Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penyediaan Alat Kontrasepsi, Kesalahan DPR dan Kementerian Kesehatan?

OLEH: RIZALDI MINA*

Sabtu, 17 Agustus 2024, 16:23 WIB
Penyediaan Alat Kontrasepsi, Kesalahan DPR dan Kementerian Kesehatan?
Ilustrasi/Net
PADA tanggal 26 Juli 2024, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023 tentang Kesehatan. Tentu ini upaya yang baik dari pemerintah agar menjamin kepastian hukum bagi Kesehatan perorangan dan masyarakat sekaligus.

Namun kebijakan hukum ini menuai polemik dikarenakan ada bunyi pasal yang dinilai tidak sesuai dengan norma yang hidup di masyarakat Indonesia, yakni Pasal 103 yang mengamanatkan untuk menyediakan alat kontrasepsi untuk upaya Kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah dan remaja.

Beberapa menilai bahwa upaya ini dilakukan negara seolah ingin melegalkan anak remaja dan anak sekolah melakukan zina atau free sex dengan catatan harus menggunakan alat kontrasepsi. Benarkah demikian?

Kesehatan Reproduksi dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan

Sebelum menyimpulkan semuanya, alangkah baiknya dimulai dengan menyoal kesehatan reproduksi, sebab akar dari semuanya adalah kesehatan reproduksi. Menurut Pasal 97 PP/28/2024 bahwa kesehatan reproduksi memiliki tujuan yakni menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual pada laki-laki dan perempuan juga menjamin Kesehatan reproduksi pada laki-laki dan perempuan untuk membentuk generasi yang sehat dan berkualitas.

Pada pasal selanjutnya tepatnya Pasal 98 PP/28/2024 disebutkan bahwa upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormat nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.

Apakah ini dapat ditafsirkan bahwa kesehatan reproduksi harus sesuai dengan tuntunan religiusitas? Bisa jadi. Tapi menurut penulis bahwa pasal ini ambil contoh seperti upaya yang mencoba untuk menyakiti orang lain, bukan berarti harus religius saja.

Namun terlepas dari semuanya, sampai disini tentu tidak ada masalah sama sekali.

Problem Kesehatan Reproduksi, Pro Zina dan LGBT?

Problematika hadir ketika ada muatan soal variabel kesehatan reproduksi yang basisnya adalah siklus hidup. Dalam Pasal 101 PP/28/2024 disebutkan bahwa siklus hidup yang dimaksud adalah fase bayi, balita dan anak prasekolah, usia sekolah dan remaja, dewasa, calon pengantin, dan lanjut usia.

Dan yang patut disorot adalah bahwa penyediaan alat kontrasepsi hanya terdapat pada siklus hidup usia sekolah dan remaja juga dewasa saja. Dalam Pasal 103 Ayat 4 Point E PP/28/2024 disebutkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi untuk anak usia sekolah dan remaja salah satunya adalah penyediaan alat kontrasepsi.

Kementerian Kesehatan melalui Plt Biro Komunikasi menyebutkan bahwa upaya ini dilakukan untuk anak yang dinikahkan di usia remaja. Anggap saja ungkapan ini benar, lantas mengapa kalau sasarannya pernikahan harus ada kategori remaja dan sekolah, kategori calon pengantin juga rasanya sudah cukup.

Selain kategori remaja ada juga kategori Dewasa, kategori ini patutnya disorot lebih tajam mengingat terdapat banyak kejanggalan. Dalam Pasal 104 PP/28/2024 disebutkan bahwa upaya melangsungkan kesehatan reproduksi di antaranya dengan komunikasi, informasi, dan edukasi serta pelayanan kesehatan reproduksi.

Untuk komunikasi, informasi dan edukasi yang patut disorot adalah Pasal 2 Poin H PP/28/2024 yakni negara melalui perangkat kesehatan bakal menginformasikan bahwa harus ada upaya melindungi dan mampu menolak hubungan seksual yang tidak dikehendaki.

Kalau kita menggunakan logika hukum a contrario, bahwa kalau ada hubungan yang tidak dikehendaki harus ditolak, tapi kalau hubungan dikehendaki (suka sama suka/consent) makan layak untuk diterima terlepas statusnya sudah menikah atau tidak menikah (zina/free sex).

Untuk pelayanan Kesehatan reproduksi ini lebih janggal lagi, dalam Pasal 104 Ayat 2 Point E disebutkan bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok beresiko. Untuk pasangan usia subur, lagi-lagi mengapa tidak masuk kategori calon pengantin yang jelas kalau memang mereka akan menikah, lantas tidak ada kategori spesifik bahwa Pasal ini ditujukan untuk pasangan subur yang sudah menikah.

Kejanggalan berlanjut, ada kategori kelompok beresiko. Tentu pertanyaannya kelompok beresiko ini siapa? telunjuk publik pasti menyasar kelompok LGBTQ karena secara logika hukum bahwa kelompok heteroseksual sudah masuk di kategori yang lainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa secara tak kasat mata, Peraturan Pemerintah ini telah mengundang keresahan di masyarakat akibat adanya multitafsir dan ambiguitas bagi beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan masyarakat menafsirkan bahwa itu merupakan upaya legalisasi zina dan LGBT yang jelas tidak selaras dengan living law atau hukum yang hidup di masyarakat.

Institusi Yang Bertanggungjawab

Siapa yang patut disalahkan?

Tentu pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Komisi IX DPR yang sama-sama membahas Peraturan Pemerintah ini, DPR dengan santainya menyetujui PP ini tanpa proses kritik yang jelas dan detail.

Seharusnya banyak tokoh agama yang terlibat agar meminimalisir potensi keresahan publik dan umat, namun yang terpenting seharusnya pembuat UU jangan sampai membuat aturan yang multi tafsir terlebih ini merupakan Peraturan Pemerintah yang sifatnya lebih teknis.

Ke depan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan DPR dalam hal ini komisi IX harus banyak melibatkan elemen yang dapat membantu meminimalisir keresahan di masyarakat seperti tokoh agama dan elemen yang mampu untuk membaca ulang dan mengkritisi setiap kebijakan dan aturan yang sedang dirancang dalam hal ini mahasiswa, sehingga semua perencanaan akan berjalan secara elegan, demokratis dan tepat sasaran.rmol news logo article

*Penulis adalah Ketua Bidang Hukum dan HAM PP. Hima Persis

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA