BEBERAPA tahun lalu, saya berdiri di antara lumpur dan akar-akar bakau di pesisir utara Jakarta. Bersama sejumlah relawan, saya ikut menanam mangrove dalam sebuah program pemulihan kawasan pantai yang telah lama terdegradasi. Tak lama kemudian (24 Juni, 2022), saya ikut hadir dalam kegiatan Yayasan Bakaumu yang berkolaborasi dengan Kejaksaan Agung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pelaku industri jasa keuangan, dan berbagai elemen masyarakat untuk membangun program mangrove berkelanjutan.
Saya menyaksikan sendiri: ketika kehijauan tidak hanya menjadi ajakan moral, tetapi masuk dalam desain kebijakan dan arsitektur keuangan, maka dampaknya menjadi sistemik. Bukan sekadar menanam pohon, tetapi menanam cara pandang baru terhadap risiko, nilai ekonomi, dan masa depan.
Namun ironisnya, di banyak meja rapat pemerintahan, isu “hijau” masih dianggap sebagai kemewahan. Ia dinilai cocok untuk LSM, korporasi multinasional, atau kota-kota di utara bumi yang telah selesai dengan urusan perut. Di republik ini, sebagian kalangan masih menganggap keberlanjutan sebagai urusan nanti -setelah jalan, jembatan, dan bendungan selesai dibangun.
Namun sejarah selalu menyimpan paradoks. Ketika kita sibuk membangun, kita lupa bahwa apa yang kita bangun akan menjadi beban bila tak menyatu dengan daya dukung bumi. Dan ketika krisis iklim melanda, ia tak memilih siapa yang kaya atau siapa yang masih ingin tumbuh.
Saya tidak sedang berkampanye hijau. Tapi saya mengajak kita semua -terutama mereka yang duduk di ruang-ruang perencanaan negara- untuk melihat bahwa green bukan musuh pembangunan, melainkan jalan tengah yang bisa menjembatani masa kini dan masa depan, antara APBN hari ini dan generasi yang akan menanggung akibatnya.
Indonesia sedang berpacu dengan waktu. Dari Ibu Kota Nusantara hingga kawasan transmigrasi di perbatasan, dari proyek jalan tol hingga kawasan industri hijau, semua membutuhkan panduan baru: pembangunan yang tak mematikan napas tanah, udara, dan air kita sendiri.
Presiden telah menyampaikan dengan jelas: pembangunan harus menyejahterakan rakyat dan menjaga keutuhan wilayah. Tapi di tengah mandat besar ini, saya menyaksikan betapa sedikitnya ruang bagi narasi hijau untuk berbicara dalam bahasa kebijakan.
Sebagai bagian dari masyarakat yang ikut berharap pada kesuksesan agenda pembangunan kewilayahan dan percepatan program transmigrasi di era Presiden Prabowo, saya melihat ruang berharga untuk melengkapi agenda tersebut dengan pendekatan pembangunan yang berpihak pada lingkungan dan masa depan.
Beberapa waktu lalu, saya melakukan riset akademik di salah satu bandara terbesar di Indonesia. Di sana saya menyaksikan bahwa transformasi hijau tidak hanya mungkin, tapi justru sedang ditunggu -oleh konsumen, oleh investor, dan oleh semangat zaman. Temuan-temuan dari riset ini akan saya uraikan secara bertahap dalam catatan-catatan berikutnya.
Kita tak sedang menawarkan utopia. Kita bicara tentang cara agar bendungan tidak menyebabkan bencana, agar jalan tidak merusak ruang hidup, agar kawasan ekonomi baru tidak mengulang logika kolonial: eksploitasi dan penyingkiran.
Jika green branding bisa menjadi senjata pemasaran di sektor swasta, mengapa tidak kita jadikan sebagai alat diplomasi kewilayahan?
Jika rakyat sudah mulai membeli produk dengan label “ramah lingkungan”, mengapa negara justru ketinggalan dalam membangun narasi “pemerintahan ramah bumi”?
Kita sedang membentuk wajah baru republik. Di situlah letak pertaruhannya: apakah kita akan menjadi negara berkembang yang terus mengejar ketertinggalan sambil mengabaikan ekosistem? Atau kita berani menciptakan model pembangunan baru: tumbuh dengan menanam, membangun tanpa merusak, dan memperkaya tanpa menguras.
Di tengah perubahan iklim, narasi pembangunan tidak bisa netral. Ia harus berpihak: pada keberlanjutan, pada rakyat, dan pada masa depan yang tetap bisa ditinggali.
Dan untuk itu, kita butuh keberanian baru. Bukan sekadar untuk mengejar target pertumbuhan, tapi untuk menyusun ulang makna kemajuan.
Hijau bukan kemewahan. Ia adalah strategi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden RI ke-6: “We in Indonesia are not shying away from our responsibilities. We are showing leadership.” - Susilo Bambang Yudhoyono (UN Climate Summit 2009, New York).
*Penulis adalah praktisi di bidang manajemen.
BERITA TERKAIT: