Menurut Presiden, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya strategis pemerintah untuk merampingkan birokrasi serta memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha. Selain itu, Presiden juga menekankan pentingnya menciptakan ekosistem yang mendukung penciptaan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Bahkan Prabowo Subianto (mengutip pemberitan dari
setkab.go.id) mengatakan dengan jelas dan tandas bahwa “siapa saja boleh impor. Mau impor apa, silahkan buka saja. Rakyat kita juga pandai kok, iya kan. Bikin kuota-kuota, habis itu perusahaan A, B, C, D yang hanya ditunjuk. Hanya dia boleh impor, enak saja.
Penulis menyampaikan apresiasi kepada Presiden Prabowo Subianto atas langkah berani dalam menghapus kuota impor yang selama ini menjadi hambatan bagi efisiensi dan dinamika perdagangan nasional. Kebijakan ini mencerminkan komitmen Presiden untuk menciptakan iklim ekonomi yang lebih terbuka, kompetitif, dan adil bagi semua pelaku usaha di Indonesia.
Selain itu Selama bertahun-tahun, sistem kuota impor sering kali menjadi celah bagi praktik monopoli, permainan harga, dan ketidakpastian pasokan barang pokok maupun bahan baku industri. Penghapusan kuota akan mengurangi ruang gerak bagi kartel dan importir tertentu yang sebelumnya menikmati keuntungan dari pembatasan akses. Ini adalah sinyal kuat bahwa pemerintah berpihak pada keadilan ekonomi dan persaingan usaha yang sehat.
Namun selain itu kiranya terdapat beberapa hal penting yang mesti dicermati. Merespon pernyataan Presiden di Sarasehan Ekonomi Nasional itu, penulis melihat terdapat beberapa hal yang kurang dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan atau keputusan tersebut. Bahkan jika diperdalam, beberapa diantaranya dapat berdampak yang amat merugikan bagi “kekuatan” ekonomi nasional. Khususnya yang berkaitan langsung terhadap publik.
Penulis akan mencoba memaparkan sekomprehensif mungkin kepada publik, bahwa jika tidak ada jenis barang yang dibatasi yang boleh diimpor, maka perekonomian Indonesia tidak hanya, tidak akan cepat pulih atau membaik. Justru sebaliknya akan makin merosot dan jatuh.
Menimbang Ide Penghapusan Kuota Impor
Dalam rangka menimbang ide penghapusan kuota impor, saya akan berpikir seobjektif mungkin dengan melihat dampak positif dan negatifnya.
Setidaknya penulis melihat ada beberapa dampak negatif dari keputusan membuka “tsunami” produk impor.
Pertama, tentu akan membuat persaingan tidak seimbang. Antara pengusaha besar dan pengusaha menengah ke bawah, dari aspek kuantitas barang yang dapat dibeli. Selain itu produk lokal sangat berpotensi kalah saing. Karena barang impor seringkali lebih murah. Akibat biaya produksi yang rendah dari negara asal. Ini membuat persaingan antara pengusaha besar dan kecil menjadi persaingan yang tidak seimbang. Dan akan makin melemahkan pengusaha kecil.
Kedua, jelas akan membuat menurunnya permintaan produk lokal. Konsumen (sebagai makhluk ekonomi) cenderung akan memilih produk impor dengan harga yang lebih murah. Apalagi ditambah faktor jika barang tersebut lebih berkualitas. Sehingga permintaan produk nasional jelas akan menurun.
Ketiga, akan membuat lambat dan gagal tumbuhnya industri dalam negeri. Industri lokal akan kesulitan berkembang karena tidak mampu bersaing. Apalagi jika masih tahap awal atau belum efisien secara produksi.
Keempat, akan menimbulkan Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) dan pengangguran yang lebih massif. Jika industri dalam negeri melemah. Maka akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan. Poin ini akan makin krusial jika kita menambahkan faktor atau variabel lainnya. Seperti bagaimana jika Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD) suatu daerah yang masih atau sudah kecil (dengan resiko pengusaha yang gulung tikar dan pekerja yang di PHK.
Selain itu bagaimana jika suatu daerah dengan beban pengangguran yang sudah banyak. Lalu, bagaimana jika suatu daerah memiliki postur masyarakat dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah. Variabel-variabel tersebut akan menciptakan beban ke daerah dan berdampak langsung ke akar rumput.
Kelima akan berdampak secara nasional ke defisit neraca perdagangan. Impor yang terlalu besar tanpa diimbangi ekspor, plus proteksi jenis barang tertentu akan menyebabkan neraca perdagangan menjadi negatif. Hal ini berpengaruh pada nilai tukar mata uang dan ekonomi makro secara umum.
Sedangkan secara kualitatif, Indonesia hanya menerima beberapa dampak positif dari kebijakan tersebut.
Pertama, konsumen tentu akan mendapat banyak pilihan barang yang masuk. Barang impor memberi variasi dari segi harga, kualitas dan teknologi.
Kedua, tentunya akan mendorong inovasi dan efisiensi. Persaingan dari luar bisa mendorong produsen dalam negeri untuk bisa meningkatkan kualitas dan efisiensi produknya.
Ketiga, adanya transfer teknologi. Barang impor (terutama barang yang berteknologi tinggi, misalnya elektronik) dapat membantu perkembangan industri. Apalagi jika dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Namun kesimpulannya dari komparasi dampak positif dan negatif tersebut. Saya menyimpulkan bahwa dampak negatif pembukaan keran impor tak terbatas, akan berdampak lebih buruk terhadap ekonomi nasional. Dibandingkan dampak positif. Sedangkan dampak positif, lebih banyak berdampak pada konsumen. Serta berdampak baik untuk ekonomi nasional dalam jangka panjang.
UMKM Tercekik
Tsunami barang impor dalam jumlah besar ke suatu negara membawa tantangan serius bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Terutama dalam hal persaingan harga, kualitas, dan daya saing pasar. UMKM umumnya memiliki skala usaha kecil dengan keterbatasan dalam modal, teknologi, dan akses pasar. Hal ini membuat mereka berada dalam posisi yang kurang menguntungkan saat harus bersaing dengan produk-produk impor yang seringkali lebih murah dan lebih dikenal.
Tanpa adanya kebijakan yang melindungi atau memberdayakan UMKM, mereka berisiko kehilangan pangsa pasar, mengalami penurunan pendapatan, bahkan sampai gulung tikar. Produk impor yang lebih murah dapat memikat konsumen dan menurunkan minat terhadap produk lokal, yang pada akhirnya dapat melemahkan pertumbuhan industri domestik secara keseluruhan.
Dalam beberapa kasus, UMKM juga bisa berkembang sebagai reseller atau pelaku usaha yang menjual produk impor, baik secara langsung maupun melalui platform digital.
Harus ada stimulus dalam melindungi UMKM. UMKM tidak boleh bekerja sendirian. Karena Kita bukan negara liberal/kapitalis. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat krusial dalam menjaga keseimbangan. Diperlukan kebijakan proteksi yang selektif, seperti:
Pertama, memberikan subsidi atau insentif bagi UMKM.
Kedua, negara harus massif dalam rangka membantu promosi produk-produk lokal melalui kampanye nasional.
Ketiga, pelatihan digital dan pemasaran mesti menjadi program “advokasi” UMKM oleh negara.
Keempat, harus dibuatnya standar mutu impor agar tidak membanjiri pasar dengan barang impor dengan barang berkualitas rendah.
Kelima, harus dibuat regulasi dan turunan yang jelas dalam merespons pernyataan Presiden. Tentang produk mana saja yang dihapus kuota impornya. Seperti bahan baku maupun bahan pokok yang masih jarang di Indonesia. Jangan sampai malah barang jadi yang mampu diproduksi UMKM maupun industri lokal kita juga kena dampak impornya. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang super ketat dan kebijakan pendukung untuk melindungi produsen lokal.
*Penulis adalah Anggota DPR RI Fraksi PDIP
BERITA TERKAIT: