Saat itu, Abdul Hadi bertandang ke kantor saya, sekitar dua tahun lalu, Desember 2021, untuk acara Satupena TV.
Kami bicara empat mata sebelum acara. Abdul Hadi juga seorang akademisi sastra, di samping ia sendiri menjadi seorang penyair.
Ia banyak cerita soal terbentuknya sastra sufistik di Indonesia. Ia juga ceritakan bagaimana proses menulis puisinya yang paling terkenal: “Tuhan, Kita Begitu Dekat.”
Puisi karya Abdul Hadi ini akan terus hidup. Jalaludin Rumi sudah wafat 800 tahun lalu. Tapi kutipan puisi Rumi tetap hidup bersama kita hingga kini. Penulis besar memang tetap hidup melalui karyanya.
Abdul Hadi saat itu memberi apresiasi pula pada saya. Katanya, “Anda (Denny JA) walau ikut 'berkotor tangan' di dunia politik praktis sebagai konsultan politik dan pengusaha, tapi cukup punya waktu untuk merenung, fasih menulis puisi sufistik dalam bentuk puisi esai.”
Saya juga ucapkan terima kasih padanya, membaca banyak karya saya, dan menulis soal puisi esai saya yang bertema spiritualitas.
Mengantar kepergian Abdul Hadi, saya publikasi tulisannya soal karya saya.
-000-
Sajak-sajak Sufistik Denny J.A.
Oleh: Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.
Denny J.A. bukan nama baru dalam dunia penulisan. Lebih kurang empat puluh tahun ia menekuni penulisan esai dan artikel-artikel politik. Ia adalah seorang sarjana dan pengamat politik yang tajam.
Di dunia politik bahkan ia dikenal sebagai tokoh yang sukses dalam bisnis politik, sebagaimana dikatakan mantan rektor Universitas Paramadina, Prof. Firmansyah almarhum.
Tetapi dalam dunia persajakan kehadirannya terhitung belum lama. Namun namanya cepat berkibar dan kehadirannya menghebohkan, sebab ia menamakan sajak-sajak sosial dan politiknya dengan sebutan puisi esai.
Puisi-puisi esainya itu menimbulkan pro dan kontra, lama sekali kegaduhan timbul akibat dari lamanya pro dan kontra tersebut. Menurut saya heboh itu bukan disebabkan oleh penamaan sajak-sajaknya, sebagai puisi esai.
Menurut saya kehebohan itu lebih disebabkan kehadiran si penyajak yang relatif baru, namun sajak-sajaknya begitu tajam perbedaannya dengan sajak-sajak yang lazim dikenal.
-000-
Sajak-sajak Denny J.A. tak bisa dibantah lebih mengutamakan isi dibanding bentuk.
Perdebatan tentang mana yang penting isi atau bentuk dalam penulisan sajak, merupakan perdebatan lama dalam sejarah sastra Indonesia atau Melayu.
Ia telah timbul setidaknya pada masa Hamzah Fansuri pada abad ke-16 ketika dunia persajakan cenderung dekaden karena isinya hanya hal-hal yang bertalian dengan masalah yang superficial.
Pada tahun 1930-an, penyair-penyair Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana juga memperdebatkan. STA memperdebatkan sajak-sajak yang indah bentuknya, namun isinya hampa semangat dan perjuangan.
Sajak-sajak Denny J.A dapat digolongkan sebagai sajak yang mengutamakan isi. Karya semacam itu disebut sastra bertendens. Ada pun isinya adalah kritik sosial. Yang disorot penulis adalah keadaan di sekitar masa Reformasi 1998 dan sesudahnya.
Dalam perkembangan kepenulisannya, ternyata Denny J.A. bukan penulis sajak atau penyajak yang cepat puas dengan pencapaian yang diraihnya. Marilah kita lihat sekilas bagaimana perkembangan kepenulisan penyajak ini.
Kumpulan sajaknya yang pertama adalah "Atas nama Cinta". Dalam kumpulan ini dia mengungkapkan kegelisahannya melihat situasi masyarakat usai Reformasi 1998.
Kegelisahannya itu tertumpu pada korban-korban yang berjatuhan kala itu disebabkan tindakan kekerasan berlatar diskriminasi, intoleransi, dan persekusi. Ia menyebut saja-sajaknya itu sebagai tangga perjuangan untuk tujuan yang lebih besar, yaitu “Indonesia tanpa Diskriminasi”.
Kumpulan sajak selanjutnya "Roti dan Hati" sebagian ditulis dalam semangat yang sama, sebagian lagi perluasan dari pokok persoalan sebelumnya. Dia misalnya mengecam keras penggunaan agama sebagai kendaraan politik praktis.
Isu agama yang diangkat dalam kehidupan politik praktis dipandang oleh Denny J.A. merupakan rintangan besar bagi kebebasan menafsirkan ajaran agama secara segar dan aktual, khususnya dalam menyikapi masalah kemasyarakatan yang sedang berkecamuk.
Isu agama juga mendorong timbulnya pertikaian dan perpecahan dalam masyarakat. Persoalan ini bisa kita perdebatkan, tetapi dalam tulisan ini tak perlu dibicarakan.
Yang jelas sebagai penyajak Denny J.A. selalu berkembang dari waktu ke waktu. Kendati tema-tema sajaknya tidak bergeser, namun cara pandang masalah selalu menunjukkan hal baru.
Marilah kita lihat misalnya sajak “Kutunggu di Setiap Kamisan.” Puisi esai ini berisi catatan tentang orang-orang yang hilang dan penghilangan orang atau aktivis.
Ini suatu tindakan yang dipandang sebagai sangat bertentangan dengan demokrasi dan melanggar hak asasi manusia.
Tampak kecenderungan dalam antologi-antologi sajaknya Denny J.A. menunjukkan kreativitasnya sebagai penulis yang tajam pengamatannya terhadap masalah sosial.
Dari kumpulan sajak satu ke yang lain ia berusaha mengungkapkan tema yang berlainan dari tema-tema sajak sebelumnya.
Pembaca kerap diberi kejutan dengan perubahan gaya dan cara pengucapan. Kejutan terutama bisa dirasakan oleh penulis yang telah merasa mapan di dunia persajakan.
Namun biarlah pro dan kontra itu terus terjadi dan perdebatan berkembang.
-000-
Kini di hadapan kita hadir kumpulan sajaknya yang baru dan segar yaitu "Jiwa Yang Berzikir" dengan sub-judul "30 Puisi Esai Mini di 30 Sahur" (2018).
Sajak-sajak dalam kumpulan ini secara menyeluruh membawa kita mengembara ke alam pikiran lain, yaitu alam pikiran religius dan sufistik.
Bersamaan dengan itu pula Denny J.A. menggeser pengertian puisi esai dari sajak-sajak yang semata menekankan masalah sosial ke sajak-sajak yang menjelajahi masalah religius dan sufistik, tetapi tidak meninggalkan masalah sosial.
Boleh jadi sajak-sajak dalam kumpulan ini memang pantas disebut sebagai saja-sajak sosial religius atau sosial sufistik. Ini bisa dilihat pada misalnya metode dan wawasan estetika penulisan sajaknya.
Dia seolah ingin mengatakan bahwa sajak lebih dari sekadar permainan kata-kata yang indah dan memukau, dan juga lebih dari sekadar ungkapan perasaan yang individualistik.
Baginya, sajak adalah juga merupakan media pengajaran atau juga merupakan hasil renungan penyajak terhadap pengalaman batinnya sendiri. Khususnya pergolakan batinnya.
Salah satu metode yang ditempuh oleh ahli tasawuf atau sufi dalam melahirkan sajak adalah dengan meditasi atau tafakur. Kemudian mengaitkan pengalaman keruhaniannya dengan ayat-ayat dalam Al Quran.
Atau bisa juga melalui perenungan dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran dengan metode takwil atau tafsir keruhanian. Hasil penafsiran kemudian ditransformasikan ke dalam ungkapan estetik sastra atau puisi.
Ini kita temui dalam sajak-sajak Attar, Rumi, Hafiz, Hamzah Fansuri dan Iqbal. Tak jarang sajak mereka nyasar ke masalah sosial.
Adapun dalam hal ungkapan puitik, masing-masing penyair memiliki gaya berbeda. Ada penyair sufi yang memilih ungkapan yang dekat dengan bahasa keseharian seperti tampak pada puisi Anshari dan Yunus Emre.
Ada yang menggunakan ungkapan bahasa theofani yang pekat padat seperti Mansur al-Hallaj. Ada yang menggunakan ungkapan simbolik seperti Hafiz dan Rumi. Ada yg menggunakan ungkapan filosofis seperti Iqbal, dan seterusnya.
Denny J.A., karena latar belakangnya sebagai aktivis dan penulis masalah sosial, cenderung menggunakan bahasa percakapan keseharian.
Dalam beberapa sajaknya ia berhasil mengungkapkan gagasan dan pengalaman batinnya menggunakan ungkapan yang dekat dengan bahasa keseharian. Tetapi dalam sajak-sajaknya yang lain ia kurang berhasil.
Contoh dari yang berhasil adalah bait dalam sebuah sajaknya ini:
Hari demi hari
Ia lahap ia hidupi
Dunia tepuk tangan
Panggung perhatian
Harta, kuasa, ilmu perkasa
Kosong di jiwa siapa yang punya?
Elok permata hiasan dunia
Diri yang hampa siapa yang nyana? (Sahur Hari Keempat, hal 12)
Memang dahulunya ungkapan seperti ini dianggap puitik, tetapi dalam perjalanan waktu dan sejalan dengan perkembangan estetis pengucapan sajak, ungkapan serupa menjadi konvensional.
Mungkin bahasa keseharian tampak dalam baris sajak “Sahur Hari Kelima” (Dengan Cinta Harus Kulawan Dirimu” hal. 15):
Kadang sayup Darta meratap sedih
Terutama saat-saat menjelang senja
Paman, paman, oh paman
Tak cukup kata tuk berterimakasih
Kau pungut aku dari jalanan
Hingga dari dunia aku tak tersisih ...
Meskipun masih kental tema sosialnya, sajak ini mengandung nada sufistik. Tetapi nada sufistik lebih ketara dalam sajak “Sahur Hari Pertama” dengan sub-judul "Aku Kembali padaMu" (hal 1).
Sajak ini mengingatkan saya kepada "Suluk Wujil" karya Sunan Bonang, yang menceritakan pengembaraan ruhani Wujil, murid Sunan Bonang, dalam mencari hakikat terakhir dan tertinggi dari kehidupan yaitu Tuhan.
Ia mengembara ke sana kemari namun tak menemukan Tuhannya. Dia menemukan Tuhan dalam dirinya setelah mendapat pencerahan dari Sunan Bonang. Yaitu melalui pengajaran dan latihan ilmu suluk.
Dalam sajak ini tetap Denny J.A. menggunakan pengucapan puitik yang konvensional. Ini bukan merupakan kesalahan, sebab sebagai penyajak Denny J.A. lebih mengutamakan isi.
Dia yang awam, yang tak paham
Dilihatnya langit sebagai langit
Dia yang resah, tak henti mencari
Dilihatnya langit tak lagi langit
Dia yang mencari dan menemukan
Baginya langkahpun kembali langit
Darta terdiam, Darta termangu
Jauh sudah dia berkelana
Telah ia lezatkan lara dan sendu
Telah ia selami dalamnya makna
Kini ia kembali ke titik mula
Ya Allah, kuhirup sudah
Nikmat harta, samudera ilmu
Belum jua dada membasah
Jiwa menganga oleh rindu,,,,
Nada sajak ini bisa dibandingkan nada sajak Amir Hamzah “Pada-Mu Jua”, Chairil Anwar “Doa”, dan Sutardji Calzoum Bachri “Walau”.
Pengucapan puitiknya memang terasa kurang padat. Dan sepertinya dibiarkan prosais. Penulis menyadari untuk pengalaman dan gagasan keruhanian, akan sulit dipahami pembaca jika menggunakan ungkapan sajak yang pelik.
Sebagai gantinya sebagai daya tarik adalah munculnya tema perjalanan ruhani dalam sajak ini, yang memberi kesan sufistik.
-000-
Tetapi sebelum membahasnya saya ingin kemukakan apa yang saya maksud dengan sastra sufistik atau religius sufistik.
Apakah sastra sufi? Dan apa pula sastra sufistik? Dua istilah itu tentu berbeda.
Sastra Sufi adalah karangan-karangan bermuatan tasawuf yang pada umumnya ditulis oleh para sufi atau ahli tasawuf. Karya-karya dalam sastra sufi pada umumnya mengemukakan tahapan-tahapan perjalanan ruhani (maqam) dan keadaan-keadaan jiwa/ruhani (ahwal) yang menyertainya.
Yang digambarkan dalam sastra sufi ialah perjalanan keruhanian atau perjalanan ruhani penulis atau penyair dalam mencapai hakikat tertinggi.
Sastra sufistik adalah karangan-karangan bernada kesufian, dan boleh jadi diilhami oleh karangan penyair atau sastrawan sufi.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa sastra sufi adalah semua karangan yang mengungkapkan gagasan dan pengalaman ahli tasawuf atau sufi, yaitu penempuh jalan keruhanian dalam Islam.
Dalam perjalanannya itu mereka ingin merealisasikan Tauhid, yaitu kesaksian bahwa Tuhan itu satu. Contohnya sajak Hamzah Fansuri:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka'bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya dijumpa dalam rumah Para sufi sering menyebut metode atau ilmunya sebagai ilmu cinta dan juga ilmu makrifat. Dalam mengenal Tuhan mereka tidak menggunakan jalan rasional, melainkan jalan hati yaitu melalui iman yang mendalam atau haqqul yaqin.
Mereka menyebut ilmunya pula sebagai ilmu makrifat, yang artinya mengenal Tuhan secara kalbiah yaitu dalam hati. Hati disebut sebagai rumah Tuhan dalam diri manusia.
Sehubungan dengan hakikat bahwa tasawuf adalah jalan keruhanian, maka tema-tema berkaitan dengan perjalanan merupakan garapan estetis sufi dalam mengungkapkan gagasan dan pengalaman keruhanian mereka.
Ada empat tema besar yang umum dalam karangan sufi mengenai perjalanan: (1) Perjalanan mendaki gunung atau bukit; (2) Penerbangan menuju puncak gunung; (3) Pelayaran kapal menuju bandar Tauhid; dan (4) Penyelaman ke dalam lautan, yaitu lautan wujud.
Dalam sajak “Sahur Hari Pertama” (hal.2) Denny J.A. menulis:
Serasa semua tawar belaka
Kilau segala menjadi biasa
Harimau batin mengaum mencakar
Di rimba jiwa menghutan lapar.
Darta mengembara Darta berkelana
Ke barat ke timur, selatan dan utara
Ke sungai ke laut, ke bukit ke lembah
Luka yang dibawa makin membara Ada nada Sutardji dalam sajak ini. Namun tetap terjaga orisinalitasnya. Adapun perjalanan yang dipaparkan dalam sajak ini selain perjalanan keruhanian adalah perjalanan usia.
Perjalanan ini diikuti oleh perkembangan kesadaran dari titik nol religiusitas menuju titik penemuan hakikat diri dan ketuhanan.
Lima puluh kali matahari
Beredar sejak terlahir sebagai bayi
Lima puluh tahun sudah
Usianya dan kelak bertambah
Di lembah nestapa di puncak resah
Ada cahaya berjingkat mendekat
Ada suara lamat-lamat
“Bacalah! Bacalah! Atas nama batinmu,
Bacalah lewat lewat kalbu.. ....
(hal 3)
Kata-kata “Bacalah! Bacalah!....” berasal dari Al Quran, tetapi tidak dilanjutkan dengan kata-kata “Dengan nama Tuhan-Mu...”. Melainkan dengan kata-kata, “Atas nama batinmu...”
Karena gema dari kata-kata teofani tersebut terdengar dalam hati terdalam., kemudian penyajak melanjutkan,
Dan dalam termangu, dibacanya doa
Seperti dulu. Doa pertama,
Yang diajarkan Ayah, menjelang senja
Lima tahun saat itu usianya
Duduk berdua d sudut beranda...(hal 3)
Dalam kutipan ini terlihat nada sajak Chairil Anwar “Doa” dan Amir Hamzah “Pada-Mu Jua”. Kemudian penyajak mengutip ayat dalam Surat al-Fatihah, “Ikhdinassiraathalmushtaqiem....”Tunjukkan kami jalan yang lurus....” Dulu, kata penyajak, tiap hari tiap waktu dia baca doa itu.
“Dartapun tumbuh dewasa/ Dilacaknya realitas dibalik doa/ Ia selami sejarah, filsafat dan sastra/ Ia tekuni ilmu mumpuni.../Ternyata.../ Bukan Tuhan yang mencipta manusia...”. Itu dulu ketika Darta masih muda. Tetapi kini, pada usia menanjak senja, kesadaran ruhani mulai tumbuh.
Darta yang kosong
Jantung menjerit merindu taqwa
Dalam keluh ingin teguh
Berserah diri penuh seluruh (hal 5)
Sajak ini diakhiri dengan, “Tuhanku/ Izinkan si anak hilang/
/ Kembali pulang/ Ke rumah kasih-Mu.”
Sayang Denny lupa akan bagian penting dalam Surat al-Fatihah. Yaitu yang bunyi ayatnya “Iyaa kanakbudu wa iyya kanasta’in (Hanya kepada-Nya kami menyembah dan memohon pertolongan).
Ayat ini sering dikutip para sufi dalam perbincangan mereka berkenaan dengan tasawuf sebagai jalan keruhanian.
Dalam tradisi sastra Melayu seorang penyajak atau penyair sering menyebut dirinya sebagai orang asing atau anak dagang. Ini kita temui dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, dan syair-syair tasawauf karangan salah seorang muridnya dari Minangkabau Syekh Tamaie yaitu Syair Dagang.
Sebagai penanda kepengarangan, kata dagang, diilhami oleh hadis yang lebih kurang berbunyi, “Pergilah ke dunia sebagai anak dagang (orang asing), singgahlah sementara waktu, dan ingatlah akan azab kubur.” Orang hidup di dunia adalah seperti anak dagang, yaitu orang yang merantau ke negeri asing.
Di rantau ia harus mengumpulkan bekal untuk dibawa pulang ke kampung halamannya. Kampung halamannya bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Bekal untuk dibawa ke kampung akhirat adalah amal saleh.
Dalam hadis yang dimaksud kata-kata yang digunakan untuk anak datang atau anak rantau ialah gharib. Arti harfiah dari perkataan orang asing ialah mereka yang mengembara ke negeri lain untuk menuntut ilmu seraya berniaga/berdagang agar supaya bisa mandiri dalam menjalani hidupnya.
Penyair Pujangga Baru, Sanusi Pane, menggunakan penanda kepengarangan seperti kelana (dakam antologi Madah Kelana) dan Amir Hamzah menggunakan ungkapan musafir lata.
Dalam sajak “Ðoa” Chairil Anwar menyebut dirinya “pengembara di negeri asing”.
-000-
Begitulah tanggapan sekilas saya atas sajak-sajak Denny J.A. dalam buku sajak Jiwa Yang Berzikir.
Selamat dan sukses untuk Denny J.A. Kita tunggu kumpulan sajak berikutnya.
Jakarta 12 Mei 2021.
Penulis adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
BERITA TERKAIT: