Persoalannya kemudian adalah untuk mengubah UUD, MPR dihadapkan oleh kekakuan yang sangat sulit untuk melakukan perubahan. Pasal 37 menyatakan bahwa ayat (1) tentang usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Dengan jumlah anggota MPR sebanyak 711 orang periode tahun 2019-2024, maka usulan perubahan UUD memerlukan usulan minimal sebanyak 237 orang anggota MPR.
Ayat (3) menyebutkan bahwa untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Itu artinya memerlukan kehadiran sebanyak 474 orang anggota MPR.
Ayat (4) menyatakan bahwa putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 orang anggota MPR. Artinya minimal perlu persetujuan minimal 238 orang anggota yang hadir dari minimal 474 orang anggota MPR yang menghadiri persidangan MPR.
Implikasinya adalah sungguh amat sulit untuk berhasil dalam mengamandemen UUD. Hanya dalam situasi ancaman kebangsaan yang sangat luar biasa, maka amandemen UUD dapat dilakukan.
Dalam berbagai kesempatan Ketua DPD RI tercatat mempunyai aspirasi untuk melakukan amandemen UUD. Namun tidak mengherankan, jika seandainya 136 anggota DPD RI periode 2019-2024 sekalipun mempunyai wacana untuk bersatu padu mengamandemen UUD, namun untuk memenuhi syarat melebihi minimal pengusul amandemen yang sebanyak 237 orang di atas, itu tidak terpenuhi secara tunggal dari semua jumlah anggota DPD saja.
Artinya, di luar anggota DPD RI masih diperlukan pengusul dari anggota DPR RI minimal sebanyak 101 orang lagi dari anggota DPR RI. Implikasinya adalah minimal diperlukan 2 parpol besar dalam DPR RI musti bersedia menjadi pengusul amandemen UUD.
Selanjutnya dengan jumlah anggota DPR RI sebanyak 575 orang anggota, maka untuk menghadirkan minimal 474 orang anggota MPR memerlukan dukungan 136 anggota DPD ditambah minimal 338 orang anggota DPR RI. Implikasinya adalah diperlukan tambahan minimal 58,78 persen dari anggota DPR RI musti menghadiri sidang MPR.
Dewasa ini parpol koalisi pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin mengalami dinamika sehubungan perkembangan perubahan hubungan personal dengan Ketum PDIP. MPR juga terkendala oleh ketentuan untuk tidak dapat mengamandemen UUD menjelang 6 bulan pemerintahan hendak berakhir.
Akibatnya, sekalipun parpol koalisi periode pemerintahan Prabowo Gibran bersatu padu pun masih minimal memerlukan tambahan koalisi anggota DPR RI dari parpol PKB dan Partai Nasdem. Jadi, bukan hanya diperlukan soliditas anggota DPR RI dari parpol Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN. Itu, sekalipun hanya untuk hadir secara lengkap dalam persidangan MPR bersama semua anggota DPD.
Artinya, wacana Amandemen UUD sungguh tidak mudah untuk direalisasikan bukan hanya untuk periode kepemimpinan MPR 2019-2024. Demikian juga tidak mudah direalisasikan untuk periode 2024-2029, namun peluang masih terbuka.
Implikasi secara jauh, bukan hanya Amandemen UUD sulit dilakukan oleh MPR, melainkan kelembagaan Presiden, DPR, DPD, dan kelembagaan tinggi negara yang lainnya pun sulit diubah-ubah, atau untuk saling dijatuhkan. Itu sebagai akibat dari peristiwa sejarah Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999. Berpeluang dapat dipraktekkan, namun tidak mudah.
Fenomena tersebut adalah saling menjaga dan mengunci sebagaimana peristiwa kelahiran aksara bahasa Jawa. Aksara yang bernama
Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa da ja ya nya, ma ga ba ta nga. Amanat mengambil keris pusaka sakti Aji Saka menjadi terlaksana dengan pengorbanan kedua penjaga amanat.
Artinya, jika dan hanya jika terdapat perubahan sentimen negatif yang bersifat sangat luar biasa, maka Amandemen UUD dapat diubah. Diubah, agar Pilpres kembali dipilih oleh MPR. MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun, hendak berpotensi mengulangi membangun presiden seumur hidup.
Berisiko tinggi. Seolah hendak memutar balik jarum demokrasi tanpa kesahihan argumentasi amandemen. Membuka pintu pandora, yang berpotensi membangun ketiranian dan lembaga tinggi negara dapat saling menjatuhkan.
Namun, hal itu menjadi pilihan politik yang sungguh sulit atas fenomena mengabadikan Amandemen UUD 1945 satu naskah. Sekalipun pilihan yang sebaliknya adalah dengan menggunakan jargon amandemen hendak dilakukan secara amat sangat terbatas, transparan, dan serba terbuka lebar.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: