Kebijakan ini bertujuan untuk mensejahterakan rakyat pribumi sebagai bentuk "balas budi" atas eksploitasi yang terjadi akibat kebijakan sebelumnya, terutama sistem tanam paksa.
Politik etis memiliki tiga pilar utama yakni irigasi, pendidikan, dan emigrasi (transmigrasi).
Kritik terhadap sistem ini muncul dari kalangan intelektual dan politikus Belanda, seperti Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer, yang menganggap Belanda memiliki "hutang kehormatan" kepada rakyat pribumi.
Gagasan Van Deventer
Conrad Theodor van Deventer mempopulerkan gagasan tentang politik etis, yang menekankan kewajiban moral pemerintah Belanda untuk mensejahterakan rakyat pribumi.
Pada tahun 1901, politik etis mulai diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan fokus pada tiga pilar utama: irigasi, pendidikan, dan emigrasi (transmigrasi).
Politik etis, khususnya bidang pendidikan, turut mendorong lahirnya kesadaran nasionalisme di kalangan pribumi, yang kemudian berujung pada pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820–19 Februari 1887), lebih dikenal dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tul?, "Aku sudah sangat menderita"), adalah seorang penulis Belanda yang terkenal karena novel satirnya Max Havelaar (1860), yang mengecam penyalahgunaan kolonialisme di Hindia Belanda. Ia dianggap sebagai salah satu penulis Belanda terhebat.
Kritik kaum intelektuil Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer, yang orang Belanda ternyata mujarab, Novel Max Havelaar dan Multatuli (Aku sudah sangat menderita) sangat berpengaruh. Politik Etis adalah awal sebuah Kebangkitan Nasional.
Harkitnas lebih dari satu abad berlalu lalu dengan dimulainya gerakan Kaum Intelektual, Gerakan Budi Utomo. Selanjutnya ada, Tiga Serangkai pelopor nasionalisme Indonesia: Ernest Douwes Dekker (Multatuli), Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara, yang mendirikan Indische Partij.
Namun saat ini, setelah lebih dari satu abad, kekecewaan yang luar biasa terjadi, apakah yang terjadi, LEITBILD, kata orang Jerman, bayangan pembimbing untuk ditiru anak-anak muda untuk membentuk dan mendidik diri sendiri? Tidak ada, atau lebih tepat kalau dikatakan bayangan-bayangan yang ada begitu kacau balau sehingga tak ada garis pedoman yang terpancar dari bayang-bayang itu.
Kaum intelektual yang bertugas menyaring bayang-bayang itu menghabiskan waktunya untuk menerangkan bahwa semuanya relatif, kurang lebih demikian. Atau mereka membicarakan soal-soal etika dengan pandangan yang sinis.
Lord Keynes mengatakan, "Paling tidak sampai seratus tahun yang akan datang, tulisnya, kita harus menipu setiap orang, termasuk diri kita sendiri, bahwa yang baik itu buruk dan yang buruk itu baik karena yang buruk itu berguna dan yang baik itu tidak berguna. Keserakahan, riba, sikap hati-hati masih harus tetap menjadi Dewa-dewa kita untuk jangka waktu yang cukup lama."
Di sisi lain, abad ke 21, periode kemajuan pesat yang ditandai oleh AI generatif tingkat lanjut dikenal sebagai ledakan AI .
AI generatif dan kemampuannya untuk membuat dan memodifikasi konten mengungkap beberapa konsekuensi dan bahaya yang tidak diinginkan saat ini dan menimbulkan kekhawatiran etika tentang efek jangka panjang AI dan potensi risiko eksistensinya.
"Stay Hungry, Stay Foolish"Kalimat ini mengajarkan kita untuk tidak pernah berhenti belajar dan bermimpi besar.
Filosofi ini juga mendorong kita untuk tetap memiliki rasa lapar akan pengetahuan dan terus berusaha, meskipun seringkali kita merasa berada di luar zona nyaman.
Melalui prinsip “stay hungry, stay foolish,” Jobs mengajak kita untuk selalu memiliki rasa penasaran yang tinggi, untuk terus mengejar cita-cita tanpa takut gagal atau dianggap aneh.
"Tanda kecerdasan yang sebenarnya bukanlah pengetahuan, melainkan imajinasi."
"Logika akan membawa Anda dari titik A ke titik B, imajinasi akan membawa Anda ke mana-mana."
"Kita tidak dapat memecahkan masalah kita dengan cara berpikir yang sama seperti yang kita gunakan untuk menciptakannya."
"Semakin banyak saya belajar, semakin saya menyadari betapa membuat bayangan akan masa depan.
CEO Nvidia: Jika saya seorang pelajar saat ini, berikut cara saya menggunakan AI untuk meningkatkan kinerja saya, profesi apa pun ‘tidak penting’. Jika CEO Nvidia Jensen Huang menjadi mahasiswa lagi, ia akan memanfaatkan AI generatif untuk meraih karier yang sukses.
“Hal pertama yang akan saya lakukan adalah mempelajari AI,” kata Huang. “Belajar cara berinteraksi dengan AI tidak jauh berbeda dengan menjadi seseorang yang sangat pandai mengajukan pertanyaan,” tambahnya.
“Memberikan dorongan kepada AI juga sangat mirip. Anda tidak bisa asal mengajukan banyak pertanyaan. Meminta AI untuk menjadi asisten Anda memerlukan keahlian dan keterampilan dalam mengajukannya.”
Dunia Baru. Dari Politik Etis, Kritik kaum Intelektual lebih dari seabad yang lalu. Kini dunia kaum intelektual dan generasi muda berubah kepada generasi abad Kecerdasan Artificial, High Teknologi.
*Penulis adalah Eksponen Gema 77/78
BERITA TERKAIT: