Namun demikian, protes atau demonstrasi yang dilakukan selalu diabaikan. Pemerintah bahkan dibuat tak berdaya di depan perusahaan aplikasi. Pemerintah tidak pernah menunjukkan keberpihakannya kepada para pengemudi dan tenant. Diibaratkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Jeritan para pengemudi online dianggap tidak penting. Mobilisasi massa yang dilakukan disepelekan.
Demonstrasi dan protes digelar tapi akhirnya tetap saja selalu kembali ke masalah yang sama. Perusahaan aplikasi tetap monopolistik dan pengemudi dan tenant kelas UMK (Usaha Mikro dan Kecil) dalam posisi tak berdaya. Kemiskinan struktural dan sulitnya untuk mendapatkan lapangan kerja lainya menjadikan para pengemudi akhirnya tetap terjebak pada dilema yang tak berkesudahan.
Para pengemudi menganggap potongan yang dilakukan oleh penyedia jasa aplikasi terlalu semena mena dan tidak adil. Di dalam praktik lapangan, potongan bisa mencapai hingga 20 hingga 30 persen. Padahal tarif harga yang dikenakan kepada konsumen sudah sangat rendah atau terlalu murah. Sementara pengemudi tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam penentuan tarif.
Pengemudi yang bermodal kendaraan dan juga menanggung resiko besar di jalanan menjadi sangat dirugikan. Jika dihitung untuk biaya perawatan kendaraan dan penyusutan kendaraan hingga pemenuhan kebutuhan minimum sehari hari untuk diri mereka dan keluarganya sudah tidak layak lagi. Belum lagi dikarenakan tanpa adanya batasan bagi para pengemudi baru membuat sistem persaingan menjadi sangat ketat.
Dalam posisi tersebut, penyedia aplikasi tentu menjadi pengeruk untung karena semua dimonopoli keputusannya oleh mereka tanpa partisipasi pengemudi. Ditambah tanpa adanya transparansi membuat penyedia jasa aplikasi menjadi penentu seluruh nasib para pengemudi. Sementara konsumen yang pragmatis dan minim etika dalam mengkonsumsi jasa transportasi tetap loyal karena harga yang dikenakan dirasa sangat murah.
Fenomena munculnya perusahaan aplikasi dan ketidakberdayaan pemerintah di hadapan perusahaan penyedia aplikasi sesungguhnya adalah bentuk perbudakan modern. Sebetulnya nasib buruk itu bukan hanya terjadi pada para pengemudi, tapi juga terjadi pada para pekerja di bagian logistik dan call center dari perusahaan penyedia aplikasi lainya seperti e-commerce.
Perbudakan modern ini terjadi karena dibentuk oleh kongkalikong antara pemodal besar kapitalis pemilik aplikasi dan juga pemerintah yang lemah dan mandul. Sehingga rakyat yang lemah diposisikan sebagai korban penindasan terus menerus.
Solusi: Demokratisasi Perusahaan
Untuk memerangi masalah pemerasan dan penindasan di atas tentu perlu adanya sebuah solusi. Solusi penting yang permanen dan fundamental adalah dengan cara dilakukanya demokratisasi perusahaan online.
Demokratisasi dilakukan dengan cara menuntut kepada pemerintah untuk memberikan bagian kepemilikan saham perusahaan penyedia aplikasi kepada para pengemudi, para tenant, para pekerja logistik, dan call center serta konsumen. Sebab hukumnya jelas, apa yang tak kita miliki itu tidak mungkin dapat kita kendalikan.
Dengan kepemilikan demokratis di atas, maka solusi permanen barulah dapat terjadi. Penentuan kebijakan perusahaan tidak dapat lagi ditentukan semena mena oleh investor dan manajemen penyedia aplikasi. Konsumen juga tidak lagi semena mena untuk hanya nikmati tarif harga murah.
Rapat umum perusahaan, dimana penentuan kebijakan perusahaan akan menjadi tempat yang paling menentukan seluruh kebijakan yang adil. Tarif ditentukan bersama, keuntungan dibagi bersama dan beban ditanggung bersama.
Dengan sistem kepemilikan yang terbuka maka semua menjadi transparan dan tidak lagi ada yang dirugikan. Sementara pemerintah dapat menjadi wasit yang adil bagi semua. Demikianlah seharusnya sistem demokratisasi ekonomi terjadi, dan ekonomi gotong royong dan sistem ekonomi Pancasila dipraktikkan.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
BERITA TERKAIT: