Rebranding Bank DKI

OLEH: SUGIYANTO*

Rabu, 25 Juni 2025, 02:39 WIB
Rebranding Bank DKI
Logo Bank Jakarta/Net
MANAJEMEN Bank DKI melakukan perubahan atau rebranding nama dan logo menjadi Bank Jakarta yang merupakan salah satu bentuk transformasi strategis untuk menatap masa depan dengan cara baru, cara yang lebih kuat, adaptif dan profesional.

Peresmian nama baru Bank Jakarta itu dilakukan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung pada Minggu 22 Juni 2025, dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-498 Kota Jakarta. 

Rebranding ini bukan sekadar pergantian nama dan logo, melainkan merupakan langkah strategis dalam proses transformasi menyeluruh untuk memperkuat tata kelola, meningkatkan profesionalisme, serta mendukung posisi Jakarta sebagai kota global.

Singkat kata, Pramono berharap perubahan ini menjadi bagian dari reformasi besar terhadap manajemen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tersebut. Rebranding ini juga merupakan tahap awal dari persiapan Bank Jakarta untuk melantai di bursa saham melalui penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) pada tahun 2026.

Dalam konteks ini saya meyakini bahwa Pramono Anung mengambil kebijakan rebranding Bank DKI sebagai respons terhadap gangguan layanan yang terjadi pada malam takbiran Idulfitri 1446 Hijriah dan beberapa hari setelahnya. 

Berangkat dari permasalahan tersebut, Pramono menggagas rebranding Bank DKI dan menyebut dua opsi nama baru: Bank Jakarta atau Bank Global.

Atas munculnya gagasan rebranding Bank DKI tersebut, dalam hati saya berkata, “Masyarakat Jakarta patut bersyukur memiliki gubernur dan pemimpin yang memahami konsep manajemen krisis dan ekuitas merek.”

Artinya, gagasan rebranding mungkin dapat dimaknai sebagai langkah cepat dan cerdas yang diambil Pramono Anung untuk memulihkan kepercayaan publik. 

Krisis Moneter 1997-1998

Terkait persoalan perbankan, kita tentu masih mengingat bahwa Indonesia pernah mengalami fenomena rush money pada tahun 1997-1998, saat negara ini dilanda krisis ekonomi yang sangat berat.

Kondisi tersebut memicu kepanikan masyarakat dan penarikan dana secara besar-besaran (bank run) dari berbagai bank, sehingga hampir seluruh perbankan nasional mengalami krisis likuiditas yang parah.

Untuk menyelamatkan sistem perbankan, pemerintah bekerja sama dengan IMF dan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Januari 1998 melalui Keputusan Presiden No. 27 Tahun 1998. 

BPPN diberi mandat untuk melakukan restrukturisasi perbankan, menyelesaikan aset bermasalah, serta memulihkan dana negara. Namun, karena kinerjanya dinilai tidak memuaskan, BPPN dibubarkan pada tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sebagai bagian dari upaya penanggulangan krisis, pemerintah dan Bank Indonesia menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, penyaluran BLBI kemudian diduga menjadi skandal besar karena diduga sarat penyimpangan dan penyalahgunaan dana oleh sejumlah pihak penerima.

Masalah lain yang masih hangat dalam ingatan publik adalah kasus Bank Century. Kasus ini menimbulkan pro dan kontra karena melibatkan Bank Century yang tergolong bank kecil. 

Namun, Sri Mulyani, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dianggap memiliki peran penting dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Kasus ini kemudian diduga merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.

Dua contoh kasus di atas menggambarkan bahwa persoalan perbankan yang berkaitan dengan kepercayaan publik dapat menimbulkan dampak luas dan serius, bahkan terhadap stabilitas negara.

Oleh karena itu, setiap permasalahan di sektor perbankan yang menyangkut kepercayaan publik harus segera ditangani dengan solusi yang tepat, cepat, dan menyeluruh.

Dalam hal ini, kepercayaan dan respons masyarakat dapat menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan masalah. Namun, di sisi lain, hal tersebut juga bisa menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan bisnis perbankan.

Menuju Kota Global Peringkat 50 Dunia

Pramono menargetkan agar Jakarta masuk dalam 50 besar kota global dunia pada tahun 2029. Saat ini, Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 kota, berdasarkan laporan Global City Index 2024.

Survei Litbang Kompas pada 10-14 Juni 2025 terhadap 400 warga Jakarta menunjukkan bahwa kota ini memiliki modal sosial yang kuat untuk mencapai target tersebut. Sebanyak 87,9 persen responden menyatakan dukungan terhadap arah pembangunan Jakarta sebagai kota global, meskipun tidak lagi menyandang status ibu kota negara.

Publik juga berharap Pramono mampu mewujudkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Jakarta. Sebab, keberhasilan sebuah kota global tidak semata-mata diukur dari kemegahan fisik, melainkan dari kualitas hidup dan kesejahteraan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Sebagai penutup, saya meyakini bahwa di bawah kepemimpinan Pramono, hasil survei Litbang Kompas yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap upaya mengatasi ketimpangan ekonomi -- yang saat ini baru mencapai 33,3 persen -- akan mampu dibalik, menjadi tingkat kepuasan yang mencapai 66,7 persen. Aamiin.rmol news logo article

*Penulis adalah Pemerhati Masalah Perkotaan



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA