Indikator menyebut sebanyak 41,6 persen pendukung Jokowi-Maruf mengaku memilih Prabowo-Gibran. Angka ini naik sedikit dari survei Indikator periode awal Desember 2023.
Survei Indikator adalah survei yang pertama mewartakan “Gibran Effect”. Survei ini menyebutkan perubahan yang besar terjadi dalam periode waktu yang sangat singkat, hanya sekitar seminggu, pascapenutupan pendaftaran capres-cawapres di KPU, 25 Oktober 2023.
Elektabilitas Prabowo disebut menguat sekitar 2-3 persen, sementara Ganjar tampak menyusut hingga sekitar 8 persen. Konon, dalam survei ini sumber penyusutan elektabilitas Ganjar kemungkinan besar terjadi di kelompok yang puas atas kinerja Jokowi yang saat ini sudah lebih banyak berada di Prabowo. Pun basis Jokowi pada Pilpres 2019 lalu, di mana saat ini Ganjar sudah tidak mayoritas.
Hampir semua survei menyebutkan bahwa naiknya Gibran sebagai cawapres menyebabkan migrasi pemilih Jokowi yang dulu mendukung Ganjar Pranowo kini beralih mendukung Prabowo-Gibran. Bahkan yang lebih bombastis, LSI Denny JA menyebutkan penurunan elektabilitas Ganjar-Mahfud dinilai karena blunder gaya kampanye yang menyerang Presiden Jokowi.
Artinya, para lembaga survei ini berasumsi karena sedemikian besarnya
approval rating Jokowi, sehingga siapapun capres-cawapres yang mengkritik otomatis elektabilitasnya akan terperosok. LSI Denny JA menyebut elektabilitas Ganjar-Mahfud turun 4 persen, yakni menjadi 22,9 persen pada akhir Desember 2023 dari 26,8 persen di awal Desember.
Elektabilitas PSI: Anak Tiri Faktor Jokowi? Berbeda dengan Prabowo-Gibran, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tak mendapatkan efek pulung Jokowi. Entah apa yang membedakan, namun sejak putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, didapuk jadi Ketua Umum PSI pada akhir September tahun lalu, elektabilitas PSI tak kunjung mengalami kenaikan signifikan.
Survei Indikator Politik Indonesia pada 18 Januari 2024 menemukan elektabilitas PSI hanya memperoleh 1,4 persen. Begitu juga dengan survei Ipsos pada 11 Januari 2024, elektabilitas PSI hanya berada di kisaran 1 persen. Angka ini justru memperlihatkan adanya penurunan jika dibandingkan dengan perolehan suara PSI pada Pemilu 2019 yakni sebesar 1,8 persen.
Sementara survei Litbang Kompas pada Desember 2023, PSI memperoleh elektabilitas sebesar 2,6 persen. Jika dibandingkan dengan perolehan suara PSI pada Pemilu 2019 hanya mengalami kenaikan sebesar 0,8 persen. Lagi-lagi tak ada kenaikan suara signifikan. Padahal kita tahu sejak pertengahan tahun lalu, PSI gencar menggaungkan slogan “Jokowisme” hingga mendaulat putra bungsu Jokowi sebagai Ketua Umum.
Ditambah baliho PSI dengan gambar Kaesang disandingan dengan gambar ayahnya, Presiden Jokowi, bertebaran hampir di seluruh penjuru republik. Tak ketinggalan disertai dengan tulisan “Ikut Jokowi Pilih PSI”, “PSI Partai Jokowi”. Namun tak juga mampu mendongkrak elektabilitas PSI.
Artinya, faktor Jokowi tak berpengaruh signifikan terhadap elektabilitas PSI. Ganjilnya, faktor Jokowi hanya berpengaruh pada elektabilitas Prabowo-Gibran semata. PSI layaknya dianaktirikan oleh faktor Jokowi. Padahal Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka sama-sama putra Presiden Jokowi. Namun tak ada migrasi besar-besaran pemilih Jokowi ke lumbung suara PSI, layaknya yang terjadi pada Prabowo-Gibran.
Di sinilah kita melihat adanya
misleading faktor Jokowi yang dibuktikan dari stagnannya elektabilitas PSI walaupun telah membabi buta mengkapitalisasi segala simbol dan narasi tentang Jokowi. Apalagi PSI sudah mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp33,06 miliar, yang menjadikan PSI sebagai partai dengan pengeluaran dana kampanye paling besar di antara partai koalisi pendukung Prabowo-Gibran.
Di lain sisi, elektabilitas Partai Gerindra dalam sejumlah sigi mengalami peningkatan. Survei Indikator Politik Indonesia pada 30 Desember 2023 sampai 6 Januari 2024 menemukan elektabilitas Partai Gerindra sebesar 18,1 persen, mengalami peningkatan 5,53 persen dibanding perolehan suara pada Pemilu 2019 sebesar 12,57 persen.
Namun ternyata menurut survei Indikator Politik Indonesia, kenaikan elektabilitas Partai Gerindra bukan disebabkan oleh faktor Jokowi, melainkan akibat
coattail effect dari pencapresan Prabowo Subianto. Terlihat dari survei Indikator di mana alasan utama orang memilih Partai Gerindra karena suka dengan Prabowo meningkat dari 53,8 persen pada 2-10 Oktober 2023 menjadi 63,4 persen pada 16-20 Oktober 2023.
Approval Rating dan Faktor Jokowi sebagai LogosentrismeDengan mengorkestrasi faktor Jokowi yang disertai
approval rating-nya yang tinggi menjadi faktor penentu dalam Pilpres 2024, maka sejatinya para pollster sedang menjadikan faktor Jokowi dan
approval rating-nya sebagai Logosentrisme. Yakni menjadikan faktor Jokowi dan
approval rating sebagai “pusat-rujukan” segala analisis tentang pergerakan semesta elektoral politik kita. Faktor Jokowi dan
approval rating-nya menjadi selayaknya “kebenaran universal” yang dianggap melampaui partikularitas dan kompleksitas realitas sosial-politik kita.
Ia menjadi satu-satunya dasar penafsiran segala perkembangan politik dan preferensi pemilih. Sehingga ia menciptakan “oposisi biner” yang seakan ajeg dan absolut, misalnya mereka yang cenderung puas dengan kinerja pemerintahan akan memilih si A dan yang tak puas akan memilih si B. Sebuah reduksi bahkan simplifikasi besar-besarkan, yang seakan-akan kepuasan publik menjadi satu-satunya landasan orang untuk memilih para kandidat capres-cawapres.
Dalam bahasa Jean Francois Lyotard,
approval rating Jokowi hendak dikukuhkan menjadi
meta-narrative, narasi besar yang terus-menerus didengungkan sehingga ia diterima secara apriori sebagai satu-satunya kerangka berpikir untuk memahami segala peristiwa politik elektoral kita.
Ia bukan hanya menjadi ideologi melainkan dogma epistemik yang dapat menciptakan apa yang disebut Marx dengan istilah “fetisisme” yakni pemberhalaan yang berlebih yang konsekuensinya bisa menjadi topeng yang menutup kemungkinan pengaruh variabel-variabel lain yang mempengaruhi preferensi pemilih seperti kepribadian, rekam jejak, dan program sang kandidat.
Bahkan ia menutup fakta sosial tentang keresahan publik akan maraknya korupsi, penegakan hukum yang tak adil, keadaan ekonomi yang sulit, lapangan pekerjaan yang minim, politik dinasti, hingga konflik agraria yang tak henti menimpa rakyat kecil. Semua ini adalah variabel yang tak bisa diabaikan dapat berkontribusi pada preferensi seseorang dalam memilih kandidat capres-cawapres.
Artinya ia menjadi struktur pandangan yang hegemonik bahkan tirani yang bisa mengalienasi pergerakan semesta elektoral kita dari problem-problem konkret yang dialami masyarakat di akar rumput. Tentu, kita tahu upaya menggelembungkan
approval rating Jokowi sebagai faktor kunci dan penentu dinamika politik elektoral kita adalah upaya menjadikan Jokowi sebagai
king maker dalam percaturan politik elektoral kita.
Namun faktanya,
approval rating itu ditopang oleh tiang yang rapuh, di mana mayoritas atau 39 persen di antaranya mengaku puas karena Jokowi memberi bantuan sosial (bansos) kepada rakyat kecil. Artinya
approval rating menjadi melambung tinggi akibat guyuran bansos.
Ia layaknya paracetamol yang hanya meredakan nyeri, bersifat charity, tak menyelesaikan secara struktural kemiskinan yang dialami masyarakat. Maka yang ditakutkan, ia bukan menjadikan sang presiden sebagai
king maker, malah justru menciptakan apa yang disebut Aristoteles sebagai “paranoia”, yakni sebuah kerowak dalam kesadaran yang mengklaim dirinya organisme yang tak retak.
Penulis adalah Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
BERITA TERKAIT: