Dewan Penerbangan dibentuk pada tahun 1955 dan LAPAN didirikan pada tahun 1963. Keduanya memiliki sejarah, fungsi, serta peran penting dalam kemajuan penerbangan dan antariksa Indonesia, sebelum akhirnya dibubarkan dalam proses reformasi kelembagaan nasional. Dengan demikian maka Dewan Penerbangan dan LAPAN kini statusnya adalah almarhum. Dewan Penerbangan telah di makamkan secara resmi dengan upacara kenegaraan pada tanggal 4 Desember 2014 bertindak sebagai Inspektur Upacara PP 176/2014. Pada sisi lainnya LAPAN telah dikebumikan pada tanggal 1 September 2021.
Sementara itu patut menjadi catatan strategis bahwa Dewan Penerbangan Indonesia telah dibentuk pada tahun 1955 berdasarkan PP 5/1955 dan dicantumkan dalam Lembaran Negara 4/1955. Lembaga ini memiliki tugas utama untuk mengkoordinasikan, mengawasi, serta merumuskan kebijakan strategis dalam bidang penerbangan sipil dan militer nasional. Pada masa awal kemerdekaan, penerbangan menjadi sektor yang dianggap sangat penting dalam membangun konektivitas dan pertahanan negara.
Pertumbuhan penerbangan militer dan sipil ketika itu telah banyak menghadirkan friksi di lapangan yang menghambat kemajuan dunia penerbangan nasional. Itu sebabnya Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, belum memiliki Dewan Kelautan akan tetapi telah membangun atau membentuk sebuah Dewan Penerbangan. Sebuah dewan yang mengelola manajemen penerbangan nasional sehingga dapat berkembang pesat dan tertata baik dengan efektif efisien. Itulah sebuah refleksi dari kepemimpinan nasional saat itu yang sarat dengan visi jauh kedepan.
Ironisnya adalah ketika kemajuan teknologi global di sektor penerbangan mengalami kemajuan yang semakin pesat dari waktu ke waktu justru sektor penerbangan tidak lagi dianggap penting terutama dalam konteks penyelenggaraan konektivitas perhubungan udara dan pertahanan keamanan negara.
Ini semua antara lain yang dapat menjawab dengan jelas banyak pertanyaan tentang mengapa dunia penerbangan kita masa kini justru tampak amburadul. Kondisi ini dengan mudah dapat dilihat dari banyak hal antara lain wilayah udara diatas teritori Indonesia yang sangat tinggi nilai strategisnya dalam hal membangun koneksivitas dan pertahanan negara telah diserahkan begitu saja pengelolaannya kepada otoritas penerbangan negara lain untuk rentang waktu 25 tahun dan akan diperpanjang. Hal tersebut di tuangkan dalam salah satu isi perjanjian antara Indonesia dan Singapura tahun 2022. Tidak ada penjelasan tentang apa gerangan yang menjadi sebab musabab penyebabnya.
Demikian pula mengenai demikian banyaknya keluhan masyarakat luas tentang sulit dan mahalnya memperoleh harga tiket pesawat terbang. Sebuah fenomena yang sangat masuk akal, karena hal tersebut terjadi segera setelah negara tidak lagi memiliki Maskapai Penerbangannya sendiri.
Satu per satu Maskapai Penerbangan milik negara menjadi bangkrut, tanpa terlihat upaya mempertahankan, menjaga atau mencegah apalagi merestrukturisasinya. Terlebih lagi ada persepsi entah benar atau tidak, ada upaya yang sistematis dan terstruktur untuk membubarkan satu demi satu Maskapai Penerbangan milik negara tersebut.
Tentu saja masih di perlukan Tim Khusus Pencari Fakta dan Investigasi menyeluruh untuk membuktikan sinyalemen itu semua. Walaupun sebenarnya payung besar dari semuanya sudah terlihat fenomenanya, yaitu karena Indonesia konon tengah getol dalam menjalankan sistem pemerintahan Demokrasi. Sistem demokrasi yang berada di tengah gelombang kecaman dari banyak pihak sebagai sistem demokrasi yang konon diberi gelar kehormatan sebagai demokrasi oligarki. Masih banyak lagi sisi pembangunan penerbangan nasional yang tampak berjalan tanpa arah.
Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma yang berstatus sebagai wilayah terbatas atau
restricted area karena merupakan Markas Besar Sistem Pertahanan Udara Nasional sebagai sub sistem dari pertahanan nasional telah berubah drastis menjadi publik area alias ruang terbuka publik.
Hal tersebut berkenaan dengan telah diresmikannya kegiatan penerbangan sipil komersial dan telah dibangunnya stasiun KA canggih di Lanud Halim. Konon tersiar kabar pula yang entah benar atau tidak di tengah maraknya berita berita
hoax belakangan ini bahwa di Lanud Halim akan segera dibangun pula sebuah
shopping mall modern, katanya.
Masuk akal juga. Sementara itu Bandara Internasional Kertajati yang telah dibangun susah payah dan menelan biaya trilyunan rupiah, diresmikan sejak tahun 2018 hingga kini belum juga terlihat kegiatan penerbangan di situ.
Apa yang salah?
Sekali lagi kesemua itu adalah cerminan dari proses pembangunan yang tidak terkelola dengan baik pada tingkat strategis. Sepertinya semua berjalan sendiri sendiri tanpa rujukan atau panduan yang mengacu kepada Standard Long Term Strategic Planning Terpadu. Itu semua hasil yang kini tengah kita nikmati bersama.
Demikianlah sebuah kisah sedih bertajuk: Dewan Penerbangan dan LAPAN dalam kenangan.
Tentu saja ke dua lembaga penting dan bernilai strategis itu masih tetap hidup dengan semangat yang membara, tetapi hanya di dalam ruang MIMPI para pencinta kedirgantaraan Tanah Air Udara tercinta bernama Indonesia.
Penulis adalah pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia.
Sumber tulisan antara lain PP 5/1955/Lembaran Negara 4/1955, PP 176/2014, UU 21/2013 tentang Keantariksaan, Situs Resmi LAPAN dan BRIN.
BERITA TERKAIT: