Status Pulau dan Kriteria UNCLOS
UNCLOS Pasal 121 mendefinisikan pulau sebagai "daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi oleh air, dan tetap berada di atas permukaan air pada saat pasang naik". Keempat pulau memenuhi definisi ini kecuali Pulau Lipan yang dilaporkan tenggelam saat air pasang tinggi. Berdasarkan UNCLOS Pasal 121(1), Pulau Lipan tidak lagi memenuhi syarat sebagai "pulau" dan berpotensi diklasifikasikan sebagai "low-tide elevation" (fitur yang muncul saat surut).
Hal ini memiliki implikasi signifikan terhadap penetapan batas maritim jika fitur tersebut berada di luar 12 mil laut dari daratan terdekat. Tiga pulau lainnya (Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil) tetap berstatus pulau berdasarkan definisi UNCLOS.
Pengaruh Status Pulau terhadap Klaim Maritim
Pulau sejati berhak memiliki laut teritorial (12 mil), zona tambahan (24 mil), Zona Ekonomi Eksklusif - ZEE (200 mil), dan landas kontinen (Pasal 121 UNCLOS). Kepemilikan atas pulau-pulau ini akan memengaruhi klaim maritim Indonesia di wilayah tersebut, termasuk hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam.
Pulau Lipan, jika statusnya berubah menjadi low-tide elevation, tidak berhak memiliki laut teritorial, ZEE, atau landas kontinen sendiri. Keberadaannya hanya dapat digunakan sebagai titik dasar pengukuran jika berada dalam jarak 12 mil laut dari pulau terdekat atau daratan utama.
Kedekatan dengan Blok Migas dan Nilai Strategis
Lokasi keempat pulau yang berdekatan dengan Wilayah Kerja Migas Offshore West Aceh (OSWA/Blok Singkil) dan Offshore North West Aceh (ONWA/Blok Meulaboh) yang memiliki potensi hidrokarbon signifikan (gas hingga 296 BCF dan 1.1 TCF, minyak ~192 MMBO) menyoroti nilai ekonomi dan strategis pulau-pulau tersebut.
Kepemilikan pulau dapat memengaruhi persepsi atau klaim terkait dengan wilayah kerja migas di sekitarnya, meskipun Kemendagri menegaskan penetapan batas administratif tidak mempertimbangkan potensi migas dan merupakan kewenangan Kementerian ESDM.
Klaim Historis Vs Penetapan Administratif
Klaim Gubernur Aceh berdasarkan bukti historis, perbatasan, dan iklim merupakan argumen politik-administratif dalam konteks hukum nasional. UNCLOS tidak secara langsung mengatur resolusi sengketa batas administratif internal suatu negara. Namun, klaim sejarah sering kali menjadi dasar bagi entitas sub-nasional dalam memperjuangkan hak pengelolaan wilayah dan sumber dayanya.
Keputusan Kemendagri 2025 merupakan tindakan penetapan batas administratif internal oleh pemerintah pusat. Meski Aceh menolak berdasarkan sejarah, secara hukum internasional, Indonesia sebagai negara berdaulat berhak menentukan pembagian administratif internalnya, selama tidak melanggar kewajiban internasional atau hak otonomi khusus (seperti yang dimiliki Aceh).
Status Pulau dan Pendudukan
Keempat pulau dilaporkan tidak berpenduduk tetap. UNCLOS tidak mensyaratkan penghunian untuk status suatu pulau atau hak maritimnya. Namun, keberadaan bukti fisik seperti dermaga, tugu batas, rumah singgah, mushola, dan makam yang dibangun oleh Pemerintah Aceh di beberapa pulau (terutama Panjang) dapat digunakan sebagai bukti pengelolaan dan klaim administratif historis oleh Aceh dalam konteks sengketa internal ini.
Imbas Perubahan Fisik (Pulau Lipan)
Hilangnya daratan Pulau Lipan akibat kenaikan muka air laut merupakan contoh nyata dampak perubahan iklim terhadap klaim maritim. Perubahan fisik ini secara langsung mempengaruhi status hukum pulau tersebut menurut UNCLOS dan berpotensi mengubah konfigurasi garis pangkal untuk pengukuran batas maritim di area tersebut.
Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut, meskipun pada dasarnya adalah masalah penetapan batas administratif internal Indonesia, memiliki dimensi penting dalam kerangka Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Status keempat pulau, terutama kriteria "tetap di atas air saat pasang" (Pasal 121), menjadi fondasi bagi hak maritim yang melekat.
Perubahan fisik Pulau Lipan yang menyebabkan tenggelam saat pasang tinggi secara tegas mengubah status hukumnya menurut UNCLOS, berpotensi mengurangi klaim maritim yang berasal darinya.
Kedekatan pulau-pulau dengan blok migas potensial (OSWA dan ONWA) menambah kompleksitas dan nilai strategis sengketa ini. Klaim historis dan bukti pengelolaan oleh Aceh berhadapan dengan kewenangan penetapan batas administratif pemerintah pusat melalui Kepmendagri 2025.
Penyelesaiannya memerlukan pendekatan hukum nasional yang komprehensif, mempertimbangkan otonomi khusus Aceh, bukti historis dan geografis, serta implikasi prinsip-prinsip UNCLOS, terutama terkait status pulau dan dampak perubahan iklim terhadap fitur geografis.

*Penulis adalah Kadep Kejuangan PEPABRI, Kabid Jianstra Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut (PPAL), dan Anggota Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri (FOKO).
BERITA TERKAIT: