Majalah Tempo edisi (6/8) menurunkan berita mengenai keterpurukan para pendonor organ ilegal yang dijerat promosi para calo, dalam keterhimpitan persoalan keuangan. Organ tubuh selayaknya ginjal, menjadi produk berharga dalam jalur ekspres menghasilkan uang. Senilai Rp135 juta per buah.
Di saat yang sama, kita memperingati HUT ke-78 negeri ini. Tentu hal tersebut, menjadi sebuah ironi. Terlebih bila kemudian kita melakukan komparasi atas apa yang tengah dipersiapkan pemerintah dalam konteks RAPBN dan nota keuangan 2024, tertuang dalam pidato Presiden (16/8).
Selintas, apa korelasi antara keduanya? Tarikan garis di antara dua kejadian tersebut, tersusun dalam kerangka berikut, (i) fenomena jual beli ginjal merupakan lapis permukaan dari persoalan kemiskinan, (ii) kebutuhan transplantasi organ, pada kasus gagal ginjal merupakan aspek kesehatan publik.
Sekurangnya, Tony Samosir. Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyatakan hal itu. Bahwa kebutuhan cangkok organ ginjal, di tanah air terbilang besar. Selama ini, terkendala pasokan donor dan rumitnya peraturan. Terlebih, hanya bisa dilakukan pada pusat kesehatan tertentu, dikarenakan kekurangan tenaga ahli di bidang tersebut.
Di sisi lain, terdapat lebih dari seratusan pendonor di pasar internasional, bersama dengan para calo yang memanfaatkan celah sempit serta gelap, dalam perdagangan orang.
Termasuk, memfasilitasi transaksi jual beli organ di luar negeri. Mereka menjadikan situasi ini sebagai ladang bisnis, dengan kompensasi berbalas imbalan. Rasionalisasi alasannya, himpitan ekonomi.
Lalu di mana titik temunya? Bila menyebut
tagline perayaan hari kemerdekaan ke-78 yaitu “Terus Melaju untuk Indonesia Maju” maka publik berharap: laju pembangunan tidak meninggalkan aset terbesar bangsa ini, yakni keberadaan sumber daya manusia.
Dalam uraian pidato presiden, berkenaan dengan rencana kerja pemerintah, maka dua hal utama yang diletakkan pada bagian awal sebagai pondasinya adalah, (i) percepatan penghapusan kemiskinan ekstrim dan (ii) peningkatan kualitas manusia: pendidikan serta kesehatan sebagai indikator.
Maka realitas dari jual beli ginjal, merupakan tamparan di wajah kita. Sebab, hal itu mengilustrasikan bahwa, (i) kemiskinan merupakan keseharian dalam kehidupan publik, serta merupakan implikasi dari (ii) belum terkelolanya sektor kesehatan di tanah air dengan baik. Pekik itu, setengah merdeka.
Kemerdekaan itu diibaratkan Bung Besar Proklamator, sebagai jembatan emas. Menghantarkan kita dari satu titik penjajahan, menuju pintu masa depan yang sejahtera dan gemilang.
Karena itu, merdeka adalah sebuah proses, dan bukan hal final, menjadikan Indonesia adil dan makmur.
Pada pidato presiden kemarin, kesehatan juga dikaitkan dengan dengan postur APBN yang “sehat” untuk memastikan penguatan sumber daya manusia yang sehat. Kluster kesehatan dikaitkan dengan penurunan kemiskinan dan jaminan perlindungan sosial dengan berbagai varian program subsidi.
Tentu kita berharap, semua aktivitas tersebut dapat menjadi motor penggerak bagi laju Indonesia maju. Bukan hanya menyoal besaran anggaran kesehatan yang direncanakan senilai Rp184 triliun atau sekitar 5.6 persen dari APBN. Tetapi lebih jauh lagi, perlu komitmen negara untuk hadir serta menuntaskan persoalan publik, semisal jual beli organ ginjal.
Kalaulah, nilai setara sebuah ginjal, sebagaimana di paragraf awal, bayangkan berapa jumlah produktivitas yang dihasilkan? Bila manusia Indonesia sehat dan sempurna seluruh organnya.
Karena itu, sehat menjadi padanan penting dari kemajuan bangsa, berkaitan dengan aspek kesejahteraan.
Persoalan lain yang masih bergelayut menjadi masalah kita, juga terletak pada angka stunting, yang diharapkan turun prevalensinya menjadi 14 persen di 2024.
Jelas membutuhkan kemauan tegas, serta konsistensi kebijakan, untuk tidak mendegradasi isu-isu yang berkaitan dengan sumber daya manusia.
Jangan sampai, terjadi stunting kebijakan, pendek akal dalam mempertimbangkan hajat publik dan lebih berpikir tentang kepentingan mempertahankan kuasa.
Karena sesungguhnya, di alam kemerdekaan, manusia adalah subjek dalam kerangka pembangunan, bukan sekedar penyerta dari kemegahan tampilan infrastruktur fisik semata.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
BERITA TERKAIT: