Siswa Bermasalah Butuh Pesantren, Bukan cuma Barak Militer

Oleh: Jejep Falahul Alam*

Senin, 05 Mei 2025, 13:50 WIB
Siswa Bermasalah Butuh Pesantren, Bukan cuma Barak Militer
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengunjungi siswa SMP yang menjalani pendidikan di Menarmed 1/Sthira Yudha Kostrad/Ist
KEBIJAKAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menempatkan siswa bermasalah selama enam bulan di barak militer patut diapresiasi. 

Ini mungkin bentuk ikhtiar konkret dari Pemprov Jabar dalam menangani kenakalan pelajar yang makin memprihatinkan dewasa ini.

Barak militer dinilai mampu membentuk kedisiplinan, ketangguhan mental, dan sikap tanggung jawab yang selama ini dianggap mulai luntur di kalangan pelajar. Sehingga Pemprov Jabar berani menggelontorkan dana besar untuk program ini.

Akan tetapi perlu disadari akar permasalahan kenakalan remaja atau siswa itu, tak bisa diselesaikan dengan pendekatan fisik semata dan kedisiplinan secara struktural.

Sebab pendidikan yang hanya menekankan pada aspek luar, tanpa membenahi batin dan hati, ibarat memperbaiki rumah yang retak di permukaan, tapi mengabaikan pondasinya yang rapuh. Oleh karena itu, pendidikan hati itu menjadi pondasi utama yang tidak boleh diabaikan.

Terlebih pendidikan sejati itu bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga proses pembentukan karakter siswa. Dalam Islam, pendidikan adab atau akhlak mulia dalam hati dan sikap sebagai inti dari pencapaian ilmu.

Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, itu adalah hati."(HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut menegaskan bahwa hati menjadi pusat moralitas dan spiritualitas manusia. Jika hati para siswa bermasalah, keras dan gelap hati, maka berapapun lamanya tinggal di barak militer, hanya akan berubah secara permukaan.

Itu tidak akan mengubah pada hati atau jiwanya. Sehingga menyentuh dan mendidik hati menjadi tugas utama kita semua baik para pendidik, orang tua, dan masyarakat pada umumnya.

Salah satu pendekatan yang terbukti efektif dalam pendidikan hati melalui  pesantren. Lembaga pendidikan tradisional ini tak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, kedisiplinan, keikhlasan, dan tanggung jawab secara holistik.

Di bawah bimbingan dan pembinaan seorang kiai dan ustaz, para santri termasuk siswa atau pelajar yang  bermasalah, itu dibina dan dididik untuk memperbaiki diri secara lahir maupun batin.

Data menunjukkan, banyak remaja yang sebelumnya dikenal sebagai pembuat onar, setelah mondok di pesantren berubah menjadi pribadi yang tenang, berakhlak baik, dan bermanfaat bagi lingkungan.

Proses transformasi ini tentunya tidak instan, tapi melalui berbagai pendekatan spiritual dan keteladanan hidup yang istiqomah (konsisten). Aktivitas keagamaan seperti zikir, mujahadah, tilawah Al-Qur’an, salawat, dan rajin salat berjamaah dan salat sunah menjadi alat pembersih hati yang paling ampuh.

Di beberapa daerah, bahkan telah dikembangkan model rehabilitasi anak bermasalah berbasis pesantren yang bekerja sama dengan pemerintah daerah, untuk mendidik anak-anak jalanan, korban narkoba, hingga pelajar yang terlibat kenakalan.

Hasilnya, tingkat keberhasilan pembinaan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan pendekatan represif semata.

Tentu bukan berarti pendekatan barak militer tidak penting. Justru pendekatan itu tetap diperlukan sebagai penguat karakter lahiriah untuk menciptakan kedisiplinan, tanggung jawab, ketahanan fisik, dan semangat juang.

Namun, ia harus dikombinasikan dengan pendidikan hati agar tidak hanya mencetak pribadi yang kuat secara fisik, tapi juga luhur secara moral dan spiritual.

Kesimpulannya, Pendidikan Indonesia ke depan harus mampu merumuskan kurikulum yang menyeimbangkan tiga pilar utama yakni ilmiah (pengetahuan), amaliyah (keterampilan), dan ruhiyah (spiritualitas).

Pendidikan yang hanya mengejar prestasi akademik, tanpa membentuk akhlak dan spiritualitas, rentan melahirkan generasi cerdas tapi rapuh, pintar tapi tidak beretika, kuat tapi mudah kehilangan arah. 

Apalagi saat ini memasuki era disrupsi digital yang serba cepat dan canggih. Pendidikan spritual menjadi suatu keharusan.

Maka dari itu, mendidik dengan hati bukan sekadar alternatif, ini sebuah keniscayaan. Agar siswa tidak hanya tumbuh menjadi pintar dan cerdas, tetapi juga menjadi manusia utuh yang berjiwa bersih, bermoral, dan siap memberi kontribusi positif bagi masyarakat.

Pendidikan yang menyapa akal dan hati secara bersamaan adalah jalan menuju perubahan sejati.

Semoga kita semua mampu menjadi bagian dari solusi pendidikan yang utuh dan memberikan manfaat bagi sesama. Semoga.rmol news logo article


*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon, dan Ketua LTN PCNU Majalengka


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA