Menyadari hal itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan program prioritas 2025 yang mengintegrasikan pengenalan coding, AI, serta penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pilar transformasi pendidikan nasional.
Upaya ini bukan sekadar respons terhadap tren global, melainkan langkah strategis untuk mempersempit kesenjangan literasi digital di Tanah Air. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Finlandia, dan Singapura sudah memasukkan coding sejak jenjang dasar.
Indonesia, dengan potensi demografi yang luar biasa, perlu mengejar ketertinggalan agar anak-anak kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pencipta teknologi.
Pengenalan coding dan AI sejak pendidikan dasar bertujuan membangun kecakapan abad ke-21: berpikir kritis, kreativitas, pemecahan masalah, serta kolaborasi. Tidak hanya mengajarkan teknis pemrograman, proses ini juga membentuk cara berpikir sistematis dan adaptif. AI, yang sebelumnya terdengar abstrak, dapat diperkenalkan melalui media yang kontekstual dan menyenangkan, seperti permainan edukatif atau simulasi interaktif. Ini selaras dengan prinsip project-based learning yang mendorong keaktifan siswa dan pembelajaran bermakna.
Untuk mewujudkan program ini, peran guru sangat krusial. Guru tidak harus menjadi pakar teknologi, tetapi difasilitasi melalui pelatihan berkelanjutan, akses ke modul yang aplikatif, dan dukungan komunitas belajar. Pemerintah juga perlu memastikan pemerataan infrastruktur digital agar anak-anak dari pelosok desa hingga kota metropolitan mendapat kesempatan belajar yang setara.
Komplementer terhadap pengenalan teknologi adalah penerapan TKA sebagai sistem evaluasi pembelajaran yang lebih humanis dan relevan. TKA menggeser paradigma penilaian yang selama ini terfokus pada hafalan, menuju asesmen yang mengukur pemahaman konsep, kemampuan berpikir kritis, dan penerapan pengetahuan dalam konteks nyata.
Dengan TKA, capaian belajar siswa tidak lagi dinilai sebatas angka di rapor, melainkan melalui instrumen yang lebih objektif, terstandar, dan adil di seluruh Indonesia.
Selain menjadi alat evaluasi, TKA juga memberikan umpan balik penting bagi guru dan sekolah untuk merancang intervensi pembelajaran yang lebih tepat sasaran. Hasil TKA dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan capaian belajar antarwilayah dan kelompok sosial, sekaligus membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang berbasis data.
Namun, keberhasilan TKA sangat bergantung pada komunikasi publik yang jernih. Penting ditegaskan bahwa TKA bukan reinkarnasi Ujian Nasional yang bersifat menentukan kelulusan, melainkan instrumen penguatan mutu. Perlu disosialisasikan bahwa TKA bersifat opsional dan melengkapi penilaian guru, tidak menggantikannya.
Tantangan tentu ada, mulai dari kesiapan infrastruktur hingga potensi kesenjangan antarsekolah. Oleh karena itu, pendekatan kolaboratif antara pemerintah pusat, daerah, guru, komunitas pendidikan, dan masyarakat menjadi kunci.
Terlebih, kolaborasi dalam pengembangan soal TKA di jenjang SD dan SMP yang melibatkan pemerintah daerah merupakan langkah penting dalam membangun rasa kepemilikan bersama terhadap kebijakan ini.
Dengan semangat gotong royong dan visi jangka panjang, pengenalan coding, AI, serta TKA diharapkan tidak hanya mengubah wajah kurikulum, tetapi juga mendorong transformasi budaya belajar di sekolah. Siswa tidak lagi belajar sekadar untuk lulus ujian, melainkan untuk menjadi pembelajar sejati, pencipta solusi, dan pemimpin masa depan yang siap menghadapi tantangan dunia digital yang dinamis.
Transformasi pendidikan melalui pengenalan coding, AI, dan penerapan TKA merupakan langkah strategis yang akan memperkuat daya saing bangsa di era digital. Dengan kolaborasi lintas sektor dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat melahirkan generasi yang cerdas, kreatif, dan adaptif, yang mampu menjawab tantangan zaman dan membangun masa depan yang lebih baik.
*Penulis adalah Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
BERITA TERKAIT: