Hal ini dimulai oleh Partai Nasdem, di mana parpol pimpinan Surya Paloh itu seakan tampil sebagai 'penyelamat', ketika Anies Baswedan seperti sedang 'dibidik' Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan mengangkatnya sebagai calon presiden.
Kemudian kita saksikan capres yang seakan terpaksa "dicomot" kembali menyusul ketegangan di internal PDIP mengenai capres yang akan diusung. Hal ini buntut adanya petinggi PDIP yang bersuara "apa prestasi Ganjar?"
Kita memudian menyaksikan justru Ganjar Pranowo sebagai petugas partai ditingkatkan penugasannya sebagai calon presiden, demikian Megawati membacakan keputusan PDIP.
Proses yang cukup seru pula terjadi ketika capres Prabowo Subianto yang begitu hangat duet dengan Muhaimin Iskandar, justru hengkang menjadi pendamping Anies.
Di tengah intrik-intrik tarik ulur di antara partai-partai besar yang menyatukan diri sebagai koalisi Gerindra, malah bersedia "mengalah" oleh arahan "tak berwujud namun nyata terasa" dengan mengusung putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming sebagai cawapres pendamping Prabowo.
Berat, berat, memang berat rasanya bagaimana seorang rakyat yang mau memilih lewat analisa fakta dan empiris malah menemukan tiga titik "keanehan", kalau tak mau dibilang "kerancuan" ketika paslon yang satu seperti "pegawai" ketua umumnya.
Sementara yang satunya jelas-jelas petugas partai dengan tingkat pembatasan yang pastinya lebih super ketat dibanding petugas yang saat ini tampaknya "mbalelo" berpasangan dengan tokoh yang gagah saat bicara, namun melunak jinak setelahnya.
Lain lagi dengan capres yang sebenarnya punya kekuatan
leadership yang bagus namun harus menerima "tumpangan" anak muda lewat heboh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai cawapresnya.
Menurut penelitian secara amatir namun netral, hal ini membuat hengkang sekitar delapan persen pemilih yang awalnya sudah 'sreg' dan menghilangkan hampir separuh pemilih berdasarkan simpatik yang tinggi menjadi berpikir dan menimbang ulang.
Entah bagaimana sebenarnya tujuan paling mendasar para pelaku politik kenegaraan ini, seakan lebih mempertunjukan politik praktis kepada perebutan kekuasaan semata-mata. Maka tak salah bila dikatakan ada kerusakan struktural dalam sistem demokrasi yang berlangsung sejak amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan secara pola liberalisasi ketimbang Pancasilasasi.
Kini strategi perekrutan kepemimpinan nasional oleh partai-partai menjadi tampak membingungkan publik. Tentu saja pemikiran dan kehendak menyelamatkan pola demokrasi dan politik beradab tinggi Indonesia adalah menyelamatkan amanat penderitaan rakyat dengan mengembalikan UUD 1945 Asli 18 Agustus 1945 ke kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini penting agar yang terpilih dapat melakukannya tanpa keraguan senila pun demi kehidupan sejahtera rakyat seperti (biasa) janji manisnya.
Penulis adalah pemerhati sosial politik
BERITA TERKAIT: