Tugas dan wewenangnya adalah melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan kelautan dalam yurisdiksi Indonesia. Namun demikian, dalam prakteknya keberadaan Bakamla sering kali berseberangan dengan KPLP dan instansi kelautan lainnya.
Atas dasar itu, keberadaan Bakamla menimbulkan permasalahan dan menyisakan ruang-ruang pertanyaan atau perdebatan, baik itu aspek filosofis, sosiologis, dan hukum. Pasalnya, posisi Bakamla telah melahirkan tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada yang selama ini bersinggungan dengan keamanan perairan dan kelautan.
Dalam perkembangan yang paling baru, Bakamla malahan ingin “mentorpedo” (meminjam istilah dari kolumnis kemaritiman Siswanto Rusdi dalam tulisannya di
kompas.com beberapa waktu lalu) KPLP melalui revisi UU No. 32/2014 tentang Kelautan. UU ini sedang dibahas di DPR dan dipandang sebagai upaya untuk mengambil alih beberapa kewenangan yang dimiliki KPLP.
Bahkan, Polisi Perairan juga awalnya akan diintegrasikan ke dalam Bakamla, akan tetapi wacana ini mendapatkan penentangan dari berbagai kalangan, termasuk institusi Polri sendiri menolak rencana penempatan Polisi Perairan di bawah Bakamla.
Oleh karena itu, dalam pandangan penulis keberadaan Bakamla sejak awal dibentuk memiliki “ambisi” untuk membubarkan instansi-instansi penegakan hukum di laut atau maritime law enforcement atau MLE, dan meleburkan ke dalam instansi Bakamla. Ambisi ini nampaknya belum akan berakhir meskipun bertentangan dengan berbagai aturan sehingga Bakamla berupaya untuk melakukan revisi terhadap UU No. 32/2014 tentang Kelautan untuk memperkuat posisi dan kewenangan Bakamla di perairan Indonesia.
Upaya memperkuat posisi dan kewenangan Bakamla di perairan Indonesia tidak hanya dilakukan dengan melakukan amandemen terhadap UU No. 32/2014. Lebih dari itu, Bakamla juga memperjuangkan melalui pengusulan RUU Keamanan Laut. Bahkan, Menko Polhukam Mahfud MD dalam pembahasan RUU Omnibus Law juga pernah menyinggung mengenai rencana merevisi UU kelautan secara terbatas menjadi UU Omnibus Law keamanan laut yang menempatkan Bakamla sebagai “Coast Guard” dengan kewenangan untuk melakukan penyidikan pelanggaran yang terjadi di laut.
Berdasarkan hal di atas, penulis melihat pola pemikiran Bakamla masih menunjukkan keinginan untuk tetap memainkan peranan sebagai single agency dengan multifungsi di bidang penegakan hukum di perairan nasional sehingga mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar satuan yang beroperasi di laut dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia sejak lama (baca: sebelum Bakamla lahir) keinginan yang ada boleh dibilang
ngaco.Polair sebagai Coast Guard IndonesiaBagaimana tidak
ngaco. Menurut hukum positif di kita, aparat penegak hukum satu-satunya (
single agency) di Indonesia adalah Kepolisian Negara. Kewenangan ini mencakup hampir di seluruh sektor, termasuk perairan. Memang instansi lain ada yang diberi kewenangan, baik penyelidikan maupun penyidikan, sesuai peraturan perundangan-undangan yang menjadi payung hukum mereka. Pemberian kewenangan ini muncul untuk menindaklanjuti pelanggaran terhadap aturan tadi yang pengetahuan/ilmu untuk itu sangat spesifik di mana polisi umum tidak menguasainya.
Tetapi mereka tetap berkoordinasi, bahkan sampai derajat tertentu dibina, terutama dalam aspek penyelidikan dan penyidikan, oleh Polri. Dalam sistem hukum kita – UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia – mereka ini disebut sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil alias PPNS dan bagian di Kepolisian Negara yang membina mereka adalah Badan Reserse Kriminal Polri (Peraturan Kapolri No. 20/2010 tentang Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Penyidikan Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil).
Dalam penegakan hukum terhadap kapal niaga, PPNS yang diamanatkan oleh UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah KPLP dan aparat syahbandar, bukan Bakamla. Oleh karena itu, dalam kasus yang melibatkan tanker MT Horse (berbendera Iran) dan MT Freya (berbendera Panama) pada 2021, lembaga itu terlihat sibuk ke sana, ke mari mencari bantuan untuk menyelesaikan tangkapannya. Polair diminta untuk memprosesnya dan ditolak.
Soalnya semua yang disangkakan oleh Bakamla terhadap kedua kapal tidak memiliki dasar yang kuat. Puncaknya, penahanan terhadap kapal-kapal tersebut pada akhirnya diserahkan kepada Kantor Syahbandar dan Otoritas atau KSOP khusus Batam untuk dibawa ke pengadilan negeri setempat. Instansi ini berkoordinasi dengan Polda Kepulauan Riau hingga berkas P21 dan siap disidangkan. Putusannya, kedua kapal berikut nakhodanya dilepas. Kini, Bakamla kembali menangkap kapal berbendera Iran. Apakah akan berujung hasil yang sama?
Dari perseteruan Bakamla dan KPLP sehubungan dengan pendirian
coast guard Indonesia, kita perlu mempertimbangkan jalan keluar alternatif. Kedua lembaga memiliki kelemahan struktural yang jika dipaksakan akan mempengaruhi eksistensi coast guard nasional. Atas dasar itu, penguatan terhadap Polisi Perairan sebagai coast guard Indonesia patut menjadi pilihan alternatif di tengah persoalan akan keberadaan Bakamla.
Terlebih lagi, Polisi Perairan yang dimiliki Polri sudah memiliki kantor dan armada di seluruh wilayah Nusantara dengan jumlah aset yang signifikan dengan personel yang terlatih. Dan, yang paling penting di antara semuanya, Polair merupakan lembaga penegakan hukum yang memiliki kewenangan dengan yang kuat ke dalam sistem hukum/peradilan nasional sehingga masalah pelanggaran hukum di laut dapat diselesaikan dengan saksama.
*Penulis adalah Anggota Polri dan Peserta Didik Sespimti Polri Angkatan-33
BERITA TERKAIT: