuk mengusir roh jahat ini. "Karena anarki adalah kondisi permanen bagi spesies ini," jelas Kaplan, 

"Komunisme dan fasisme tidak pernah benar-benar mati, melainkan hanya dalam kegelapan," tambahnya.

Dengan angkuh para penguasa, menolak nihilisme mencela politik massa dan demokrasi sebagai pengalihan bodoh dan kebenaran gelap. Dunia telah berubah menjadi keruntuhan yang penuh kebencian menuju nihilisme yang sembrono.

Tiga Raksasa Dunia

Amerika, Rusia, dan Tiongkok saat ini memainkan peran dalam persaingan dunia. Ketiganya memainkan warna dan kartu yang terus bekerja dalam dua empat jam setiap hari.

Kartu Poker Texas, Kartu Rolet Russia, Kartu Dou dizhu (Dadu) Tiongkok adalah permainan yang terus dijalankan dalam kehidupan dunia.

Dunia dan dinamika terus berjalan dalam persaingan dan masing-masing ingin memperkuat posisi politik, ekonomi dan militer. Sepertinya Dunia selalu dalam krisis permanen, anarki dan nihilisme. rmol news logo article

*Penulis adalah Eksponen Gema 77/78

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA