Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Labubu dan Rasa Takut Tertinggal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/antonius-harya-s-fil-m-phil-5'>ANTONIUS HARYA S. FIL., M. PHIL.</a>
OLEH: ANTONIUS HARYA S. FIL., M. PHIL.
  • Sabtu, 16 November 2024, 19:37 WIB
Labubu dan Rasa Takut Tertinggal
Lisa Blackpink dan boneka Labubu (style.udn.com)
PADA suatu malam, di bawah remang lampu ruang diskusi, saya bertemu seorang senior dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Obrolan ringan kami, yang awalnya membahas koleksi pribadi seperti jam tangan mewah dan kendaraan antik, tiba-tiba bergeser ke fenomena yang lebih serius: Labubu, figur koleksi yang berasal dari Tiongkok dan meraih popularitas global berkat promosi di Korea Selatan, telah menembus pasar Indonesia, mengundang minat besar dari kolektor yang rela berburu, berinvestasi, bahkan bersaing untuk memiliki setiap edisinya.

Fenomena Labubu memicu perenungan mendalam: bagaimana kita, yang mengakar pada spirit nasionalisme dan Pancasila, bisa begitu terpesona oleh produk luar negeri? Apakah ini sekadar tren koleksi atau simbol budaya yang lebih dalam, yang menunjukkan pengaruh globalisasi terhadap preferensi lokal?

Labubu sendiri adalah karakter ciptaan seniman Kasing Lung yang pertama kali muncul pada tahun 2015 dalam seri The Monsters. Ia memiliki ciri khas berupa senyum nakal, gigi tajam, dan telinga berbentuk peri, terinspirasi dari cerita rakyat Nordik yang sangat digemari Lung sejak kecil.

Labubu merepresentasikan sifat nakal namun polos, seringkali bermaksud baik tetapi tak jarang membawa kekacauan. Pesonanya yang unik membuatnya diterima lintas budaya, memancarkan ironi bahwa produk yang berakar dari luar budaya Indonesia mampu mengikat emosi kolektor lokal di negeri ini. Ini menjadi simbol kekuatan globalisasi budaya, memancing pertanyaan tentang tempat nasionalisme di era global, dan bagaimana daya tarik figur koleksi seperti Labubu bisa bertransformasi menjadi tren yang menyatukan berbagai latar belakang dengan magnet kuat dari seni dan nostalgia.

Popularitas Labubu semakin meroket setelah Kasing Lung bekerja sama dengan Pop Mart pada 2019. Melansir Sunstar Philippines, kenaikan tren Labubu mulai terlihat saat selebriti seperti Lisa dari BLACKPINK, sebuah grup musik K-Pop ternama dari Korea Selatan -terlihat mengoleksi mainan ini. Dukungan dari selebriti seperti Lisa memberikan dorongan besar pada popularitas Labubu, mengubahnya dari sekadar suvenir kota misteri menjadi fenomena "kultus" koleksi. Di berbagai acara rilis, antusiasme terhadap Labubu bahkan memicu kerumunan besar yang tak jarang diwarnai oleh adu mulut, bahkan hingga beradu fisik demi mendapatkannya.

Sekilas, Labubu tampak seperti produk budaya populer biasa dari Tiongkok yang dipasarkan hingga ke Korea Selatan. Namun, di balik wujudnya sebagai "hanya" sebuah mainan, Labubu mencerminkan refleksi yang lebih dalam tentang gaya hidup konsumtif masa kini dan dampak dari kegilaan tersebut. Fenomena ini menggambarkan bahaya dari koleksi yang tidak sekadar dipandang sebagai benda, tetapi dipuja layaknya simbol status. Akibatnya, koleksi seperti ini mampu membentuk generasi yang merasa tidak cukup, atau bahkan gagal, jika tidak memilikinya. Konsumerisme yang tak terkendali ini berisiko mengarah pada pemujaan berlebihan terhadap produk-produk komersial, menciptakan siklus obsesif yang mempengaruhi persepsi nilai dan makna hidup seseorang.

Lebih jauh lagi, fenomena ini erat kaitannya dengan budaya flexing atau pamer kekayaan dan status sosial yang semakin marak dalam masyarakat. Orang yang memiliki dan memamerkan koleksi Labubu atau barang mahal lainnya kerap ingin menunjukkan keunggulan sosial, daya beli, atau sekadar mengikuti tren yang dianggap bergengsi. Budaya flexing ini memperkuat obsesi masyarakat terhadap kepemilikan barang mewah sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan sosial. Akibatnya, dorongan untuk berkompetisi dalam menunjukkan kepemilikan barang menjadi semakin besar, seringkali tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pribadi atau nilai-nilai yang lebih esensial. Ketika flexing menjadi standar sosial, ia dapat mengikis kebijaksanaan dalam mengatur keinginan, memperburuk ketimpangan sosial, dan memperkuat ketergantungan terhadap simbol status daripada pencapaian substansial.

Fenomena koleksi boneka Labubu telah memicu perilaku konsumtif yang signifikan di kalangan penggemar. Harga resmi boneka Labubu berkisar antara 65,9 dolar AS (sekitar Rp 998.638) hingga 167,9 dolar AS (sekitar Rp 2,5 juta) . Namun, di pasar sekunder atau resale, harga ini dapat melonjak tajam. Beberapa edisi terbatas atau kolaborasi khusus bahkan dijual kembali dengan harga mencapai Rp 14,3 juta . Untuk memberikan perspektif, harga resale tersebut setara dengan sekitar 1.000 kg beras medium, mengingat harga beras di Indonesia berkisar antara Rp 14.000 hingga Rp 15.000 per kilogram. Selain itu, jumlah tersebut dapat menutupi biaya pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas di beberapa institusi swasta di Indonesia.

FOMO

Fear of Missing Out (FOMO) adalah perasaan cemas dan takut tertinggal dari tren, berita, atau aktivitas yang sedang berlangsung di sekitar kita. Dalam era modern yang sangat terhubung melalui media sosial, FOMO menjadi semakin umum karena kemudahan akses informasi dan kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Perasaan ini mendorong individu untuk selalu mengikuti perkembangan terbaru agar tidak merasa ketinggalan, yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku konsumtif mereka.

Perilaku konsumtif yang dipicu oleh FOMO muncul karena individu merasa perlu membeli produk atau mengikuti tren tertentu untuk mendapatkan validasi sosial dan pengakuan dari lingkungan sekitar. Misalnya, tren produk kosmetik atau fashion yang viral di platform seperti Instagram dan TikTok seringkali membuat orang merasa harus memiliki produk tersebut agar tidak merasa tertinggal. Influencer dan selebritas memainkan peran penting dalam mendorong perilaku ini dengan mempromosikan barang-barang tertentu yang dianggap mewah atau eksklusif.

Contoh nyata dari fenomena ini adalah kasus Labubu, sebuah produk asal Tiongkok yang berhasil memanfaatkan FOMO dalam strategi pemasarannya. Labubu dipromosikan secara intens melalui media sosial dengan melibatkan selebritis Korea Selatan seperti Lisa dari BLACKPINK, yang memiliki daya tarik dan pengaruh besar di kancah global. Promosi ini tidak hanya membuat Labubu menjadi tren global, tetapi juga menciptakan tekanan sosial di kalangan masyarakat Indonesia yang sangat terhubung dengan budaya pop Korea (K-pop). Banyak konsumen merasa harus membeli Labubu untuk tetap relevan dan diterima di lingkungan sosial mereka, meskipun mungkin produk tersebut awalnya hanyalah mainan koleksi. Strategi pemasaran ini menunjukkan bagaimana FOMO dapat dimanfaatkan untuk mendorong perilaku konsumtif yang signifikan, karena konsumen merasa perlu memiliki produk tersebut agar tidak ketinggalan tren terbaru.

Media sosial memperkuat FOMO dengan menampilkan kehidupan orang lain yang tampak lebih menarik dan sukses, menciptakan perbandingan sosial yang tidak sehat. Eksposur berlebihan ini dapat menurunkan kepuasan hidup dan kesehatan mental, karena individu merasa tidak pernah cukup baik atau cukup memiliki apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Ketergantungan pada media sosial untuk mendapatkan validasi ini akhirnya dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan bahkan gangguan tidur.

Di Indonesia, fenomena FOMO sangat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti tren flash sale di marketplace besar dan budaya "hypebeast" di kalangan anak muda. Orang-orang berlomba-lomba membeli produk yang sebenarnya tidak mereka butuhkan hanya karena takut kehilangan kesempatan atau tidak ingin terlihat ketinggalan di antara teman-teman mereka. Strategi pemasaran yang efektif, seperti penggunaan selebritas dan influencer, semakin memperkuat dorongan FOMO ini, membuat perilaku konsumtif menjadi semakin merajalela.

Fenomena FOMO ini sesuai dengan konsep "mimesis" yang diperkenalkan oleh filsuf dan antropolog Prancis, René Girard. Dalam pemikiran Girard, keinginan manusia tidak muncul secara mandiri, melainkan melalui proses peniruan terhadap keinginan orang lain. Hal ini ia bahas secara mendalam dalam bukunya yang berjudul "Deceit, Desire, and the Novel: Self and Other in Literary Structure" (1957). Girard mengemukakan bahwa manusia kerap meniru keinginan orang lain, yang ia sebut sebagai "desire mimétique" (keinginan mimetik). Keinginan tersebut tidak lahir dari kebutuhan sejati melainkan dipicu oleh dorongan untuk meniru atau mendapatkan pengakuan dari individu yang lebih berpengaruh, seperti selebriti atau tokoh sosial.

Fenomena keinginan manusia yang digambarkan sebagai hasil dari proses peniruan atau imitasi oleh filsuf dan antropolog Prancis René Girard adalah konsep yang mendalam dan memiliki implikasi luas pada perilaku sosial dan budaya. Menurut Girard, keinginan manusia tidak berasal sepenuhnya dari dalam diri individu; sebaliknya, keinginan itu terbentuk melalui proses meniru keinginan orang lain. Konsep ini dikenal dengan istilah "mimesis" atau "keinginan mimetik" (desire mimétique), yang dibahas secara terperinci dalam beberapa karyanya.

Dalam bukunya Deceit, Desire, and the Novel: Self and Other in Literary Structure (1957), Girard mengkaji karya-karya sastra klasik untuk menunjukkan bahwa keinginan manusia sering kali dimediasi oleh model atau "orang lain" yang kita tiru. Ia menyoroti bahwa keinginan kita terhadap sesuatu tidak murni bersifat pribadi atau individual, tetapi terinspirasi oleh keinginan yang kita lihat pada orang lain. Sebagai contoh, ketika seseorang melihat selebritas atau tokoh masyarakat memiliki barang tertentu, ia mungkin terdorong untuk menginginkan barang yang sama. Hal ini tidak semata-mata karena kebutuhan akan barang tersebut, tetapi lebih kepada dorongan untuk mendapatkan pengakuan, menyesuaikan diri dengan standar sosial, atau bahkan menyaingi orang yang ditiru. Dorongan ini sering menjadi landasan dari perilaku konsumtif di masyarakat modern.
Konsep Girard tentang mimesis memiliki relevansi yang jelas dalam budaya konsumtif modern. Fenomena ini dapat dilihat pada tren yang dipicu oleh selebriti atau tokoh populer, di mana orang-orang berusaha meniru gaya hidup, kepemilikan, dan perilaku yang dianggap "ideal" atau "berprestise." Ketika selebritas seperti Lisa dari BLACKPINK, misalnya, terlihat mengoleksi boneka tertentu seperti Labubu, banyak penggemarnya terpicu untuk memiliki hal yang sama demi memperoleh pengakuan, meniru keinginan sang idola, atau memenuhi ekspektasi sosial.

Girard juga menunjukkan bahwa keinginan mimetik dapat membuat individu merasa terjebak dalam siklus yang tidak ada habisnya. Dalam proses meniru orang lain, seseorang mungkin kehilangan jati diri dan kebebasan untuk memilih keinginannya sendiri. Akibatnya, obsesi terhadap tren, barang mewah, atau simbol status sosial dapat menimbulkan tekanan sosial yang besar, rasa takut tertinggal (FOMO), bahkan perasaan rendah diri jika gagal memenuhi ekspektasi tersebut.

Pemikiran Girard menunjukkan bagaimana keinginan manusia tidak pernah lepas dari pengaruh sosial dan budaya. Fenomena seperti obsesi terhadap koleksi boneka, mode, atau teknologi terbaru bukan hanya soal barang itu sendiri, tetapi juga soal relasi sosial yang terbentuk di sekitarnya. Girard memperingatkan bahwa jika keinginan mimetik ini tidak terkendali, ia dapat menciptakan pola konsumtif yang tak sehat dan persaingan yang destruktif di tengah masyarakat, mereduksi nilai-nilai yang lebih esensial seperti kebahagiaan sejati, kesejahteraan pribadi, dan solidaritas sosial.

Perilaku mimesis ini menciptakan sebuah lingkaran di mana individu terus-menerus merasa tertinggal, selalu berusaha mengejar standar eksternal tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pribadi. Imbas dari mengejar tanpa akhir ini akan menciptakan pembatas-pembatas baru untuk mereka yang mampu dan tidak mampu. Sudahlah, jawaban dari si mampu adalah mereka mampu membeli, untuk si tidak mampu ada banyak jalan menuju beban-beban baru dalam hidupnya seperti paylater, Pinjaman Daring, dan mungkin mencuri. Hal tidak berbahaya yang mungkin bisa dilakukan adalah membeli barang palsu tak berlisensi, entah itu buatan dalam negeri atau tetap saja impor.

Di sisi lain, fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam terkait nasionalisme. Ketika produk asing menjadi sangat populer dan bahkan disanjung oleh masyarakat lokal, timbul perasaan bahwa nasionalisme sedang tergerus. Masyarakat menjadi konsumen pasif, terjebak dalam arus budaya dan konsumsi global tanpa banyak mempertanyakan dampaknya terhadap budaya dan ekonomi lokal. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi "obyek" yang dimanfaatkan oleh tren global dan strategi pemasaran dari luar negeri.

Sudut pandang kebangsaan, perilaku ini memiliki titik bahaya yang terletak pada kesejahteraan. Nasionalisme bukan hanya soal cinta terhadap tanah air, tetapi juga kepedulian terhadap kesejahteraan bersama. Ketika seseorang terjebak dalam lingkaran utang akibat perilaku konsumtif yang berlebihan, mereka tidak hanya merugikan diri mereka sendiri, tetapi juga berpotensi menjadi beban bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebuah bangsa yang mengedepankan nasionalisme yang sehat seharusnya mendorong rakyatnya untuk hidup sejahtera, bukan terjerat dalam masalah keuangan akibat gaya hidup yang tidak terkontrol.

Menghubungkan Labubu dengan nasionalisme adalah tantangan yang menarik. Fenomena ini dapat menjadi cermin untuk memahami betapa kuatnya pengaruh budaya global terhadap preferensi dan kebiasaan konsumsi lokal. Jika kita melihatnya dari sisi positif, kita bisa belajar bagaimana strategi pemasaran yang efektif mampu menciptakan daya tarik internasional. Tetapi, dari perspektif nasionalisme, fenomena ini menggarisbawahi betapa pentingnya menciptakan produk lokal yang dapat bersaing di pasar global dengan daya tarik dan kualitas yang setara, atau bahkan lebih unggul. Jika produk buatan Indonesia mampu laris manis di pasar global, fenomena tersebut dapat memberikan kebanggaan nasional, menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dalam arus globalisasi, tetapi juga menjadi pelaku yang kompetitif dan diakui di pasar internasional.

Suksesnya produk Indonesia di pasar global akan menjadi bukti nyata kekuatan kreativitas dan inovasi anak bangsa. Sama seperti Labubu yang berhasil berkat daya tarik karakter unik, pemasaran yang cerdas, dan pengaruh budaya, produk lokal Indonesia juga bisa memanfaatkan kekuatan budaya, tradisi, dan inovasi modern untuk menciptakan daya saing global. Namun, perbedaan terletak pada pengaruh yang lebih besar terhadap kebanggaan nasional. Ketika produk Indonesia diakui di dunia global, itu bukan sekadar bukti sukses pemasaran, tetapi juga pengakuan terhadap identitas dan budaya lokal yang dapat berdiri sejajar dengan produk-produk global lainnya.

Dengan kata lain, fenomena Labubu seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk menciptakan produk lokal yang tidak hanya berorientasi pada pasar domestik tetapi juga mampu bersaing di tingkat global. Dalam konteks ini, nasionalisme dapat diartikan sebagai upaya untuk mendorong produksi dan kreativitas lokal sehingga kita tidak hanya menjadi "obyek" dari fenomena pemasaran global, tetapi juga menjadi "subyek" yang menciptakan fenomena serupa. Mengembangkan daya saing, kreativitas, dan pengaruh produk-produk lokal di tingkat internasional adalah langkah penting untuk mewujudkan nasionalisme yang relevan di era globalisasi ini.

Perlu diingat juga, Perilaku konsumtif yang berlebihan dapat mengalihkan fokus masyarakat dari kegiatan yang lebih produktif, seperti menabung, berinvestasi, atau meningkatkan keterampilan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hal ini dapat menghambat daya saing bangsa dan memperburuk ketimpangan sosial. Keinginan untuk memenuhi standar hidup tertentu sering kali mendorong konsumsi yang tidak bijak, memperlebar kesenjangan antara kelompok sosial, dan menimbulkan rasa iri serta ketidakpuasan di masyarakat.

Perilaku konsumtif yang didorong oleh rasa takut tertinggal (FOMO) telah menciptakan fenomena sosial yang merugikan tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi kesejahteraan nasional. Fenomena seperti koleksi barang-barang berlabel status, seperti Labubu, menunjukkan bagaimana konsumerisme yang berlebihan dapat menciptakan lingkaran ketergantungan sosial yang merugikan. Mimesis, sebagai dorongan untuk meniru keinginan orang lain, mengarah pada keputusan yang lebih didorong oleh standar eksternal daripada kebutuhan sejati, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas finansial dan kesejahteraan individu. Dampaknya bukan hanya pada individu yang terjerat utang, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan yang menanggung beban dari pola konsumsi yang tidak terkontrol.

Perilaku konsumtif yang ugal-ugalan adalah salah satu bentuk pencederaan terhadap nasionalisme. Mungkin, argumen yang akan keluar adalah perilaku konsumerisme menyumbangkan pajak untuk negara, tapi apa arti dari pajak tersebut ketika masyarakat yang ugal-ugalan pada akhirnya terlilit hutang dan menyusahkan kehidupan pribadinya? Pajak memang merupakan sumber pendapatan negara yang vital, namun kesejahteraan masyarakat harus tetap menjadi prioritas utama. Pajak yang diperoleh dari perilaku konsumtif tidak akan berarti banyak jika masyarakat yang membayar pajak tersebut justru hidup dalam kesulitan ekonomi dan sosial. Negara yang sehat bukan hanya yang memiliki pendapatan tinggi dari pajak, tetapi juga yang mampu menjaga kesejahteraan dan keberlanjutan hidup warganya.

Nasionalisme sejatinya tidak hanya diukur dari kecintaan terhadap tanah air, tetapi juga dari upaya nyata dalam menjaga dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Hal ini selaras dengan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa negara bertujuan untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia." Mengacu pada tujuan ini, nasionalisme bukan hanya tentang simbol-simbol kebangsaan atau kebanggaan semata, tetapi juga mencakup langkah nyata untuk membangun masyarakat yang sehat, sejahtera, dan berkeadilan.
Perilaku konsumtif yang merugikan kesejahteraan pribadi dan sosial dapat menjadi ancaman bagi pembangunan bangsa. Ketika masyarakat terjebak dalam pola konsumsi yang berlebihan demi memenuhi standar sosial yang ditentukan oleh tren atau dorongan mimetik, kesejahteraan bersama bisa terancam. Pola konsumsi semacam ini tidak hanya menciptakan ketimpangan sosial, tetapi juga dapat menyebabkan masalah finansial pada tingkat individu dan berdampak pada stabilitas sosial secara keseluruhan.

Fenomena pemasaran dan popularitas Labubu, yang mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia menjadi konsumen dalam tren global, dapat dikaitkan dengan filosofi Jawa tentang sikap dalam menghadapi dunia, yakni adigang, adigung, adiguna serta tepa slira. Konsep-konsep ini membawa nilai-nilai yang relevan dalam menelaah hubungan antara nasionalisme, konsumsi, dan cara kita menghadapi globalisasi.

Adigang, adigung, adiguna adalah ajaran etika Jawa yang mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya mengendalikan diri dari sikap arogan dan sombong dalam menggunakan kekuatan, kekuasaan, atau kemampuan yang dimilikinya. Adigang mengacu pada kekuatan fisik atau pengaruh, adigung merujuk pada kekuasaan atau kedudukan, dan adiguna berhubungan dengan kecerdasan atau keahlian. Dalam konteks ini, ada refleksi bahwa dalam menghadapi tren global, kita tidak boleh terlalu "adigang" atau "adigung," merasa lebih rendah diri dengan memuja produk asing dan merendahkan potensi lokal sendiri. Sebaliknya, kita harus mampu mengarahkan potensi lokal yang ada?"baik kekuatan ekonomi, budaya, maupun kreativitas?"untuk menciptakan produk yang mampu bersaing di pasar global.

Namun, di balik sikap tersebut, juga terdapat nilai tepa slira, yaitu kemampuan untuk berempati dan menempatkan diri di posisi orang lain. Dalam hal ini, tepa slira mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam sikap konsumtif yang berlebihan, karena perilaku konsumtif yang membahayakan kesejahteraan pribadi dan sosial tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga bisa menimbulkan masalah sosial yang lebih luas. Tepa slira mengajak masyarakat untuk lebih bijak dan berempati dalam mengelola keinginan dan kebutuhan mereka, terutama dalam menghadapi arus budaya global yang kuat seperti yang ditunjukkan oleh fenomena Labubu.

Negara yang sehat adalah negara yang mampu menjaga kesejahteraan rakyatnya melalui pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya yang bijaksana, bukan dengan mendorong atau mengandalkan konsumsi yang berlebihan semata. Ketika masyarakat terlalu bergantung pada konsumerisme yang tidak terkendali, negara mungkin memperoleh pemasukan pajak dari aktivitas konsumsi tersebut. Namun, pola ini tidak sehat dalam jangka panjang karena mengorbankan stabilitas keuangan individu dan dapat merusak nilai-nilai yang mendukung solidaritas sosial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengubah pola pikir tentang konsumsi agar lebih berkelanjutan, bertanggung jawab, dan tidak merusak kesejahteraan pribadi maupun bangsa. Keberhasilan sejati tidak terletak pada banyaknya barang yang kita miliki, tetapi pada kemampuan untuk hidup secara bijaksana, menyeimbangkan kebutuhan dan keinginan, serta menjaga keharmonisan sosial dan ekonomi dalam jangka panjang. Dengan pola pikir konsumsi yang lebih berkelanjutan, kita tidak hanya membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sehat, tetapi juga memperkuat fondasi pembangunan bangsa yang berorientasi pada kesejahteraan umum sesuai dengan cita-cita nasionalisme yang sesungguhnya.

Keterlibatan dan peran anak muda menjadi elemen penting dalam upaya mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera, adil, dan berkelanjutan. Anak muda memiliki energi, kreativitas, serta perspektif segar yang dapat menjadi motor penggerak perubahan sosial. Dalam konteks pembangunan ekonomi dan pengelolaan sumber daya yang bijaksana, anak muda memiliki tanggung jawab besar untuk menerapkan pola pikir yang lebih berkelanjutan, tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga sebagai inovator dan pelaku perubahan.

Peran anak muda dalam mempromosikan pola konsumsi yang bertanggung jawab dapat diwujudkan melalui edukasi, kampanye sosial, hingga inisiatif berbasis komunitas. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya harmoni antara kebutuhan individu dan kesejahteraan masyarakat luas, anak muda dapat menjadi agen perubahan yang menginspirasi lingkungannya. Selain itu, anak muda juga memiliki potensi besar untuk menciptakan produk dan layanan inovatif yang berbasis pada nilai-nilai keberlanjutan, kreativitas lokal, dan kepedulian sosial.

Peran anak muda tidak bisa diremehkan. Mereka adalah katalis perubahan yang mampu menciptakan dampak positif, baik melalui gerakan kecil dalam komunitas maupun inovasi besar yang memengaruhi bangsa. Dengan keterlibatan yang aktif, anak muda tidak hanya berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan tetapi juga memperkuat fondasi nasionalisme yang inklusif dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Nasionalisme sejati bukan berarti menolak pengaruh luar atau bersikap eksklusif. Sebaliknya, dengan sikap adigang, adigung, adiguna yang terkendali dan disertai tepa slira, anak muda dapat menjadi ujung tombak dalam menyaring pengaruh global yang masuk dan mengembangkannya menjadi kekuatan lokal yang membanggakan. Dalam konteks ini, strategi pemasaran Labubu, misalnya, dapat menjadi pelajaran penting sekaligus dorongan untuk menciptakan produk-produk lokal yang mampu memanfaatkan keunggulan budaya dan kreativitas kita sendiri. Semua ini dilakukan sembari tetap menjaga harmoni dan empati terhadap kesejahteraan sosial.

Nasionalisme yang kuat terwujud ketika generasi muda mampu mengangkat identitas bangsa di tengah persaingan global dengan kebanggaan, kerendahan hati, dan empati terhadap sesama. Melalui kreativitas, kolaborasi, dan keterbukaan terhadap ide-ide baru, anak muda dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, memastikan bahwa potensi budaya dan inovasi Indonesia tidak hanya berkembang di dalam negeri, tetapi juga dihormati di kancah internasional. Dengan peran aktif anak muda, kita dapat menciptakan bangsa yang tidak hanya mandiri dan berdaya saing, tetapi juga berlandaskan solidaritas dan keberlanjutan.rmol news logo article

*Penulis adalah kader Gerindra Masa Depan (GMD) angkatan ke-15
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA