Ini adalah kegagalan pertama PPP dalam kurun 50 tahun terakhir. Partai berlambang Ka'bah ini pun harus terlempar dari Senayan dan tersisihkan dari persaingan politik nasional.
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas II) PPP telah selesai digelar pada pada 13-15 Desember 2024 di Ancol Jakarta. Setidaknya sudah ada keputusan dari Mukernas yang bertajuk "Transformasi PPP untuk Indonesia" untuk dibawa di Muktamar X sebagai forum tertinggi untuk memilih ketua umum PPP yang baru pada April 2025 mendatang.
PPP harus bertransformasi menjadi partai yang makin solid dan dekat dengan rakyat agar di Pemilu 2029 bisa
reborn.
Urgensi KepemimpinanPenyegaran kepemimpinan politik adalah bagian dari transformasi dan merupakan kebutuhan yang sangat fundamental sekaligus peluang besar yang harus ditangkap oleh partai-partai politik. PPP harus menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan sekaligus memperkuat demokratisasi di internalnya.
Di tengah demografi masyarakat yang berubah dan semakin mengedepankan meritokrasi, partai politik yang tidak berubah bisa ditinggalkan dan hanya akan tinggal sejarah.
Ketika sebuah partai politik bisa melakukan regenerasi kepemimpinan itu akan lebih mudah berkembang dan gampang merawat basis pemilih loyal mereka sekaligus memperluas captive market yang didominasi oleh kekuatan swing voters yang akan semakin besar di pemilu-pemilu mendatang.
Menjelang Muktamar X, sederet nama tokoh besar digadang cocok jadi Ketua Umum PPP menggantikan Muhamad Mardiono. Di antaranya ada Sandiaga Uno, Syaifullah Yusuf (Mensos), Dudung Abdurrahman (mantan KSAD), bahkan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan mantan Presiden Joko Widodo juga disebut cocok menjadi Ketum PPP.
Kendati demikian, realitas politik terkadang mengindikasikan dinamika internalnya yang cenderung menghendaki terjaganya status quo. Dan PPP masih dibayangi status quo tersebut, yakni, sebuah kondisi penguasa lama memiliki daya cengkeram yang begitu kuat dalam mengendalikan garis komando sehingga perubahan dan regenerasi tidak mendapatkan ruang yang memadai dalam proses suksesi kepemimpinan dalam tubuh partai politik.
Pengajar Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan, dinamika bertahannya ketua umum parpol tanpa ada regenerasi salah satunya adalah adanya ketimpangan kekuasaan.
Distribusi kekuasan di internal parpol tidak berjalan sehingga bukan mekanisme atau aturan kelembagaan parpol yang mengatur rotasi pimpinan politik parpol. Namun, pengambilan keputusan lebih banyak diambil oleh sosok atau kelompok tertentu. Ini yang menyebabkan mandeknya regenerasi di tubuh partai politik.
Namun terlepas dari status quo yang ada, agar reborn di pemilu 2029, PPP membutuhkan sosok yang handal, visioner, kompeten, dan karismatik untuk menyalakan mesin partai, membawa dan memacunya dengan cepat dalam persaingan politik di Indonesia.
Pemimpin yang memiliki karakter dan semangat kuat untuk menjadi representasi partai yang tidak alergi beradaptasi ketika terjadi perubahan lingkungan yang sulit diprediksi. Pemimpin yang bisa mengoptimalkan semua potensi dengan kerja-kerja kolektif untuk membawa PPP bangkit lagi di kancah politik nasional.
Transformasi DigitalMuryanto Amin saat dikukuhkan jadi Guru Besar menyebut dalam pidatonya, bahwa transformasi partai politik menuju organisasi partai era digital, menjadi sebuah keniscayaan, agar lahir kelembagaan partai politik modern yang dikelola dengan menggunakan kekuatan digital space.
Formulasi dan model yang telah diterapkan
private sector sangat memungkinkan untuk diadopsi sesuai dengan kebutuhan dan aturan di internal partai. Sistem kepartaian dan komitmen Indonesia tentang digitalisasi, menurutnya, sangat memungkinkan partai politik melakukan transformasi itu.
Partai politik di era digital, membutuhkan kualifikasi dan kapasitas baru, yang mampu mengelola kelembagaannya melakukan fungsi partai untuk menyemaikan bibit demokrasi yang akan melahirkan kesejahteraan bersama. Selain kualifikasi dan kapasitas baru, elit dan pengurus partai politik harus memiliki kemampuan berpikir inovatif agar selalu menemukan solusi dari masalah masyarakat yang diintegrasikan dengan
social behavioral skills.
Dalam kontestasi PPP sebagai partai politik harus mampu mengkombinasikan tahapan teknologi dan tahapan transisi demografi secara tepat sehingga perubahan teknologi akan sesuai dengan tingkat adaptasinya di masyarakat. Oleh karena itu PPP harus tetap berperan sebagai partai kader atau partai massa dengan teknologi media massa dan media elektronik.
PPP harus masuk dalam partai digital dengan integrasi teknologi digital, pemasaran digital, e-partisipasi, dan kekuatan media sosial secara komprehensif karena segmen masyarakat yang terpapar media digital sedang tumbuh sangat pesat.
Melakukan transformasi digital dalam tubuh PPP adalah suatu keharusan, karena era disruptif seperti saat ini dibutuhkan cara-cara kreatif, inovatif dan fleksibel untuk mendapatkan perhatian dari target pemilih.
Menjadi partai digital tidak sekedar menggunakan platform digital, namun diperlukan digital value yang utuh yaitu mengutamakan transparansi, disintermediasi, interaktif, adaptif, dan responsif.
Karakter utama dari partai digital adalah partisipasi seluruh anggota partai dan masyarakat terutama para pemilih.
Memperkuat Identitas PartaiSatu hal yang tidak bisa dibantah dan dinafikan bahwa perolehan suara PPP dari pemilu ke pemilu pasca reformasi mengalami penurunan yang signifikan.
Mengapa ini bisa terjadi? Boleh jadi salah satu faktor penyebabnya adalah PPP gagal menyikapi arus populisme Islam di Indonesia. Padahal sebenarnya populisme Islam merupakan suatu bentuk artikulasi identitas politik keislaman dan itulah faktanya yang membuat PPP eksis hingga hari ini.
Sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia, diakui atau tidak identitas Islam sudah melekat dalam diri bangsa Indonesia. Setiap pergolakan dan dinamika politik umat Islam harus direspon dengan baik.
PPP harus menjadi jembatan aspirasi umat Islam mulai dari spektrum kiri hingga kanan dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Sehingga PPP benar-benar menjadi rumah besar umat Islam karena manfaat kehadirannya dirasakan oleh umat.
Dalam bukunya “Barubah atau Punah” Qoyum Abdul Jabar menyebut, dinamika suara naik ketika identitas keislaman PPP lebih jelas dan progresif terhadap aspirasi umat.
Dinamika suara turun ketika dalam realitanya perilaku kader-kader PPP bertentangan dengan nilai-nilai dan moralitas keislaman maupun karena konflik dan perpecahan.
Oleh karena itu tidak ada jalan lain bagi PPP untuk mengembalikan kenaikan suara selain menguatkan identitas keislaman dan mengembalikan jati diri sebagai partai Islam. Membangun kembali jalan Ka’bah, jalan yang menegaskan identitas keislaman, jalan yang membawa aspirasi umat Islam.
Sebab itu, sebagai partai Islam, PPP harus menegaskan dirinya sebagai gerakan politik kaum santri. Santri disini dalam arti luas, yakni seluruh umat yang memiliki kecenderungan untuk meletakkan agama sebagai pedoman dan panduan hidup.
Karenanya paradigma teologi, norma dan tradisi, serta realitas sosial masyarakat santri harus menjadi pijakan perjuangan politik PPP dalam setiap gerakan politiknya. Karena Pesantren, ulama, masjid dan lembaga pendidikan Islam memiliki hubungan kuat dan selama ini menjadi jangkar pergerakan politik PPP.
Menurutnya, pesantren dan ulama pada era digital ini tidak hanya sebagai benteng pertahanan namun juga basis perjuangan ideologi keIslaman. Pesantren hadir tidak hanya di lingkungan tradisional agraris namun juga dalam komunitas modernis urban.
Selain itu, fenomena “Hijrah” yang mengalami perkembangan dikalangan masyarakat kelas menengah urban muslim Indonesia harus respon dan diakomodasi oleh PPP. Kecenderungan masyarakat kelas menengah urban muslim menyukai simbol-simbol keislaman, dan ini harus ditangkap oleh PPP untuk menarik suara mereka.
Caranya PPP harus menonjolkan simbol-simbol dan identitas keislaman yang kuat tampil dengan jati diri sebagai partai Islam.
Sebab itu, PPP harus paralel dengan perkembangan zaman, karena kalau tidak PPP akan ditinggalkan oleh umat dan pemilihnya. PPP sebagai rumah besar umat Islam harus terejawantahkan dari tataran ideologis menjadi tawaran kebijakan operasional dan kekinian.
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai kegagalan PPP tembus ambang batas parlemen salah satunya disebabkan gagal menangkap portofolio pemilih di 2024 yang sekitar 60 persennya adalah gen z dan gen y atau pemilih muda.
Sebab, diketahui bahwa pemilih loyal PPP adalah pemilih tradisional yang tersebar di pedesaan. Menurutnya, PPP gagal dalam melakukan perubahan gaya komunikasi dan penetrasi politik terhadap pemilih muda yang preferensi politiknya berbeda dengan pemilih tradisional yang menjadi basis suara PPP.
“Dalam konteks inilah sepertinya memang PPP agak sedikit gagal menangkap semangat zaman, ada pergeseran perilaku pemilih ya, yang dulu misalnya PPP sangat mengandalkan pemilih-pemilih tradisional mereka. Tetapi, per hari ini pemilih tradisional itu semakin berkurang dimakan usia dan pada saat yang bersamaan ketika muncul pemilih-pemilih muda itu gagal untuk ditangkap,” katanya.
Untuk bisa reborn atau bangkit lagi PPP harus belajar dari kemenangan
Free Democratic Party (FDP) di Jerman, partai ini pernah terlempar dari parlemen namun mampu bangkit kembali dengan capaian kenaikan lebih seratus persen.
Pada pemilu 2013 FDP hanya memperoleh 4,8 persen dari
parliamentary threshold sebesar 5 persen sehingga keluar dari Bundestag. Namun pada pemilu 2017 Free Democratic Party kembali lagi ke parlemen Jerman dengan capaian suara 10,7 persen.
Karena melihat dari pengalaman yang sudah-sudah partai yang terhempas dari senayan biasanya sulit untuk bangkit, sebut saja, Hanura, PBB, PKPI dan yang lainnya.
Kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki perlu dipelajari juga oleh PPP. Di bawah Recep Tayyip Erdogan, AKP menggeser Islamisme era Necmettin Erbakan menjadi post Islamisme dengan menanggalkan pendekatan formalisme Islam menuju substansialisme Islam dengan mengawinkan nilai-nilai Islam dengan demokrasi, globalisasi, pluralisme dan nasionalisme.
Paling penting dari itu semua, PPP harus memandang bahwa politik bukanlah hanya proses prosedural namun juga tentang politik substansial atau disebut politik kemaslahatan. Ini sangat relevan dengan spirit kenabian, yakni untuk menyempurnakan etika dan moral umat manusia untuk terwujudnya Rahmat bagi semua alam semesta (
Rahmatan Lil Alamin).
*
Penulis adalah Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)
BERITA TERKAIT: