AMANG Mawardi. Dikenal sebagai wartawan
Pos Kota di usia mudanya. Koran kuning, begitu sebutan untuk koran-koran kriminal.
Dari Amang, yang muda-muda ini banyak belajar. Kemampuannya dalam menganalisa, menyunting, hingga termuat menjadi berita di koran, sangat luar biasa.
Tidak semua wartawan di eranya memiliki pola pikir sebagaimana pola pikir Amang.
Kreatif. Jujur. Berani.
Hal itu terungkap dari buku Amang Mawardi berjudul "Memoar Wartawan Biasa Biasa: Di Senja Waktu Aku Tulis Buku".
Buku ini, mungkin sudah banyak orang mengulasnya. Teman-teman Amang. Yang seangkatan. Yang tidak seangkatan. Yang sesama wartawan. Yang bukan wartawan. Yang seniman. Yang orang biasa biasa. Yang kenal maupun tidak kenal. Pasti sudah mengulas buku tersebut. Saya paling akhir.
Ya sudah. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Toh, ini sekedar ulasan corat coret biasa biasa. Bila ada hikmahnya, ambil. Bila tidak ada, abaikan.
Amang sebelumnya telah menggelar lauching buku di balai PWI Jatim. Yang di-lauching ya buku ini. Cuma lauching dikemas dengan talkshow dan kesaksian Peter A.Rohi, wartawan legendaris. Ini sebagai bentuk apresiasi terhadap Peter. Nama Peter juga disebut-sebut di tulisan Amang.
Orang yang pertama datang di acara tersebut kebagian buku gratis. Saya, karena terlambat, dapatnya hanya nasi kotak.
Total dari semua karya Amang, ada 16 buku yang sudah diterbitkan. Buku-buku itu dicetak secara indie. Dananya dari donatur. Ada yang patungan dari komunitas. Ada kalanya, biaya sendiri. Itu kalau Amang punya duit.
Penerbitnya tentu atas nama sendiri. Punya paten.
Dipasarkannya juga sendiri.
Pengakuan Amang, yang beli macam-macam orang. Kalau saya memang suka baca buku. Apalagi buku yang mengisahkan kehidupan jurnalis. Seperti ada keterikatan sesama profesi. Sekaligus belajar pada yang berpengalaman. Ada juga yang beli karena faktor pertemanan. Yang menyedihkan, ada yang beli karena merasa kasihan.
Kalau pembelinya sedikit dan masih banyak sisa, oleh Amang buku dibagikan gratis.
Supaya apa? Supaya bukunya cepat habis dan cepat dibaca orang. Sebab, cuma itu kepuasan seorang penulis.
Menulis. Dicetak. Dan, dibaca.
"Buku cetaknya mahal, eh dibagi gratis," kelakar Amang sampai geleng-geleng kepala.
Dan sekarang, Amang sedang menyelesaikan tulisan terbaru.
"Lagi mengumpulkan tulisan. Masih 9 cerita," kata Amang saat saya berkunjung ke rumahnya.
Di eranya, Amang termasuk wartawan paling produktif. Pun di usia senja, tetap produktif. Terbukti dengan melahirkan karya-karya luar biasa.
Tulisan Amang yang lugas, dengan gaya bahasa bertutur, halus dan lembut, kadang tegas, tidak bertele-tele, tidak juga mendayu-dayu, seakan menjadikan tulisan itu punya ruh. Hidup.
Karakter tulisan Amang benar-benar mencerminkan karakter pribadinya.
Jujur, membaca buku "Memoar Wartawan Biasa Biasa..", saya seperti dibawa penulisnya kembali ke masa lalu. Mengenangkan setiap detik demi detik peristiwa yang dialami penulis.
Satu cerita selesai dibaca, saya seperti dihempaskan ke bumi. Masih kurang puas. Lalu baca lagi. Dihempaskan lagi. Tidak puas lagi. Ah, bikin ketagihan.
Saya merasa masih banyak petualangan jurnalis Amang yang belum utuh diceritakan di buku. Saya yakin di buku itu masih sekelumit cerita yang dituangkan. Ini yang bikin jengkel.
Sampai-sampai saya berangan-angan ingin kembali ke era Amang. Menjadi saksi hidup perjalanannya. Atau sekaligus menjadi teman seprofesinya. Mungkin seru.
Di setiap tulisan Amang, entah mengapa selalu saja ada semangat membara, semangat menulis, dan semangat menjadi wartawan.
Memang ada yang bilang begini, kalau mau mendengar cerita yang seru-seru, yang hebat-hebat, yang penuh petualangan, yang selalu abadi untuk dikenang, datanglah ke wartawan. Mereka gudangnya cerita. Ibarat abjad dari A hingga Z, semua ada dalam diri wartawan.
Mau cerita si wartawannya sendiri, atau cerita teman wartawan yang diceritakan si wartawan, atau cerita orang lain yang diceritakan si wartawan, atau cerita orang lain yang diceritakan orang lain terus diceritakan si wartawan juga ada.
Bila dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman orang pada umumnya, cerita wartawan lebih komplit.
Dan ketika membaca tulisan Amang, semua unsur di atas masuk. Ya cerita si wartawan sebagai pelakunya langsung. Kemudian menceritakan teman si wartawan dan cerita orang lain.
Membaca tulisan Amang seperti mengingatkan saya pada kenangan almarhum ayah. Beliau dulu juga wartawan. Era ayah mungkin sama dengan era Amang. Atau, jangan-jangan mereka saling kenal.
Sayangnya, profesi ayah singkat. Sebab beliau kemudian menjadi pegawai honor kelurahan hingga diangkat jadi pegawai negeri. Lambat laun profesi wartawan mulai ditinggalkan.
Tapi, ayah pernah sekali bercerita, bahwa profesi wartawan kala itu benar-benar dihargai. Kata ayah, menjadi wartawan tidak semudah seperti sekarang.
Seorang wartawan tidak hanya berbekal skill. Melainkan harus punya integritas. Menjunjung tinggi kode etik. Berkomitmen. Amanah. Dan bertanggungjawab. Sehingga kata ayah, hanya orang-orang pilihan yang bisa menggeluti profesi tersebut. Yang tidak memiliki kriteria itu akan terseleksi oleh alam.
Selain menjadi wartawan, ayah juga seorang penyiar radio. Hampir setiap malam, usai mencari berita, ayah langsung ke studio untuk on air. Pun saat menjadi tenaga honor selama 12 tahun di kelurahan, ayah masih meluangkan waktu siaran di radio. Katanya sekedar cari tambahan untuk biaya beli susu anaknya yang baru lahir. Ya, saya.
Pernah sekali saya memergoki ayah sedang menggunakan mic disambungkan ke tape kaset. Lalu menirukan suara penyiar radio. Suaranya benar-benar berkelas. Pantas dulu setiap beliau membawakan acara radio di studio selalu didatangi penggemar yang mayoritas perempuan. Begitu cerita ibu yang sempat cemburu melihat kedekatan ayah dengan penggemar. Diakui ibu, suara ayah mampu membius banyak orang. Yang romantis, setiap malam ayah selalu mengirim pesan melalui siarannya buat ibu dan saya.
"Selamat bobok, anakku!" Begitu pesan yang terus diulang-ulang.
Ayah sendiri tidak menceritakan detil kisahnya. Andai saja perjalanan hidupnya ditulis seperti Amang, pasti juga menarik.
Ya, akan selalu menarik mendengar cerita bertutur ayah saat menjadi wartawan. Begitu pula saat membaca buku Amang yang menceritakan liku-liku wartawan di eranya.
Saya dan kawan-kawan era kini tidak bisa meniru jejak mereka. Para pendahulu. Para senior. Sebab setiap orang punya masanya. Punya cerita masing-masing. Tapi setidaknya melalui buku "Memoar Wartawan Biasa Biasa: Di Senja Waktu Aku Tulis Buku" karya Amang Mawardi ini, saya bisa belajar banyak bagaimana menjadi seorang wartawan yang baik.
Penulis wartawan Kantor Berita RMOLJatim
BERITA TERKAIT: