Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Memaafkan Sejarah dan Pelajaran Tragedi ‘65

Oleh: Dr. Rasminto*

Selasa, 01 Oktober 2024, 19:14 WIB
Memaafkan Sejarah dan Pelajaran Tragedi ‘65
Pelantikan Presiden Soeharto usai Tragedi 1965/Net
SEJARAH merupakan pondasi identitas bangsa, sebuah cermin yang memantulkan jejak langkah masa lalu menuju masa depan. Begitu pula dengan peristiwa kelam Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), yang hingga kini menjadi salah satu babak paling kontroversial dalam perjalanan Indonesia.

Dalam bayang-bayang tragedi tersebut, narasi pengkhianatan, kudeta, dan kekerasan menjadi warisan yang masih diperdebatkan. Peristiwa ini tidak hanya mengubah arah politik bangsa, tetapi juga menorehkan luka mendalam yang memecah belah masyarakat sejak 59 tahun silam hingga hari ini.

Slogan “Jas Merah”, dengan makna jangan sekali-kali melupakan sejarah, yang dipopulerkan oleh Soekarno sang Proklamator RI, bangsa Indonesia diingatkan untuk tidak mengabaikan masa lalu. Namun, sejarah G30S/PKI tidaklah sesederhana hitam dan putih. 

Melalui perjalanan waktu yang panjang, interpretasi terhadap peristiwa kelam ini menjadi perdebatan yang melibatkan ideologi, politik, dan keadilan.

Hikmah Tragedi Kelam

Mengenang tragedi kelam 30 September 1965, merupakan pengingat bahwa sejarah bangsa tidak lepas dari berbagai peristiwa tragis yang membentuk wajah politik, sosial, dan budaya Indonesia. 

Peristiwa tersebut, mengingatkan kita akan bahaya ekstremisme ideologi dan konflik kekuasaan yang dapat merusak fondasi kemanusiaan dan kebangsaan yang telah diraih dengan pengorbanan ribuan bahkan jutaan darah dan air mata para pejuang bangsa ini. 

Sehingga, sebagai bangsa yang berperadaban, kita perlu mengambil hikmahnya dengan menjaga keutuhan bangsa dengan selalu mengedepankan dialog dan toleransi di atas segala perbedaan. Ketegangan politik yang dipupuk oleh kecurigaan dan kebencian hanya akan menimbulkan kekacauan dan tragedi.

Hikmah kedua dari peristiwa ini adalah perlunya keadilan dan kemanusiaan dalam menyikapi sejarah. Tragedi G30S/PKI telah menyebabkan penderitaan besar bagi banyak pihak, dari mereka yang menjadi korban pembunuhan massal hingga keluarga-keluarga yang terpinggirkan akibat stigmatisasi. 

Menghadapi masa lalu dengan bijak dan memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan adalah langkah fundamental untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih adil. Melalui proses ini, bangsa Indonesia dapat belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan lebih menghargai hak asasi manusia sebagai nilai universal.

Mengenang tragedi 30 September 1965, dan kekuatan adanya persatuan bangsa dengan melawan pengkhianatan tersebut merupakan nilai hakiki kesaktian Pancasila, sebab bangsa ini dapat bersatu padu bangkit dari keterpurukan peristiwa kelam yang merenggut para pahlawan revolusi dan ribuan bahkan jutaan rakyat menjadi korban atas perseteruan tiada akhir. 

Namun kini, sebagai bangsa besar, dari peristiwa September kelam telah mengajarkan kita pentingnya rekonsiliasi nasional. Perpecahan ideologis yang muncul dari peristiwa tersebut masih berdampak pada kohesi sosial bangsa ini. Rekonsiliasi bukan berarti melupakan, tetapi mengingat dengan bijak dan berusaha membangun masa depan bersama. 

Dengan merefleksikan kejadian kelam tersebut, kita dapat memperkuat komitmen untuk menjaga keadilan, persatuan, dan semangat kebhinekaan yang menjadi dasar kokoh bagi bangsa Indonesia yang damai dan berdaulat.

Pencabutan Tap MPR dan Penghormatan Kepada Para Tokoh Bangsa

Pencabutan Tap MPR yang menyangkut Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur tidak hanya merupakan langkah hukum atau politik, tetapi juga merupakan refleksi dari perjalanan sejarah bangsa yang diwarnai oleh dinamika kekuasaan, tragedi, serta semangat persatuan nasional. 

Para tokoh tersebut, terlibat langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang membentuk wajah Indonesia hari ini. Dalam konteks Gerakan 30 September 1965 dan peringatan Hari Kesaktian Pancasila, kita diingatkan bahwa sejarah yang penuh gejolak harus dihadapi dengan kedewasaan dan penghormatan terhadap jasa para pemimpin bangsa.

Soekarno, sebagai proklamator dan Presiden pertama Indonesia, berada di tengah pusaran kekacauan politik saat G30S/PKI meletus. Meskipun akhirnya dikaitkan dengan peristiwa tragis tersebut, kepemimpinan Soekarno tetap menjadi simbol perjuangan kemerdekaan dan persatuan. 

Pencabutan Tap MPRS 33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno merupakan dekrit yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Indonesia pada tahun 1967 itu menuduh mantan Presiden Soekarno mendukung dan melindungi para pelaku G30S. 

Sehingga, pencabutan tersebut merupakan pengakuan bahwa, terlepas dari kontroversi yang mengelilinginya, ia adalah bapak bangsa yang telah menyatukan Indonesia melalui gagasan besar seperti Pancasila. Maka, dengan selalu kita belajar pentingnya menjaga Pancasila sebagai dasar ideologi negara yang menyatukan segala perbedaan, merupakan juga menjaga sebuah warisan abadi dari Soekarno.

Di era Soeharto, Indonesia memasuki fase baru pasca G30S/PKI, di mana Soeharto mengambil alih kepemimpinan dan mengkonsolidasikan kekuasaan melalui era Orde Baru. Melalui kepemimpinan dengan tindakan politik yang tegas, Soeharto menekan gerakan komunisme di Indonesia, memperkuat ideologi Pancasila sebagai benteng utama bangsa dari ancaman ideologi lain. 

Kesaktian Pancasila diuji dalam era ini, dan Soeharto memainkan peran sentral dalam memastikan stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi nasional. Namun, kepemimpinannya juga tidak lepas dari tuduhan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), sehingga mencabut nama Soeharto dari Tap MPR No 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih tanpa KKN.

Maka, pencabutan nama Soeharto dalam Tap MPR tersebut menjadi tonggak sebuah penghormatan kepada para pemimpin bangsa yang telah berjasa dalam pembangunan negeri ini. 

Namun, kita sebagai generasi penerus, upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia

Selanjutnya, Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur. Ia merupakan tokoh pemimpin pasca Reformasi. Perannya sangat sentral dalam memperkuat nilai-nilai Pancasila melalui kebijakan yang berorientasi pada pluralisme dan inklusifitas. 

Dalam masa transisi demokrasi yang penuh tantangan, Gus Dur mengupayakan rekonsiliasi nasional yang mencakup semua elemen masyarakat, termasuk korban peristiwa 1965. Ia mencoba membawa bangsa keluar dari trauma masa lalu dengan memperkuat semangat kemanusiaan yang tercermin dalam Pancasila. 

Pencabutan Tap MPR nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah simbol dari pengakuan atas kontribusinya dalam menjaga keberlanjutan Pancasila sebagai pedoman utama bangsa, serta dedikasinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.

Dengan demikian, melalui pencabutan Tap MPR yang menyangkut ketiga tokoh ini, kita tidak hanya menghormati jasa mereka, tetapi juga menegaskan kembali pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Peristiwa G30S/PKI dan Hari Kesaktian Pancasila mengajarkan kita bahwa hanya dengan bersatu di bawah nilai-nilai Pancasila, bangsa ini bisa mengatasi perbedaan dan tantangan, serta melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik.

Utamakan Persatuan dan Kesatuan

Menatap masa depan dengan penuh harapan hanya mungkin terjadi jika kita mampu melupakan dendam masa silam dan menjadikan persatuan serta kesatuan sebagai fondasi utama kehidupan berbangsa. Setiap bangsa pasti memiliki catatan sejarah yang penuh luka, namun memelihara dendam hanya akan membelenggu langkah menuju kemajuan. 

Indonesia yang besar dan beragam harus mampu melampaui konflik masa lalu dengan jiwa besar, serta menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya. Melalui kebhinekaan, kita harus saling menghargai, melupakan permusuhan, dan memperkuat rasa persaudaraan agar mampu membangun masa depan yang lebih baik.

Namun, memaafkan masa lalu tidak berarti kita menjadi lengah atau melupakan hikmah yang telah diajarkan sejarah. Sebagai bangsa yang mawas diri, Indonesia harus selalu waspada terhadap ancaman yang dapat merusak persatuan. 

Konflik ideologi, pertikaian politik, serta upaya memecah belah bangsa melalui isu-isu sensitif harus dihadapi dengan bijaksana. Persatuan tidak boleh dianggap remeh, karena tanpa kesadaran kolektif untuk menjaganya, bangsa ini akan mudah terjebak dalam jebakan perpecahan. Mawas diri berarti memahami bahwa perdamaian dan persatuan merupakan hasil dari kerja keras bersama, serta komitmen untuk terus waspada terhadap setiap ancaman yang dapat menggoyahkan bangsa.

Akhirnya, dengan semangat persatuan dan kewaspadaan, Indonesia dapat melangkah maju menuju masa depan yang lebih gemilang. Mengubur dendam masa lalu, namun tetap belajar dari sejarah, akan memperkuat bangsa ini untuk menghadapi tantangan global. 

Keberanian untuk memaafkan masa silam, serta keteguhan untuk tetap bersatu, adalah kunci bagi Indonesia untuk terus maju dan berdaulat. Hanya dengan bersatu dan waspada, kita dapat memastikan bahwa setiap langkah yang diambil menuju masa depan merupakan langkah yang kokoh, membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila Sakti, Indonesia berdaulat! rmol news logo article

*Penulis adalah Akademisi Unisma, Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) dan Anggota Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK) Provinsi DKJ

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA