Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

BUMN Milik Rakyat, Bukan Milik Elite

Oleh: Suroto*

Selasa, 06 Februari 2024, 20:28 WIB
BUMN Milik Rakyat, Bukan Milik Elite
Ilustrasi Foto/Net
PERNYATAAN saya mengenai ide perubahan dari BUMN basis perseroan menjadi basis koperasi  menuai kontroversi dan dipelintir oleh Menteri BUMN, Erick Tohir. Pernyataan yang saya sampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Tim Pemenangan Nasional Amin di Rumah Perubahan di jalan Brawijaya X No. 46, Jakarta pada tanggal 31 Januari 2024 itu dimaknai oleh Menteri Erick Thohir secara serampangan dengan mengatakan sebagai pembubaran BUMN.  

Pernyataan Erick Thohir itu jelas tuna makna, sebab apa yang saya katakan adalah ide mengubah atau mengkonversi BUMN menjadi badan hukum koperasi, BUKAN MEMBUBARKAN BUMN. Dia tidak memahami substansi yang saya sampaikan.

Namun demikian, banyak pihak yang memberikan respons terhadap ide ini ternyata hanya memberikan perhatian pada soal bantahan atas anggapan plintiran pernyataan Menteri Erick Thohir. Bukan membicarakan  substansi dari ide. Ditambah lagi dengan mengatakan bahwa ide tersebut dianggap tidak realistis dan mengada-ada.

Menteri Erick Tohir, dalam pernyataanya sebagai Menteri BUMN tahun 2020 mengatakan bahwa mungkin tahun 2045, BUMN sudah tidak diperlukan lagi. Lalu dia sebagai menteri BUMN membuat kebijakan target  bubarkan BUMN setiap tahun dari sebanyak 191 perusahaan  saat dia menjabat, saat ini tinggal 91 perusahaan  dan bahkan dirancang tahun ini tinggal 41 perusahaan. Lalu dia juga yang mendorong banyak BUMN hari ini yang terjerat beban utang tinggi dan terancam gagal bayar. Ini artinya justru dia yang secara riil telah bubarkan BUMN secara sistematis.

Saya dapat memahami bahwa ide ini tentu akan membawa keguncangan bagi kepentingan elite. Terutama bagi mereka yang  selama ini banyak menikmati keistimewaan untuk memanfaatkan bisnis terkait dengan BUMN ataupun yang secara langsung menikmati dalam bentuk gaji, bonus dan juga pemanfaatan subsidi uang rakyat melalui negara.

Bersama dengan ini, jika Bapak Menteri BUMN Erick Thohir berkenan, dengan tangan terbuka saya siap berdebat terbuka untuk membahas persoalan serius ini, soal bagaimana membangun ekonomi rakyat melalui kooperativisasi BUMN dengan argumentasi ilmiah. Pak Erick, soal hajat hidup orang banyak dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan dari politik kebangsaan. Jangan membuat tuduhan yang salah dan memelintir isu hanya untuk kepentingan politik praktis kekuasaan. Apalagi anda adalah pejabat publik bukan partisan partai politik.

Latar Belakang Ide Dasar Mengkoperasikan BUMN

Dasar ide dari mengkoperasikan BUMN adalah selain berangkat dari keprihatinan terhadap manfaat yang kecil yang dapat diterima rakyat atas aset strategis negara di BUMN secara keseluruhan sebesar Rp10.017 triliun, juga karena sistem tata kelolanya yang ugal-ugalan.

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 9 dikatakan " BUMN terdiri dari Persero dan Perum". Ini artinya bahwa seluruh BUMN itu hanya berbadan hukum Perseroan dan Perusahaan Umum. Dengan pasal tersebut, berarti seluruh BUMN yang hanya merupakan nomenklatur (penamaan) konsekuensinya menjadi SEMUA DIARAHKAN HANYA BERBENTUK BADAN HUKUM PERSEROAN DAN PERUM (PERUSAHAAN UMUM).  Koperasi sebagai badan hukum  persona ficta yang syah dan diakui oleh negara tidak diberikan peluang untuk menjadi badan hukum BUMN.

Padahal, sesuai dengan Konstitusi, sebagaimana disebut dalam pasal 33 UUD 1945 dikandung penjelasan secara gamblang bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi itu ialah koperasi. Artinya koperasi sebagai badan hukum persona ficta mengalami diskriminasi dan ini bertentangan dengan pasal 28 D UUD 1945.

Konsekuensinya, koperasi sebagai model badan hukum yang memungkinkan kepemilikan masyarakat secara demokratis dan terbuka, yang memungkinkan seluruh warga negara Indonesia dapat turut memiliki dan berpartisipasi aktif dalam proses kepemilikan aset strategis nasional BUMN menjadi kehilangan kesempatannya.
 
Penganaktirian badan hukum koperasi terhadap kepemilikan aset negara (BUMN) tersebut menyebabkan rakyat Indonesia secara keseluruhan kehilangan kendali atau kontrol terhadap aset BUMN. Rakyat menjadi kehilangan kesempatan untuk dapat turut menikmati hasil hasil ekonomi secara luas yang diperoleh oleh BUMN.

Tak hanya itu, secara berulang (redundant), menurut  Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4, dan Pasal 12 UU BUMN disebut bertujuan mengejar keuntungan (profit oriented). Akibatnya, seluruh BUMN tidak berbeda lagi dengan usaha swasta; korporasi pengejar keuntungan. BUMN menjadi kehilangan fungsinya sebagai layanan publik (public service obligation) dan rakyat yang menurut UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan kedaulatan (kekuasaan) berada di tangan rakyat menjadi kehilangan maknanya.  

Dalam posisi ini, pada akhirnya rakyat hanya diposisikan sebagai objek eksploitasi bisnis semata. Pasal 33 UUD 1945 yang menganut sistem demokrasi ekonomi menjadi kehilangan arti. Demokrasi ekonomi, sistem ekonomi konstitusi kita yang memungkinkan dari seluruh rakyat untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi aktif dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi melalui BUMN menjadi terabaikan. Makna gotong royong dan cita cita negara menuju masyarakat adil dan makmur menjadi disia siakan.

Dalam praktiknya dapat kita lihat, BUMN itu akhirnya lepas dari kendali masyarakat dan rakyat hanya jadi obyek komersialisasi dan komodifikasi dari usaha usaha BUMN. BUMN itu akhirnya banyak yang justru bertentangan dengan tujuan pencapaian kesejahteraan rakyat. Sebut saja misalnya dalam kasus yang konflik agraria, menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), justru konflik tanah antara rakyat dan BUMN itu menjadi yang tertinggi di Indonesia.

Dikarenakan rakyat kehilangan kendali atas BUMN tersebut maka banyak BUMN yang dikelola secara ugal ugalan. Sebut misalnya untuk proses pengangkatan Komisaris yang kurang dalam pertimbangkan aspek profesionalitas namun lebih kepada kedekatan politik dengan penguasa. Lalu soal penggajian dan pemberian bonus bagi direksi yang tidak memberikan rasa keadilan bagi pekerja dengan jabatan rendah di BUMN. Bahkan banyak yang gunakan sistem alih daya (outsourcing) yang jauh dari prinsip kemanusiaan.  

Sebut saja misalnya Bank BRI, gaji jabatan direktur utamanya sama dengan 500 kali lipat gaji Office Boy dan Sekuriti di kantor ini. Seorang direktur dapat menerima gaji dan bonus kurang lebih 30 milyar rupiah per tahun, sementara gaji seorang sekuritinya hanya sebesar 60 juta rupiah per tahun (2022).

Dalam konteks sektor, BUMN kita saat ini bergerak di sektor jasa keuangan, pangan, industri pengolahan, telekomunikasi, asuransi, konstruksi, pengadaan air, pengolahan sampah, perdagangan, pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, transportasi, pergudangan, dan sebagainya. Koperasi di seluruh dunia ternyata juga mampu membuktikan bahwa dapat berjalan di seluruh sektor bisnis. Dari pemenuhan kebutuhan sehari hari hingga layanan sosial dan layanan publik penting seperti yang dikerjakan BUMN kita saat ini.

Sebagai contoh raksasa koperasi pertanian National Agriculture Cooperative Federation (NACF), Korea Selatan yang pekerjakan 27,865 pekerja. Jaringan rumah sakit terbesar di kota Washington Amerika Serikat Koperasi Group Health Cooperative (GHC). Di negara Amerika ini koperasi juga mampu melayani secara luas layanan listrik di hampir seluruh seluruh pelosok desa di negara bagian Amerika Serikat. Namanya National Rural Elextricity Cooperative Association (NRECA). Koperasi ritel yang dimiliki oleh hampir dua juta warga singapura dan kuasai lebih dari 50 persen pangsa pasar ritel di Singapura.

Pada tanggal 25 Januari 2024 lalu, International Cooperative Alliance (ICA) bekerjasama dengan lembaga riset Euricse baru saja merilis 300 koperasi besar dunia. Koperasi di negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura misalnya telah menyumbang menjadi bagian dari daftar 300 koperasi dunia tersebut. Malaysia menyumbang Koperasi Bank Kerakyatan dan Singapura menyumbang perusahaan ritel raksasa Koperasi NTUC Fair Price dan Koperasi Asuransi NTUC Income. Sayang, tidak satupun koperasi di Indonesia yang masuk daftar 300 koperasi besar tersebut.

Kenapa koperasi di Indonesia, di negara yang katanya mengaku sebagai negara demokratis dan penuh gotong royong ini tidak berkembang dan di negara lain koperasi justru memiliki peranan? Salah satunya adalah karena aset produktif negara, usaha usaha BUMN itu bukanya dikembangkan dengan kepemilikan rakyat secara langsung  melalui badan hukum kooperasi,  namun lebih memilih badan hukum persero kapitalis yang jelas tujuannya hanya mementingkan keuntungan dan manfaat besar bagi elit, bukan dengan partisipasi aktif rakyat.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diharapkan memberi kontribusi positif pada keuangan negara justru banyak mengeruk uang negara dan menjadi beban fiskal kita yang sudah defisit dalam neraca pembayaran. Pada tahun tutup buku 2021, dari 91 BUMN Indonesia yang terdiri dari 12 Perusahaan Umum (Perum) dan 79 Perseroan, laba yang disetor kepada negara dari sumber kekayaan negara dipisah (KND) hanya sebesar Rp 37,1 triliun. Padahal, subsidi yang dikucurkan pemerintah untuk BUMN jumlahnya sangat besar. Misalnya, subsidi bunga untuk perbankan pada 2021 sebesar Rp30,1 triliun.

Hal yang lebih memprihatinkan, BUMN yang diandalkan memberi setoran besar kepada negara adalah dari sektor perbankan. Padahal, BUMN perbankan justru paling banyak memperoleh subsidi bunga dan bentuk insentif lainya berupa modal penyertaan, dana penempatan, dana restrukturisasi, dan lain lain.

Padahal, BUMN perbankan adalah perusahaan go public. Ia seharusnya mencari sumber tambahan modal dari pasar modal bukan dari pemerintah. Selain memperlemah moral kerja bankir juga merusak daya saing perbankan kita dan yang pasti menambah beban fiskal pemerintah yang terus-menerus mengalami defisit neraca pembayaran.

Dari 91 BUMN yang merugi ternyata 41 perusahaan. Bahkan, banyak di antara BUMN selebihnya terjerat utang dan beban bunga cukup besar. Pada tahun 2021 saja, secara keseluruhan BUMN butuh bantuan likuiditas yang menyedot penambahan modal dari pemerintah sebesar 79 triliun rupiah. Misalnya, PT Garuda Indonesia berada dalam posisi merugi dan mesti ditopang keuangan negara untuk melunasi utang yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 8,1 triliun dan kerugian sebesar Rp 38,7 triliun. Belum lagi PT Jiwasraya yang merugi dan harus menyedot uang pemerintah untuk setoran modal baru hingga Rp 19 triliun.

Beban utang BUMN secara keseluruhan sebesar Rp 7.161 triliun dari nilai aset keseluruhan Rp 10.017 triliun (2021).  Dengan kata lain, keuangan BUMN banyak yang disedot untuk membayar bunga dari para kreditor. Keuntungan bersih sebelum pajak dan bunga (EBIT) sebesar Rp317,1 triliun. Untuk membayar bunganya saja sebesar Rp89,3 triliun atau sebesar 28 persen. Hal tersebut jelas menandakan rentabilitas ekonomi perusahaan yang buruk. Ada 34 laporan keuangan perusahaan BUMN yang tidak teraudit (unaudited). Artinya, validitas laporan keuangan BUMN tersebut patut diragukan.

Pada era ekonomi digital, perusahaan BUMN yang mengelola dana ribuan triliun rupiah namun laporan keuangannya tidak teraudit tentu sangat memprihatinkan. Hal yang juga mengalami kemunduran cukup signifikan dari kinerja Kementerian BUMN sebagai institusi pembina perusahaan BUMN adalah tidak ditampilkanya laporan keuangan konsolidasi BUMN yang dahulu dapat diakses oleh publik. Ini juga menandakan transparansi BUMN ke hadapan publik makin menurun. rmol news logo article

*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses), Penulis Buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme".

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA