Kata Jokowi: "Setelah hilirisasi lapangan kerja terbuka di dalam negeri. Nikel itu sekali lagi dapat PPN, dapat PPh perusahaan, PPh karyawan, dapat royalti. Dapat penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dapat bea ekspor (BE), dapat banyak sekali," (19/8).
Jokowi menambahkan upaya hilirisasi sebagai sebuah kemajuan dibanding masa lalu, saat Indonesia, selama 400 tahun era VOC, selalu mengekspor barang mentah ke luar negeri. Alhasil, pendapatan yang diterima negara pun sedikit.
Kata Jokowi: "Saya contohkan nikel. Waktu ekspor bahan mentah sebelum 2020, kita setahun dapat kira-kira 2,1 miliar dolar AS. Begitu dihilirisasi menjadi 33,8 miliar dolar AS. Lompatannya berapa kali," (19/8).
Tulisan ini membahas manfaat hilirisasi “versi” Jokowi tersebut, yang diklaim banyak sekali sesuai aspek-aspek: a) lapangan kerja; b) PPN; c) PPh perusahaan; d) PPh karyawan; d) royalty; dan e) bea ekspor.
Tulisan ini juga dimaksudkan untuk mendukung pendapat awal Faisal Basri, meskipun belakangan Faisal mengaku khilaf dan terkesan menerima pendapat pemerintah (Jokowi, LBP, dan Deputy Investasi Kemenko Marves, Septian Hario Seto).
Sebelum membahas keenam aspek, perlu diperjelas klaim hiperbolis, manipulatif dan sarat pencitraan, bahwa Indonesia selalu mengekspor barang mentah selama 400 tahun sejak era VOC.
Presiden Jokowi perlu diingatkan pada era Pak Harto, pemerintah telah melarang ekspor kayu bulat dengan membangun industri kayu lapis. SBY melarang ekspor rotan mentah dengan membangun industri berbasis rotan.
Pada kedua era tersebut, Indonesia juga menghasilkan produk-produk smelter pengolahan bijih tembaga!
Rakyat tidak boleh tertipu, Pak Harto membuat kebijakan membangun smelter (1996) di Gresik guna mengolah dan memurnikan konsentrat tembaga hasil tambang PT Freeport.
Dari smelter yang saat ini berkapasitas pengolahan 1.100.000 ton konsentrat tembaga ini dihasilkan katoda tembaga, emas dan perak murni batangan, PGM (Platinum Group Metals), serta produk sampingan berupa asam sulfat, terak, gipsum, lumpur anoda dan CuTe (
liputan6, 18/1/2023).
Perlu diingatkan pula kebijakan hilirisasi minerba merupakan perintah UU 4/2009 yang dibentuk pada era SBY. UU tersebut disusun sekitar 3-4 tahun, di mana diatur hilirisasi mineral harus terlaksana lima tahun setelah UU 4/2009 ditetapkan.
Artinya, karena pemerintahan harus berjalan berkelanjutan, maka sejak 2014 hilirisasi mineral memang harus terlaksana, tak peduli siapa pun yang memerintah. Karena itu, kebijakan dan program hilirisasi bukan jasa pemerintahan Jokowi
an sich!
Dalam hal a) tenaga kerja, kesempatan kerja bagi pekerja pribumi memang meningkat. Namun hal tersebut hanya terjadi di sektor (hulu) tambang. Pada sektor smelter (jumlahnya 43 buah), mayoritas pekerja adalah TKA China. Kebanyakan pekerja menggunakan visa 211 dan 212, yaitu visa kunjungan, bukan visa kerja.
Mereka banyak yang berijazah setingkat SMP dan SMA, serta melanggar kualifikasi TKA yang ditetapkan Permenaker 10/2018. Di sisi lain, gaji TKA China ini justru jauh lebih tinggi dibanding gaji TK pribumi/Indonesia.
Sebagian mereka menerima pembayaran gaji di China. DPR dan pemerintah perlu menegakkan hukum dan membuka berbagai kejahatan sistemik ini secara terang-benderang.
Dalam b) aspek PPN (VAT), pemerintah tidak mendapat penerimaan pajak. Sebab produk hilirisasi yang diklaim Mr. Jokowi bernilai Rp 510 triliun merupakan komoditas yang diekspor. Sehingga PPN tidak berlaku (NIL).
Sesuai peraturan pemerintah, smelter tidak dikenakan VAT atas barang produksi ekspornya dan China-lah yang menikmati VAT sebesar 13 persen total
value!
Dalam c) aspek PPh, karena sebagian besar smelter memperoleh insentif tax holiday, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 150 Tahun 2018, karena itu pemerintah pun tidak memperoleh pajak (NIL).
Dalam hal ini, kita menuntut agar pemerintah membuka data tentang smelter China dan konglomerat mana saja yang memperoleh fasilitas
tax holiday (berikut lama waktu/tahun berlaku).
Selain itu perlu dibuktikan komitmen nilai investasi pada saat/awal mengajukan proposal (agar memperoleh
tax holiday), yang harus sama dengan realisasi investasi. Jika tidak, maka terjadi manipulasi dan harus dikenakan sanksi.
Dalam hal d) PPh karyawan, seperti sudah disebutkan di atas, karena sebagian besar TKA China datang dengan visa kunjungan dan pembayaran gajinya pun justru dilakukan di China. Karena itu, negara kehilangan pendapatan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) yang seharusnya dibayar investor kepada pemerintah, dan ini akan tercatat sebagai PNBP.
Terkait butir e) royalti, smelter sebagai pemegang Izin Usaha Industri (IUI) tidak wajib membayar royalti. Dalam hal ini, royalti hanya dibayar oleh perusahaan-perusahaan tambang di sisi hulu, di mana besarnya adalah 10 persen dari harga jual produk. Pemegang IUP justru menyubsidi pemegang IUI/smelter.
Dalam hal f) bea ekspor, ternyata sebagian besar produk hilirisasi (tepatnya seperempat hilirisasi) nilainya adalah NOL. Ekspor Nikel Pick Iron dan Feronikel dari Indonesia ke China adalah: Zero Export Duty Tax.
Uraian di atas menunjukkan berbagai potensi penerimaan negara justru hilang atau mengecil karena insentif pajak, pelanggaran hukum dan kebijakan tidak sesuai kepentingan strategis nasional. Di sisi lain, sejumlah oknum pejabat negara dan partai, termasuk yang berperan sebagai
proxies, justru bekerja untuk kepentingan oligarki dan investor/negara China.
Sehingga penerimaan negara dari program hilirisasi diperkirakan tidak lebih 10 persen dari nilai ekspor Rp510 triliun yang diklaim Mr. Jokowi. Angka 10 persen ini dapat dibuktikan jika dilakukan perhitungan dengan data akurat dan transparan oleh BPK dan Pansus DPR!
Selain itu, harap dicatat bahwa nilai tambah optimal hilirisasi nikel yang secara teoritis dapat mencapai 19 kali lipat, pada dasarnya lebih banyak dinikmati oleh China. Rata-rata manfaat hilirisasi yang dinikmati Indonesia hanyalah sekitar 4 kali lipat.
Maka tidak salah kalau kita menyatakan, sebagaimana juga awalnya didengungkan Faisal Basri, bahwa hilirisasi nikel justru lebih banyak dinikmati China!
Sejalan dengan hal-hal di atas, kita menuntut agar DPR (melalui Pansus Industri Nikel) dan Presiden Jokowi membuka secara terang-benderang perihal angka-angka yang benar dan akurat tentang produksi bijih nikel nasional/tahun, daftar smelter penerima
tax holiday, produksi smelter, harga mineral/nikel acuan (HMA) terhadap harga bagi penambang domestik, penerimaan pajak dan PNBP rutin triwulanan/semester sesuai produksi tambang dan smelter, dan seluruh aspek lain yang selama ini banyak tersembunyi atau disembunyikan.
Penerimaan negara sangat minimalis dan manfaat hilirisasi justru lebih banyak dinikmati konglomerat dan China. Sementara itu, lapangan kerja justru dinikmati oleh TKA China dan tingkat pengangguran di wilayah penghasil nikel justru termasuk yang terbesar dibanding provinsi-provinsi lain, yakni Sulawesi Tenggara 10,11 persen dan Sulawesi Tengah 12,33 persen.
Di atas kenikmatan para konglomerat dan penguasa oligarkis/China, timbul kerusakan lingkungan dan kesengsaraan rakyat wilayah tambang. Maka sudah saatnya pula Indonesia memberlakukan moratorium tambang/industri nikel.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS)
BERITA TERKAIT: