Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mobil Demokrasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ahmadie-thaha-5'>AHMADIE THAHA</a>
OLEH: AHMADIE THAHA
  • Rabu, 04 Desember 2024, 07:53 WIB
Mobil Demokrasi
Ilustrasi mobil demokrasi (AI/AT)
JIKA demokrasi diibaratkan sebuah mobil, ia mungkin sedang tersendat di jalan penuh lubang —berisik, lambat, dan kerap membuat frustrasi. Berdasarkan penelitian Pew Research Center yang melibatkan 24 negara, tampaknya banyak orang di dunia sepakat bahwa mobil demokrasi ini butuh perbaikan menyeluruh.

Dalam survei yang melibatkan 27.285 responden, ada tiga kategori utama yang dirasakan sebagai "keluhan pelanggan": kebutuhan dasar, perbaikan sistem, dan reformasi total. Intinya, masyarakat ingin memastikan demokrasi tidak hanya sekadar prosedural, tapi juga benar-benar secara substansial menghasilkan kehidupan yang lebih baik.

Penelitian ini menggunakan survei internasional yang representatif, melibatkan responden dari berbagai lapisan masyarakat antara Februari hingga Mei tahun lalu. Metodenya mencakup wawancara tatap muka di beberapa negara dan survei online di negara lainnya. Dengan cara ini, Pew berhasil menyaring aspirasi, kritik, dan saran yang beragam.

Pertama, pemenuhan kebutuhan dasar. Ini menjadi keluhan utama masyarakat soal demokrasi. Mereka merasa demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik jika kebutuhan fundamental seperti ekonomi, pekerjaan, infrastruktur (jalan, listrik, air), dan keamanan belum terpenuhi. Inilah prasyarat utama agar rakyat bisa benar-benar berpartisipasi dalam demokrasi.

Kedua, perbaikan sistem demokrasi. Dalam hal ini, orang-orang di seluruh dunia menginginkan demokrasi yang lebih efektif dengan memperbaiki aspek-aspeknya yang sudah ada. Beberapa tuntutan terkait hal ini meliputi perlunya politisi yang lebih kompeten, penerapan hukum yang adil, serta peningkatan literasi, kesadaran, dan partisipasi warga negara.

Berikutnya, "keluhan pelanggan" mengenai perlunya reformasi total di berbagai bidang. Banyak pihak menilai demokrasi membutuhkan perubahan mendasar, seperti reformasi sistem pemilu, pembagian kekuasaan antar lembaga negara, atau revisi sistem hukum dan peradilan agar lebih relevan dengan kebutuhan saat ini.

Seorang pria Nigeria mengatakan, “Ketika kebutuhan akan pendidikan, jalan, rumah sakit, dan air tersedia, barulah saya bisa bilang demokrasi itu membaik.” Begitu pula di Indonesia, seorang wanita menekankan bahwa ekonomi harus diperbaiki terlebih dahulu agar demokrasi berjalan dengan lebih baik.

Namun, bukankah ini ironis? Demokrasi seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang masih buruk ini. Jika begitu, masyarakat mungkin bertanya, dengan pengandaian demokrasi sebagai mobil: “Apa gunanya kendaraan ini jika bannya bocor dan mesinnya mogok?” Sebuah dilema klasik —mana yang lebih dulu, telur atau ayam?

Politisi tak ubahnya seperti sopir demokrasi. Masyarakat memahami, jika demokrasi seolah mobil, maka sopirnya tentulah para politisi. Sayangnya, banyak responden tampaknya berpikir bahwa sopir ini terlalu sering tertidur di kemudi atau sibuk membangun citra pribadi. Dari Australia hingga Kenya, keinginan untuk “politisi yang lebih baik” mendominasi tanggapan responden tentang demokrasi.

Seorang wanita Inggris, dengan nada frustrasi, berkata, “Kenapa kita tidak punya orang sungguhan di politik? Mengapa mereka yang dipilih bukan dari elit aristokrat.” Tapi sebagian lainnya justru menyalahkan para penumpang, alias rakyat itu sendiri, bukan hanya politisi, yang tidak siap berdemokrasi. Lagi-lagi, ini seperti pertanyaan klasik: ayam dulu, atau telur dulu?

Ada responden survei manca negara yang menuntut dilakukan lebih banyak pendidikan kewarganegaraan, ada pula yang menyarankan agar masyarakat bersikap lebih baik satu sama lain. Sebuah saran yang bagus, tentu, tetapi sulit membayangkan seseorang menyuruh seluruh penumpang untuk belajar sopan santun saat mobil sudah mogok di tengah jalan.

Banyak warga menuntut reformasi struktural. Di antara responden, ada yang merasa masalahnya bukan hanya soal sopir atau bensin, melainkan desain mobil itu sendiri. Di Indonesia, misalnya, electoral threshold digugat, sementara di Amerika Serikat, electoral college menjadi sasaran kritik. Di Italia, seorang pria berusia 78 tahun menyerukan perubahan total dalam cara anggota parlemen dipilih.

Meskipun keluhan para responden bervariasi, dari survei dapat disimpulkan ada pola umum tuntutan warga yang dapat diambil sebagai pelajaran. Pertama, prioritas kebutuhan dasar —tanpa bensin, mobil tidak akan jalan. Kedua, politisi harus menjadi “sopir” yang lebih kompeten dan bertanggung jawab. Terakhir, reformasi struktural yang berani mungkin perlu dipertimbangkan.

Jika demokrasi ingin tetap relevan, khususnya di negeri kita yang berprinsip "permusyawaratan perwakilan," demokrasi kita harus dibenahi dan tak hanya menjadi sekadar ide besar meniru-niru model Amerika yang bangkrut. Jadikan ia kendaraan yang efisien untuk perjalanan rakyat mencapai cita-cita bersama. Siapa tahu, suatu hari kita semua bisa menikmati perjalanan dengan lancar tanpa perlu mengganti ban di tengah jalan.rmol news logo article
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA