Saya melawat ke Haikou untuk memenuhi undangan
China Institute for Reform and Development, disingkat CIRD. Sebuah lembaga pengkajian atau think tank swasta. Sebagaimana biasa, tiket pesawat pp dan akomodasi ditanggung oleh pengundang. Dan, sebagaimana biasanya pula, paling tidak sepanjang pengalaman pribadi, saya menduga akan diinapkan pada sebuah hotel sementara venue di tempat lain yang terpisah. Saya salah.
The 3rd Training Seminar on Blue Economy Development Capability-building under the Framework of RCEP, forum yang mengundang, lokasi acara pelatihan dan tempat menginap para peserta dan pemateri berada dalam satu kompleks yang sama.
Ternyata penginapan tempat acara berlangsung merupakan bagian dari kompleks perkantoran lembaga nirlaba itu. Ia menempati lahan yang lumayan luas untuk ukuran sebuah LSM, setidaknya LSM di Indonesia. Di atasnya dibangun hotel yang lumayan megah, dua gedung hotel: satu bertingkat 7 dan satunya lagi bertingkat 11. Jumlah kamarnya lebih dari 200. Dilihat dari berbagai piagam akreditasi di lobi hotel, CIRD International Center for Academic Exchanges, begitu nama resminya, penginapan ini dikategorikan Bintang Empat. Persis di samping bangunan hotel, berdiri bangunan lain, 5 lantai, yang merupakan perkantoran CIRD beserta seluruh lembaga yang terafiliasi dengannya seperti, antara lain,
China Institute for Trade Ports with Chinese Characteristic dan
Judicial Research Center for Hainan Free Trade Port. Di tengah kedua gedung terdapat bangunan dua lantai yang disediakan untuk ruang-ruang kelas dengan susunan kursi seperti di bioskop.
Sesuai dengan tema besar acara, yaitu
blue economy, saya menyampaikan materi seputar digitalisasi pelabuhan yang dijalankan oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan yang ada. Dalam perspektif tema itu, secara sederhana, digitalisasi (dalam bidang apa saja, tidak hanya sektor kepelabuhanan) dapat digolongkan ke dalam ekonomi biru karena ia dapat mengurangi penggunaan sumberdaya, seperti kertas dan BBM umpamanya.
Dengan penggunaan kertas dan konsumsi BBM yang luar biasa tinggi di sektor kepelabuhanan selama ini, peralihan ke paperless dan fuel-less jelas berdampak signifikan bagi keuangan perusahaan.
Sejauh ini, digitalisasi kepelabuhanan di Indonesia bertumpu di atas dua platform: Indonesia National Single Window (INSW) dan Inaportnet. Yang pertama berada di bawah naungan Kementerian Keuangan sementara yang terakhir di bawah Kementerian Perhubungan. Teorinya, INSW mengurusi hal-hal yang terkait dengan perdokumenan barang impor dan ekspor.
Adapun Inaportnet berkenaan dengan aspek teknis perkapalan. Lucunya, kendati sudah disediakan kavling masing-masing, masih terjadi
overlapping alias tumpang-tindih di antara keduanya. Ambil contoh, manifest atau konosemen/bill of lading. Baik INSW dan Inaportnet meminta data ini. Bukan tidak boleh. Masalahnya, terjadi redudansi atau duplikasi yang bisa saja mengernyitkan jidat pengguna platform: “Ini apa-apaan. Kok, sistemnya minta data yang sama berulang kali”.
Redudansi, duplikasi, tidak terintegrasi dan sejumlah masalah lainnya memang masih menggelayuti langkah digitalisasi pelabuhan di Indonesia. Saya menduga hal ini terjadi karena pemerintah selaku inisiator kedua platform tersebut tidak atau belum berhasil memotret dengan sempurna
business process/model dalam ranah kemaritiman. Mereka ada melibatkan konsultan dengan segudang masukannya tetapi tetap saja saat diputuskan yang lebih mencuat adalah ego sektoralnya.
Digitalisasi pelabuhan di Indonesia memang dilakukan oleh pemerintah. Sayangnya, para pengembangnya lebih menempatkan posisinya lebih sebagai birokrat ketimbang sebagai pengguna. Maka terjadilah situasi yang saya gambarkan di muka tadi.
Di tempat lain, digitalisasi diinisiasi dan dijalankan oleh dunia usaha dan pemerintah, biasanya dinas bea cukai, menjadi peserta saja. Dengan kebijakan ini, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengembangankan sistem yang nilai investasinya jelas sangat besar. Dalam kasus INSW dan Inaportnet, walaupun saya tidak tahu angka sesungguhnya, pastinya sudah miliaran, jika tidak hendak dibilang triliunan, sudah digelontorkan untuk membangunnya. Hasilnya apa? Salah satunya, masih saja terjadi proses manual dengan menggunakan dokumen fisik, khususnya
bill of lading (B/L).
Sulit melacak secara spesifik ihwal digitalisasi pelabuhan di Indonesia. Bila peluncuran Indonesia National Single Window (INSW) menjadi patokan, dan platform ini sendiri berjalan sekitar 2007, berarti sudah 14 tahun kita berdigitalisasi pelabuhan. Sekadar pembanding, negeri jiran Singapura, merujuk kepada peluncuran platform mereka yang setara dengan INSW, Tradenet, pada 2000, jelas kita masih terhitung remaja. Bolehlah kondisi ini menjadi permakluman. Entahlah.
Perjalanan ke Haikou tidak hanya diisi dengan memberikan kuliah. Saya dibawa meninjau pelabuhan feri baru yang dikasih nama Pelabuhan Xinhai. Luas lahannya sekitar 56 hektar sementara luas bangunan terminal sekitar 83.200 meter persegi. Inilah pertama kali saya menyaksikan ada terminal feri – kalau di kita disebut penyeberangan – segede gaban begitu. Fasilitas seluas ini disiapkan untuk melayani pelaju antara Pulau Hainan dan China daratan atau
mainland.
Bagian
mainland yang terdekat dengan pulau ini adalah Kota Zhanjiang yang merupakan bagian Provinsi Guangdong. Terminal dimaksud dapat meng-
handle 3,2 juta kendaraan dan 35 juta penumpang. Tidak jelas apakah angka-angka ini per tahun atau per bulan. Jangan tanya soal
state of digitalization-nya. Ini fasilitas modern yang canggih sekali.
Penyeberangan di Tanah Air juga, sampai derajat tertentu, sudah melakukan perbaikan, baik fisik maupun nonfisik melalui penjualan tiket online. Tetapi, sama seperti perjalanan INSW/Inaportnet, ia masih pemula dengan banyak kekurangan.
*Penulis adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin), pengamat maritim nasional
BERITA TERKAIT: