Membahas tentang JC di MK untuk merubah batas usia pasangan Capres menjadi 35 tahun. Bermakna bahwa masalah tersebut dianggap "lebih penting" oleh Presiden Jokowi.
Berbagai kelompok termasuk PSI yang Ketua Umumnya Kaesang Pangarep, juga putra Jokowi, Melakukan JC UU Pemilu tentang merubah pasal batas usia Capres.
Publik menganggap usaha tersebut adalah keinginan "Istana" memuluskan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini berumur 35 tahun, untuk bisa menjadi cawapres.
Tentu ada reaksi. Reaksi yang cukup tajam dan viral adalah ketidaksetujuan. Justru sebagian berasal dari pihak pendukung Jokowi. Deni Siregar, Hendardi, dan lain-lain. Pendukung yang sebelumnya menjadikan Jokowi "berhala" yang selalu dipuja, protes berat.
Pengakuan Deni Siregar bahwa bersama kawan-kawannya sesama influencer atau lebih dikenal sebagai Buzzer Istana. Karena sering diundang Jokowi ke Istana.
Kata Desi (Deni Siregar) mereka selama ini "mengelembungkan" nama Jokowi, sehingga selalu meningkat di survei. Begitu juga dengan Ganjar Pranowo yang juga meningkat pesat di survei adalah "ulah" mereka.
Jagad medsos heboh. Jokowi membangun Dinasti. Deni Siregar mengingatkan Jokowi jangan masuk perangkap Gerindra.
Menurut dia, keinginan keras menyunting Gibran jadi cawapres untuk Prabowo Subianto (PS), Semata untuk meningkatkan elektabilitas PS. Melalui Relawan Jokowi yang sudah diambil alih oleh putra-putranya.
Deni juga mengingatkan dan percaya sang “tuannya” Jokowi, tidak akan berkhianat terhadap Megawati. Yang menjadikan Jokowi presiden dan anaknya jadi Wali Kota Solo serta mantunya jadi Wali Kota Medan.
Lalu, MK rencananya Senin (16/10) akan memutuskan JC UU Pemilu. Mengubah pasal batas umur menjadi 35 tahun. Atau memberi imbuhan pasal pada UU. Bagi yang pernah jadi bupati, gubernur, atau kepala daerah ada kekecualian. Jika itu terjadi MK menjadi Mahkamah Keluarga. Menurut tokoh nasional Dr. Rizal Ramli.
Upaya MK ini dibaca publik sebagai usaha untuk meloloskan anak Jokowi, Gibran Rakabuming, Walikota Solo. Agar bisa maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Ketua MK juga adalah adik ipar Jokowi, paman dari Gibran. Keluarga beneran yang lagu Kuasa. Jadilah MK populer dengan sebutan Mahkamah Keluarga.
Sebenarnya, menurut pasal UU Kehakiman. Hubungan kekerabatan/keluarga dilarang keras. Apalagi menjadi jabatan hakim agung. Anwar Usman ipar Jokowi duduk sebagai ketua MK. Banyak kebijakan kepemerintahan terkait dengan kepentingan eksekutif/presiden. Harusnya Ketua MK Anwar Usman mundur atau diberhentikan.
Namun, keadaan Indonesia tidak lagi baik-baik saja. Pelanggaran konstitusi seperti itu lumrah. DPR diam. Para rektor pun diam. Ketua-ketua Parpol sami mawon. Katanya sih tersandera.
Kembali kepada judul. Kepentingan siapa merubah pasal UU Pemilu Melalui MK?
Yang pasti kepentingan politik kekuasaan. Bukan kepentingan rakyat yang lagi tercekik, karena krisis ekonomi.
Untuk PS kepentingannya seperti yang disampaikan Desi. Meningkatkan elektabilitasnya. Untuk Presiden Jokowi kepentingannya?
Harus diingat putranya Gibran dan Kaesang punya masalah dugaan KKN
money laundering ajuan Ubaidillah Badrun (Akademisi). Masih “digantung” oleh KPK.
Begitu juga masalah kebijakan dan pemborosan APBN Kereta Api Cepat dan kasus lain. Bisa diungkit di kemudian hari. Artinya keluarga harus berjuang supaya Gibran berkuasa. Semua bisa distop. Artinya kepentingannya di samping membangun dinasti juga untuk jalan penyelamatan.
Bagi PS yang "ngotot" mengajukan Gibran. Menurut Gibran berkali-kali PS meminta dirinya sebagai cawapres. Akankah meningkatkan elektabilitas baik untuk dirinya sebagai capres atau partai Gerindra dengan membawa anak Jokowi plus relawannya.
Jika mengacu pada Pilpres 2014 dan 2019, PDIP yang mengasuh Jokowi perolehan hasil Pemilu hanya naik tidak begitu signifikan sekitar 2 persen. Hasil "kemenangan" Jokowi pada pilpres 2019 sekitar 54 persen, setara dengan jumlah suara dari koalisi partai pendukung Jokowi. Lalu apa kebesaran relawan Jokowi hanya sekedar gelembung. Yang secara rutin dirawat istana.
Akankah demokrasi di Indonesia berupa Republik akan berubah menjadi Monarki. Di mana sang Raja cawe-cawe, "memaksa" menetapkan penggantinya, apalagi putranya. Hanya untuk jalan penyelamatan. Daulat Rakyat harus peka membaca.
Penulis adalah pemerhati kebijakan publik
BERITA TERKAIT: