Indikatornya sederhana, para elite politik dan aktor politik dan mungkin saja partai politik semakin hari semakin membuat kita bingung. Kebingungan ini makin terasa, sebab selama kurun waktu menjelang Pemilihan Umum 2024 belum ada yang betul-betul memberikan Pendidikan Politik dan Pendidikan Demokrasi yang substantif. Semuanya hanya masih bicara soal siapa, bagaimana, dan dapat apa.
Dapat kita saksikan bagaimana media-media online maupun cetak, nasional maupun lokal, semuanya hanya membincang soal koalisi. Setelah koalisi parpol ditetapkan, muncul tiga pasangan Capres-Cawapres; Ganjar Pranowo-Mahfud MD (PDIP, PPP, Perindo, Hanura), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PSI) dan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar (Nasdem, PKB, PKS).
Selebihnya kita akan melihat ide dan gagasan apa yang akan disampaikan oleh tiga pasang calon tersebut untuk arah perbaikan dan pembangunan bangsa Indoenesia selama lima tahun ke depan.
Namun, selama perjalanan tiga koalisi Parpol yang melahirkan tiga pasangan calon tersebut ternyata masih banyak menyimpan jejak kelam terhadap penegakan demokrasi. Setidaknya, penulis mencatat dua indikator pelemahan demokrasi dalam jelang Pemilu 2024 mendatang.
Pertama, Partai Politik. Partai politik adalah sistem yang berfungsi sebagai representatif dan agregator, namun terasa hal itu sirna. Perlu dipahami bahwa Parpol itu sebenarnya adalah Gerakan Sosial, bukan semata-mata menjadi Gerakan Politik Praktis yang hanya berebut suara.
Masih dalam momentum politik 2024, dapat kita saksikan kasus-kasus kemanusiaan dan konflik agraria tak ada satupun Parpol yang angkat bicara dan mengawal kasus-kasus semacam itu. Sehingga fungsi Parpol tidak relevan sebagai Gerakan Sosial. Jika begitu, dalam rangka mewujudkan penegakan demokrasi yang menghargai kebebasan sipil (
respect of civil society) nyata tereduksi.
Kedua, Politik Kekerabatan. Pelemahan terhadap demokrasi yang kedua ini penulis tidak menyebutnya sebagai Politik Dinasti, karena dalam sistem demokrasi tidak dikenal istilah Politik Dinasti. Tetapi istilah tersebut dikenal dalam sistem Monarki.
Penulis mengamati beberapa tahun belakangan, politik kekerabatan itu justru semakin mengental, salah satu fenomena yang dapat kita kaitkan adalah keterlibatan beberapa keluarga Joko Widodo dalam panggung politik daerah dan nasional.
Argumentasinya, bahwa sejarah panjang perjalanan demokrasi di Indonesia yang sudah memiliki 7 orang Presiden, hanya Joko Widodo yang mengizinkan dan memuluskan kerabatnya menjadi pejabat kepala daerah saat dia masih menjabat Presiden.
Sejahat-jahatnya Orde Baru tidak pernah melakukan gaya politik semacam itu. Sebut saja, Gibran Rakabuming Raka (Walikota Solo), Bobby Nasution (Walikota Medan), Kaesang Pangarep (Ketum PSI), Anwar Usman (Ketua Mahkamah Konstitusi).
Mengapa politik kekerabatan menjadi salah satu indikator pelemahan demokrasi? Karena melalui gaya politik semacam seperti itu akan berpotensi menimbulkan (1) perilaku koruptif yang terstruktur, sistematis, dan masif; (2) merusak tata kelola birokrasi di daerah; dan (3) mengurangi kualitas demokrasi di tingkat lokal. Belum lagi politik kekerabatan tersebut sudah masuk pada institusi penegakan hukum, sebut saja Mahkamah Konstitusi. Ini mengkhawatirkan.
MK Buka Ruang Politik KekerabatanMahkamah Konstitusi (MK) telah membuka ruang politik kekerabatan. Hal tersebut dapat kita lihat pasca-MK mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK tidak konsisten dalam mengabulkan perkara tersebut, sebab ada 7 gugatan yang pada kesimpulannya menginginkan untuk mengubah batas usia minimal Capres-Cawapres harus di bawah 40 tahun. Dan semua gugatan tersebut ditolak seluruhnya, namun ada 1 gugatan yang dikabulkan sebagian oleh MK.
Ini aneh, MK tidak konsisten terkait perkara batas usia minimal Capres-Cawapres. Sebab, dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 Pemohon ingin mengubah batas usia minimal Capres-Cawapres jadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan MK mengabulkan sebagian gugatan, artinya gugatan yang ditolak seluruhnya tadi seolah-olah tidak berlaku.
Jika semua gugatan tentang batas usia minimal Capres-Cawapres itu ditolak seluruhnya, lantas mengapa MK mengabulkan sebagian gugatan yang tambahan lembarannya berbunyi tentang pengalaman pernah menjadi Kepala Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota? Artinya, jika keputusan MK seperti itu kami melihat memang ada kepentingan politik yang ingin diselamatkan melalui meja hijau.
Masyarakat Indonesia sudah pintar dan cerdas dalam melihat kepentingan apa saja yang ingin diperjuangkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Kita paham bahwa hal ini kepentingan politik kekerabatan yang sedang dibangun oleh Joko Widodo yang akan dititip kepada sang anak Gibran Rakabuming Raka yang sekarang menjadi Walikota Solo.
Sehingga politik kekerabatan itu berbahaya dan tentu akan mengancam jalannya demokrasi. Sebab di sana akan melanggengkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkaran elite dan kekerabatan dan akan mengabaikan kepentingan rakyat.
Nilai yang terkandung dalam demokrasi itu adalah kebebasan. Tetapi kebebasan yang dimaksud bukan yang sebebas-bebasnya, termasuk melanggengkan praktik politik kekerabatan. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga penegak keadilan, tidak boleh lembaga seperti itu berniat sedikitpun untuk melanggengkan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu, penulis menyebutnya
Abuse of Power.
Mahkamah Konstitusi itu lembaga penegak hukum dan keadilan, tidak boleh dirasuki oleh kepentingan-kepentingan apapun itu yang pada akhirnya menguntungkan pribadi dan kelompok. Ini akan berbahaya kalau hukum terseok-seok menghadapi kepentingan politik.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Forum Strategis Pembangunan Sosial
BERITA TERKAIT: