Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Politisasi Omnibus Law Ketenagakerjaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-ir-sugiyono-msi-5'>DR. IR. SUGIYONO, MSI</a>
OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
  • Kamis, 03 Agustus 2023, 12:04 WIB
Politisasi Omnibus Law Ketenagakerjaan
Ilustrasi/Net
INFORMASI tidak simetris terkesan dikembangtumbuhkan sebagai alat untuk kampanye politik guna mendongkrak suara secara dramatis menjelang Pemilu 2024 oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu.

Momentum yang digunakan antara lain adalah menolak omnibus law bidang ketenagakerjaan. Omnibus law yang sangat tebal dan yang dibentuk berasal dari banyak regulasi UU sebelumnya dan ditata ulang mempunyai implikasi secara psikologis mengurangi semangat perorangan untuk mencermati secara seksama.

Jadi, diperlukan energi yang besar untuk mampu memahami dibalik ketebalan narasi omnibus law.

Diksi informasi tersebut antara lain, pertama, pemerintah melegalkan kegiatan alih daya. Alih daya dikesankan diberi stempel sebagai perbudakan modern. Fakta narasi yang dialihdayakan adalah sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya, Pasal 64 ayat (1).

Alih daya bukan dari perusahaan kepada pekerja, melainkan dari suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya yang menjadi perusahaan alih daya. Selanjutnya perlindungan pekerja/buruh dan lain sebagainya menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya, Pasal 66 ayat (2).

Kedua, penetapan kenaikan upah diatur di bawah laju inflasi, bahkan diinformasikan bahwa upah tidak naik selama 3 tahun terakhir, serta memberlakukan upah murah.

Faktanya kebijakan pengupahan diatur dalam peraturan pemerintah, Pasal 88 ayat (4). Kemudian upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, Pasal 88C ayat (4).

Kemudian formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, Pasal 88D ayat (2).

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di Perusahaan (Pasal 90A). Akibatnya adalah upah tidaklah sekecil informasi yang semula, melainkan di atas inflasi.

Ketiga, memudahkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Faktanya adalah ketentuan PHK melalui beberapa prosedur yang mengharuskan mengupayakan tidak terjadi PHK (Pasal 151 hingga Pasal 156).

Keempat, pesangon dan uang penghargaan masa kerja pekerja/buruh diperkecil dan dirugikan. Faktanya adalah ketentuan pesangon dan uang penghargaan pada omnibus law masih sama persis seratus persen dibandingkan UU 13/2003.

Informasi yang tidak simetris tersebut di atas dijadikan materi penggalangan demonstrasi secara masif untuk menolak omnibus law.

Kemudian di luar urusan materi omnibus law, omnibus law yang telah ditetapkan oleh pemerintah itu dikhawatirkan oleh penyebarluasan informasi yang tidak simetris, akan menimbulkan peningkatan kemiskinan dengan cara mengeksploitasi buruh/pekerja.

Namun fakta yang terjadi merujuk data ex ante menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan persentase kemiskinan mengalami penurunan. Sementara itu, peningkatan kemiskinan periode 2019-2020 terjadi dipicu oleh serangan pandemi Covid-19.

Artinya, rekam jejak pemerintah bukanlah bersifat sebagai pemangsa buruh dan rakyat yang lainnya. rmol news logo article

Peneliti Institute for Development for Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA