Keyakinan kedua, Jokowi dianggap sebagai pemimpin gagal. Rakyat semakin sengsara, maka menurut mereka Jokowi harus dijatuhkan.
Kelompok ini antusias mengungkap berbagai data dan memberi argumentasi yang sangat meyakinkan. Mulai dari soal masifnya korupsi, penegakan hukum yang bermasalah, nepotisme, otoritarianisme, dan seterusnya. Ini adalah keyakinan yang dibangun berbasis analisis moral. Menurut mereka, Jokowi tidak boleh berlanjut.
Keyakinan berbasis analisis politik dan keyakinan berbasis moral ini terus muncul. Sesuatu yang lumrah, normal, dan biasa terjadi di setiap rezim. Siapapun rezimnya. Tidak ada rezim yang bisa lepas dari lahirnya kelompok yang akan menjatuhkannya.
Kelompok ini lahir oleh dua kepentingan. Kepentingan pragmatis dan kepentingan idealis. Kepentingan pragmatis terdiri dari mereka yang ingin berkuasa. Hanya segelintir elite yang yang memanfaatkan kekecewaan rakyat untuk jatuhkan kekuasaan. Bagi mereka, tidak ada cara lain untuk berkuasa kecuali kudeta. Ganti penguasa lama dengan diri mereka.
Sebagian besar yang bergabung di kelompok ini adalah mereka yang punya kepentingan moral. Mereka takut negara semakin rusak. Karena itu, menurut mereka, presiden harus diganti.
Faktanya? Jokowi tidak jatuh. Setidaknya hingga hari ini. Prediksi saya, Jokowi tidak akan jatuh. Kecuali jika ada krisis ekonomi atau moneter. Soal ini harus melibatkan analisis geopolitik. Ekonomi global beberapa tahun belakangan ini memang memburuk, tapi masih bisa diatasi.
Tulisan ini tidak ingin bicara soal benar-salah. Sebab, benar-salah dalam politik seringkali bersifat subjektif. Benar-salah bergantung kepada siapa yang menang. Kalau Jokowi sukses dijatuhkan, maka yang akan dianggap benar itu kelompok yang menjatuhkan. Kalau Jokowi tidak bisa dijatuhkan dan tetap bertahan, maka yang dianggap benar itu Jokowi. Secara prinsip, pemenang akan mendapatkan banyak dukungan. Kue kekuasaan tetap menjadi magnet rebutan. Di sinilah dukungan itu berdatangan.
Bukan berarti upaya melakukan kudeta itu bebas nilai. Tidak. Pada akhirnya kebenaran objektif akan terungkap. Ini ke depan akan menjadi tugas sejarah untuk membongkar. Maksudnya, sejarahlah yang nanti akan membuka siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa pahlawan, siapa yang jadi pecundang. Butuh waktu bagi sejarah untuk membuktikan semua itu.
Kembali ke objek tulisan ini, bahwa Jokowi hampir pasti tidak bisa dijatuhkan. Sebab, belum terlihat adanya syarat politik yang terpenuhi untuk menjatuhkan Jokowi.
Syarat itu adalah pertama, tidak ada isu besar yang bisa menjadi
trigger untuk menjatuhkan Jokowi. Isu yang paling sensitif dan seksi adalah krisis ekonomi, isu agama dan masalah moral. Isu sensitif ini belum terlihat. Sementara isu korupsi, nepotisme, otoritarianisme dan sejenisnya tidak cukup kuat untuk menjadi trigger. Tingkat sensitivitasnya melemah.
Kedua, konflik internal. Umumnya, rezim jatuh karena dukungan internal rapuh. Konflik kepentingan di internal yang tidak selesai akan menggoyahkan kekuatan yang dimiliki penguasa. Di sini tampak kelihaian Jokowi.
Jokowi cukup piawai dalam menjaga stabilitas kekuasaan. Caranya, ia disiplin dalam mendistribusikan kue kekuasaan. Semua kebagian. Loyalis Jokowi mendapat perhatian dan kepuasan. Di sinilah Jokowi memperoleh dukungan yang sangat kuat dan sangat militan.
Infonya, sekitar 32 persen komisaris anak perusahaan BUMN diisi oleh relawan Jokowi. Ini membuktikan bahwa Jokowi adalah politikus yang disiplin dalam menjaga dan merapikan barisan. Konkret. Pola inilah yang membuat loyalis Jokowi sangat militan dalam menjaga stabilitas kekuasaan. Dengan kekuatan ini, Jokowi kemudian punya modal untuk bersikap tegas, bahkan tidak segan menyingkirkan mereka yang dianggap tidak loyal.
Faktor yang tidak kalah penting bagi Jokowi dalam menjaga stabilitas kekuasaannya adalah sikap realistisnya. Ketika lawan menguat, Jokowi tidak segan untuk berkompromi. Melakukan negosiasi.
Win win solution. Kalau lawan lemah, anda tahu jawabannya.
Beda Jokowi, beda Gus Dur. Gus Dur tidak bisa membuka ruang untuk berkompromi dengan hal-hal yang oleh Gus Dur dianggap prinsipil. Gus Dur adalah seorang idealis sekaligus moralis. Ini kelebihannya. Tetapi dalam konteks politik praktis, ini bisa dianggap sebagai kelemahan.
Di dalam politik, berlaku bagi-bagi kekuasaan. Seringkali mengabaikan integritas dan kompetensi. Gus Dur itu ulama, seorang yang sangat idealis, dan sekaligus budayawan. Karena tidak mudah berkompromi, akhirnya kita menyaksikan Gus Dur dijatuhkan. Itu lantaran Gus Dur tidak membuka ruang untuk berkompromi terkait hal-hal yang dianggapnya prinsip. Tentu ada faktor lainnya juga.
Jokowi seorang politikus tulen. Begitu juga umumnya para pemimpin dan elite politik kita. Mereka dituntut melakukan kompromi-kompromi dengan pihak manapun, terutama ketika lawan menguat. Dalam hal ini, Jokowi sangat piawai. Bisa berkompromi, terutama ketika terancam kondisinya.
Jadi, dengan melihat pola Jokowi dalam berpolitik selama ini, sulit ada celah bagi lawan untuk menjatuhkan Jokowi. Bukan tidak mungkin, tapi sangat sulit. Terlebih, jadwal pemilu sudah semakin dekat. Ini akan semakin mempersempit ruang untuk menjatuhkan Jokowi. Sebab, hampir semua partai pengusung capres-cawapres dan relawan pendukungnya tidak ingin pemilu tertunda.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
BERITA TERKAIT: