Catatan penting yang perlu di lihat oleh Pemerintah Indonesia adalah berpikir berkali-kali untuk implementasi agenda ekonomi biru di Indonesia.
FIAN Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia dan Ekomarin melihat pentingnya perlindungan terhadap nelayan skala kecil, pekerja perikanan, dan masyarakat adat dari ekonomi biru yang akan meminggirkan produsen pangan perikanan skala kecil karena adanya persaingan tanpa mempertimbangkan adanya aspek ketidakadilan.
Selain itu, poin penting lainnya adalah bahwa dalam upaya penyelenggaraan tata kelola sumber daya laut dan pesisir perlu pengaturan yang berangkat dari pendekatan berbasis hak asasi manusia. Pada konteks hak atas pangan, kebijakan berkaitan dengan tata kelola sumber daya laut dan pesisir harus diintegrasikan dengan upaya pemulihan pembangunan pasca pandemi Covid-19 dan transformasi sistem pangan.
Hal tersebut dilakukan sebagai langkah untuk menekan dominasi industri besar baik dalam sektor perikanan maupun aktor dalam sektor lain mulai dari industri ekstraktif, infrastruktur skala besar bahkan infrastruktur yang mengklaim sebagai solusi atas krisis iklim.
Ekonomi Biru ala Pemerintah Indonesia
Pengelolaan sumber daya laut dan pesisir dalam prinsip ekonomi biru berangkat dari ide bahwa tata kelola sumber daya laut dan pesisir harus berkelanjutan dengan titik berat pada keseimbangan pemanfaatan sumberdaya sebagai sumber ekonomi dan keberlanjutan ekologi—lebih khusus, ekologi laut dan pesisir. Ekonomi biru sebagai sebuah konsep dengan klaim keberlanjutannya harus menghormati sistem ekonomi lokal dan upaya penghormatan, pemenuhan, perlindungan, serta pemulihan hak asasi manusia. Mengingat, pada konteks yang sama—ekonomi biru—berkelindan dengan risiko dan implikasi sosial ekonomi masyarakat pesisir, misalnya: komodifikasi sumber daya laut dan pesisir.
Wajar ketika pengarusutamaan ekonomi biru dikritisi dan didorong untuk ditinjau ulang sebab dikhawatirkan akan mendorong peningkatan ketimpangan ekonomi dan sosial, eksploitasi berlebih, hingga bermuara pada praktik tata kelola sumber daya laut dan pesisir yang tidak berkeadilan.
Dalam konteks kebijakan Indonesia, pemerintah mendorong implementasi dari konsep ekonomi biru dengan pandangan awal bahwa melalui konsep ini, Indonesia mampu memenuhi target pengurangan emisi pada tahun 2030. Hal tersebut ditempuh untuk mengiringi strategi dari sektor FOLU (Forestry and Other Land Uses) di Indonesia yang memimpikan target tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e (KLHK, 2023).
Menariknya, sebagai sebuah konsep dengan klaim berkelanjutan melampaui ekonomi hijau, ekonomi biru ala pemerintah Indonesia justru rentan terhadap praktik tidak berkelanjutan: perampasan sumber daya laut dan pesisir serta berorientasi pada pertumbuhan ekonomi di sektor ‘biru’ itu sendiri.
Pemerintah Indonesia, setidaknya Kementerian Kelautan dan Perikanan memanifestasikan konsep ekonomi biru menjadi lima kebijakan ekonomi biru: (1) pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) pembersihan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan atau bulan cinta laut; penerapan kebijakan penangkapan ikan yang terukur dengan berbasis pada kuota dan zona penangkapan; (3) pembangunan budidaya laut pesisir dan darat yang berkelanjutan; (4) penangkapan ikan terukur berbasis kuota; dan (5) memperluas kawasan konservasi laut.
Sayangnya, manifestasi kebijakan yang didorong oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bias kelas dan cara pandang shallow ecology serta masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut terlihat dari lahirnya berbagai konflik sosial hingga konflik yang bersifat sosio-ekologi. Kebijakan ekonomi biru ala Pemerintah Indonesia justru melahirkan dan memperparah konflik bersifat sosio-ekologi adalah pertarungan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil dalam kepentingan pemanfaatan ekstraktif, perikanan tangkap dan/atau budidaya, serta pariwisata.
Penghormatan Hak Asasi Manusia Dalam kerja-kerja pemenuhan hak atas pangan, nelayan skala kecil, baik laki-laki maupun perempuan sebagai produsen pangan skala kecil memiliki peran krusial yang dibuktikan dengan hasil produksinya. Bahkan pada sektor perikanan, sebanyak 92 juta ton ikan laut setiap tahunnya ditangkap untuk pemenuhan kebutuhan pangan dimana 40 persen di antaranya dipenuhi oleh hasil tangkap nelayan skala kecil (Fakhri, 2024).
Penghormatan hak nelayan skala kecil dalam ruang lingkup lebih spesifik dapat ditinjau dari perspektif pemenuhan hak atas pangan.
“...there is no life for millions of people in coastal and riparian communities without small-scale fishers and fish workers. The full enjoyment of human rights by small-scale fishers and fish workers is therefore a necessary precondition for the realization of the right to food by everyone”. Fakhri (2024).
Pemenuhan hak atas pangan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan bertumpu pada peran pengaturan negara yang harus menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi seimbang dan merata di tingkatan nasional hingga pada skala rumah tangga. Melalui pendekatan hak atas pangan, pemerintah wajib menghormati, melindungi, memfasilitasi, dan menyediakan kebutuhan pangan. Sayangnya, sebagaimana dijelaskan pada konteks implementasi ekonomi biru ala Pemerintah Indonesia, potensi eksploitasi berlebih terhadap sumber daya laut dan perikanan sebagai bahan pangan justru terancam.
Tujuan produksi pangan melalui perikanan tangkap maupun budidaya perikanan menjadi sangat berorientasi pada economic growth atas nama ‘biru’ dan menjadikan laut yang menjadi sumber pangan kelautan tersebut sepenuhnya berada dalam kuasa pasar. Akibatnya, nelayan skala kecil yang semula berorientasi pada subsisten maupun campuran antara subsisten dan komersial berubah menjadi berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar dan mendegradasi posisi nelayan skala kecil sebagai produsen pangan menjadi buruh yang memproduksi pangan.
Hal tersebut berangkat dari realitas rumah tangga nelayan skala kecil yang bahkan teridentifikasi sebagai kelompok rentan terhadap kondisi kelaparan terselubung atau hidden hunger .
Pemenuhan hak atas pangan bagi nelayan skala kecil dapat dilakukan dengan melaksanakan Panduan Perikanan Skala kecil yang diterbitkan FAO pada 2014 lalu yang tidak melihat pada keteraksesan pangan, termasuk lima pilar utama, yaitu (i) perlindungan hak atas tata kelola tenurial, (ii) pemberdayaan sosial, kondisi ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak; (iii) rantai nilai pasca produksi dan perdagangan; (iv) keadilan gender, dan berkaitan pula dengan (v) pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim. Berdasar kelima pilar tersebut, posisi nelayan skala kecil sebagai produsen pangan perikanan menjadi cermin kebijakan kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat pesisir. Dalam konteks Indonesia adanya Undang-Undang No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam merupakan komitmen tetapi tidak operasional. Karena hingga saat ini tiada aturan operasional (peraturan pelaksana) terhadap UU 7/2016 yang dapat terpadu dengan Panduan Perikanan Skala Kecil FAO Tahun 2014 yang dimandatkan ke Pemerintah untuk membuat Rencana Aksi Nasional untuk Perikanan Skala Kecil dengan terpadu ke dalam strategi hak atas pangan nasional.
Krisis Iklim (Dampak Besar Bagi Nelayan Skala Kecil)
Tidak bisa dipungkiri bahwa laut yang adalah Ibu Kita (dianalogikan oleh Michael Fakhri, 2024) ikut merasakan dampak luar biasa dari fenomena perubahan iklim. Disebutkan oleh Michael Fakhri (2024) bahwa industri ekstraktif yang berkontribusi besar pada peningkatan suhu air laut, keasaman dan arus, serta distribusi dan perilaku populasi ikan.
Pada gilirannya, perubahan iklim ini menciptakan kesenjangan yang besar. Sebab pihak yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis ini ikut merugi, yakni nelayan skala kecil. Padahal, para nelayan ini hanya menggunakan kapal penangkapan kecil, mereka bergantung pada sejumlah kecil modal dan energi, dan menangkap ikan di dekat pantai dengan waktu yang singkat dan emisi yang rendah dengan hasil yang dapat diakses banyak orang.
Oleh karena Negara dalam hal ini Pemerintah terkhusus kepada perusahaan besar harus berhenti mengeksploitasi laut dan memperlakukannya seperti komoditas, dan menyadari bahwa laut adalah sumber kehidupan yang harus tetap lestari.
Keadilan Gender dalam Perikanan Nelayan Skala Kecil
Dalam rantai nilai perikanan, perempuan merupakan separuh dari keseluruhan angkatan kerja. Meskipun demikian, keberadaan mereka sering tidak terlihat—bahkan acap kali tidak diidentifikasi sebagai pekerja. Namun mereka tetap dipandang sebagai bagian dari rumah tangga nelayan. Imbasnya, perempuan memperoleh upah terendah, pekerjaan mereka tidak tetap, dan hanya sedikit—atau bahkan tidak ada pengakuan yang diberikan untuk mereka dalam ranah kebijakan.
Akan hal ini, Negara harus menaruh perhatian pada pendekatan keadilan gender, untuk sepenuhnya mewujudkan hak dan peluang, mendistribusikan kembali kekuasaan, serta memastikan kesetaraan untuk semua jenis kelamin. Lebih lanjut lagi—Negara harus mengadopsi langkah-langkah khusus untuk mengatasi diskriminasi berbasis gender dan menciptakan ruang bagi gerakan-gerakan akar rumput serta organisasi masyarakat sipil (terkhusus bagi perempuan dan organisasi mereka) untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pengambilan keputusan.
Adanya UU No. 7/2016 juga tidak mengakui sepenuhnya perempuan yang bekerja dalam sektor perikanan khususnya perikanan skala kecil baik dalam pra kegiatan hingga pasca produksi perikanan. UU No. 7/2016 hanya menempatkan perempuan menjadi terdomestifikasi sebagai bagian rumah tangga nelayan.
*Penulis adalah Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia dan Program Officer Ekologi Maritim Indonesia
BERITA TERKAIT: