Industri yang dipilih adalah sektor jasa, perdagangan eceran, konstruksi, keuangan dan asuransi, perdagangan besar, transportasi, dan industri manufaktur.
Kewirausahaan yang inovatif tersebut di Indonesia dalam memilih jenis industri telah mampu membuat organisasi perusahaan-perusahaan swasta berhasil berkembang menjadi perusahaan-perusahaan berskala usaha besar-besar. Misalnya, perusahaan konstruksi, khususnya yang dikelompokkan sebagai perusahaan pengembang (
developer).
Para pengembang mempunyai gagasan yang bersifat spektakuler, misalnya mengembangkan reklamasi pantai. Pantai yang semula berupa tanah rawa-rawa yang tidak terurus dan sebagian dihuni oleh permukiman yang kumuh dan bersifat marjinal, kemudian dengan gagasan pembangunan berkelanjutan, maka dilakukan pemulihan pada hutan-hutan mangrove.
Untuk gagasan pembangunan ekonomi hijau, juga dilakukan pembangunan industri-industri di tepi pantai yang dapat digolongkan sebagai ramah lingkungan, misalnya industri pembangkit tenaga listrik.
Hutan mangrove dan industri energi hijau memang dibangun dalam skala yang luas untuk mempraktekkan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai ekonomi hijau di tepi pantai, maupun untuk membangun ekonomi biru di laut tepi pantai.
Persoalannya kemudian adalah pembangunan yang mengubah dari kondisi pantai yang tidak memenuhi persyaratan pembangunan berkelanjutan dalam skala yang luas, untuk diubah secara inovatif dan kreatif, adalah masalah proses relokasi pada para penghuni permukiman lokal yang direklamasi dan direkonstruksi ulang.
Relokasi para pemukim yang merupakan rumah tangga atau usaha berskala mikro dan usaha kecil, selain persoalannya berada pada posisi status sebagai para penggarap tanah hutan, tanah pertanian pesisir pantai, nelayan gurem, selain yang tidak mempunyai surat-surat kepemilikan tanah, terutama sulit untuk mencari tempat tinggal dan tempat usaha yang baru. Itu jika mereka selama proses relokasi membuat mereka tidak mampu dan tidak merasa nyaman untuk berpindah ke tempat lain yang baru.
Proses ganti rugi dalam jual beli tanah atau pun kegiatan kerahiman untuk memuluskan relokasi tanah sering masih menjadi persoalan di balik konflik pertanahan. Konflik yang timbul sebagai akibat dari pengembangan kewirausahaan dalam memilih jenis industri yang cocok untuk mengembangkan organisasi perusahaan, yaitu dari sebagai anak perusahaan dari perusahaan-perusahaan besar untuk ditumbuhkembangakan menjadi perusahaan berskala besar berbasiskan pada sektor konstruksi sebagai pengembang.
Masalah semakin terlihat besar, jika para pemukim lokal tidak kunjung mampu menerima kenyataan untuk berbesar hati segera berpindah tempat, dibandingkan untuk melakukan perlawanan-perlawanan, memberontak, dan menolak terhadap perubahan kemajuan atas inovasi kewirausahaan dari para pengembang, sebagai penumbuhkembangan organisasi sektor konstruksi.
Sesungguhnya terkesan sama sekali tidak terlalu bermasalah untuk kebutuhan kemampuan mengembangkan pengubahan dari tanah reklamasi menjadi kota-kota satelit berdampingan dengan pemulihan hutan-hutan mangrove, maupun pemulihan hutan-hutan suaka marga satwa, atau pun hutan lindung.
Juga dalam memperbanyak pembangunan kebun-kebun binatang atau taman safari margasatwa. Itu untuk menumbuhkembangkan dalam mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan.
Terkesan sama sekali tidak ada kesulitan yang berarti untuk membangun gedung-gedung pencakar langit, seperti di negara-negara maju. Tidak sulit untuk membangun keberagaman kehidupan pembangunan rumah-rumah ibadah berbagai agama di dunia.
Tidak sulit untuk menumbuhkan kegiatan wisata kuliner, fashion, konser internasional, balapan mobil dan motor bereputasi internasional, golf, pusat-pusat kebugaran dan sarana olah raga, maupun membangun pusat-pusat perdagangan eceran, atau pun berbagai universitas terkemuka, dan pendidikan sejak dari sekolah dasar hingga dilengkapi dengan sekolah menengah.
Demikian pula untuk membangun perumahan-perumahan cluster secara horizontal, maupun apartemen-apartemen dan perkantoran yang bertingkat. Terkesan sungguh bukanlah sebagai sesuatu yang amat sangat sulit untuk konsorsium para pengembang dalam membangun kota-kota satelit, atau dalam membangun lingkungan industri yang siap bangun sebagai kawasan-kawasan industri manufaktur yang baru, sekalipun dari sudut pandang teknologi konstruksi. Juga dalam membangun Kawasan Ekonomi Khusus.
Kegiatan inovasi dan kreatifitas tingkat tinggi yang berkembang dalam kewirausahaan untuk para pengembang sudah sedemikian maju di dunia ini.
Begitu pun dengan kemampuan dari para pengembang dalam mempraktikkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ke dalam lingkungan eksternal perusahaan, terlebih untuk kepentingan internal perusahaan, maupun dalam membayar pajak sesuai dengan kemampuan pada tingkat pengembalian modal.
Sesuai dengan kapan perkiraan perhitungan akuntansi dan keuangan akan tercapai titik impas pada bisnis perusahaan.
Akan tetapi yang terkesan masih menjadi masalah adalah tentang proses pembebasan tanah untuk pemukiman masyarakat lokal setempat. Hal itu bukan hanya untuk mereka yang tidak punya surat-surat kepemilikan tanah dan bangunan, terutama untuk para penggarap yang tidak punya surat-surat kepemilikan tanah. Maupun pada mereka yang mengandalkan keberlakuan hak ulayat dan hukum adat atas pemanfaatan tanah dan hutan.
Juga termasuk untuk mereka yang mempunyai surat-surat kepemilikan tanah dan bangunan, maupun yang memiliki hak guna bangunan atau pun hak guna usaha, namun mempunyai kesulitan dalam memperoleh tanah-tanah yang baru sebagai tempat permukiman dan lokasi usaha yang baru, namun berskala jauh lebih kecil dibandingkan para pengembang berkewirausahaan berskala lebih besar.
Sesungguhnya dalam skema kerjasama ilmu manajemen terdapat opsi untuk kompensasi dalam bentuk kepemilikan saham, pembagian dividen, kerja sama operasi, atau pembagian kuota pembangunan pemukiman 1 bagian untuk penghuni rumah kelas berpendapatan atas, 4 bagian untuk kelas menengah, dan 6 bagian untuk pemukim kelas berpendapatan bawah.
Akan tetapi gagasan tersebut seringkali sudah tidak sesuai lagi, sudah usang. Kedaluarsa. Yakni, ketika tanah yang semula sebagai tanah rawa-rawa tepi pantai telah tereklamasi berubah menjadi kota-kota satelit elite dan super elite.
Persoalannya adalah harga keekonomian sudah jauh terbang tinggi melangit dalam bisnis perdagangan harga saham di pasar modal dan bunga obligasi di pasar obligasi level nasional dan internasional, yang telah naik membumbung tinggi.
Persoalan yang sama juga dihadapi, ketika tanah hutan adat, tanah hak ulayat, termasuk tanah negara yang dialihfungsikan kembali oleh pemerintah menjadi lokasi tanah untuk proyek strategis nasional sebagai program swasembada pangan padi dan jagung, maupun swasembada bioenergi untuk singkong, gula tebu, dan kelapa sawit.
Juga dalam membangun swasembada energi untuk melakukan eksplorasi pengeboran-pengeboran sumber-sumber minyak dan gas yang baru. Begitu pula untuk membangun hilirisasi pertambangan mineral dan batubara, maupun hilirisasi pertanian dan perkebunan berskala luas.
Bukan hanya masalah relokasi pertanahan menjadi penting, melainkan juga kelengkapan pembangunan peralatan dan mesin pengolah limbah menjadi sangat penting untuk mampu menurunkan ketegangan sosial yang tinggi atas dampak negatif dari pembangunan pertambangan mineral dan batubara, maupun hilirisasi lainnya.
Penulis tergabung sebagai Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: