Pertanyaan masyarakat, mengapa semula dilepas? Mengapa tidak langsung ditahan saja? Pertanyaan ini mendiskreditkan Polri. Seolah kerja polisi tidak efisien. Memburu tersangka yang semula sudah ada di kantor polisi. Polisi mengeluarkan energi yang mestinya tidak perlu.
Namun, masyarakat harus menyimak detail perjalanan perkara ini. Secara hukum polisi sudah benar. Sebaliknya warganet, tidak banyak yang paham hukum. Hasilnya tidak klop. Polisi menerima dampak negatif.
Padahal, dikutip dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Minggu, 2 Juli 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri sangat tinggi. Survei digelar 20-24 Juni 2023 terhadap 1.220 responden. Teknik wawancara tatap muka oleh pewawancara terlatih.
Hasilnya 76,4 persen masyarakat percaya pada Polri. Ini melonjak jauh dibanding saat perkara Ferdy Sambo tahun lalu yang di bawah 50 persen. Bahkan posisi sekarang masih lebih tinggi dibanding sebelum merosot akibat kasus Sambo, yang 74 persen.
Detail perkara KDRT ini, seperti diberitakan banyak media massa dan media sosial, intinya begini:
Budyanto menganiaya Tiara di rumah mereka di Serpong, Tangsel. Menghebohkan tetangga. Lalu dilerai tetangga. Tapi, Budyanto masih juga menyeret Tiara dengan menjambak rambut.
Warga merekam video, lalu disebar ke internet. Pihak ortu Tiara juga memotret wajah Tiara yang bonyok. Dagu lebam. Disebar ke medsos. Alhasil, viral.
Ayah Tiara, Marjali, 60, lapor ke Polres Tangerang Selatan. Tiara divisum (untuk bukti KDRT). Budyanto disidik, lalu ditetapkan tersangka. Tapi tidak ditahan. Mengapa?
Kepala Unit PPA Polres Tangerang Selatan, Ipda Siswanto kepada wartawan, Jumat (14/7) mengatakan: “Tidak kami tahan, karena penganiayaan ringan.”
Budyanto dikenakan Pasal 44 ayat 4 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Bunyi Pasal 44 Ayat 4 UU PKDRT:
"Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri, atau sebaliknya, yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan, atau mata pencaharian, atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000."
Pasal 44 UU PKDRT terdiri dari empat ayat. Ayat 1 mengatur perincian KDRT. Ayat 2 aksi KDRT yang menyebabkan korban luka berat.
Ayat 3 KDRT yang menyebabkan korban meninggal. Ayat 4 KDRT ringan. Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari terhadap korban.
Siswanto: "Yang bisa ditahan cuma KDRT luka berat atau korban meninggal. Soal luka berat silakan cari di Pasal 90 KUHP.”
Pasal 90 KUHP mengatur deskripsi luka berat. Di situ disebut ada tujuh kriteria luka berat:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan mata pencarian.
3) Kehilangan salah satu pancaindera.
4) Mendapat cacat berat.
5) Menderita sakit lumpuh.
6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Korban Tiara dianggap polisi, luka ringan. Sedangkan, syarat penahanan tersangka kejahatan oleh Polri, sesuai KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) ada dua: Syarat formil dan materiil.
Syarat formil ada tiga: 1) Tersangka dianggap tidak akan mengulangi perbuatan. 2) Tersangka dianggap tidak berpotensi melarikan diri. 3) Tersangka dianggap tidak menghilangkan barang bukti.
Syarat materiil cuma satu, yakni ancaman hukuman penjara maksimal di atas lima tahun.
Syarat formil bersifat subyektif. Tergantung penilaian polisi. Syarat materiil pada tersangka Budyanto, dikenakan Pasal 44 Ayat 4, UU PKDRT. Ancaman hukuman paling lama empat bulan penjara. Jauh di bawah syarat tersangka ditahan, lima tahun penjara ke atas.
Maka, Budyanto tidak ditahan. Sesuai hukum.
Setelah viral, masyarakat protes soal Budyanto tidak ditahan, barulah polisi memburu Budyanto.
Viral, dikuatkan dengan laporan Marjali ke polisi, bahwa Budyanto mengirim pesan suara ke HP Tiara, isinya (tanpa
editing) begini:
"Mohon maaf bukan lancang, bukan sok jagoan. Pasti gua bantai satu keluarga, satu per satu gua bantai."
Dilanjut: "Tapi gua juga punya adat yah, siapa yang rusak duluan berarti itu yang kalah."
Polisi lantas berubah sikap, memburu tersangka. Akhirnya tersangka ditangkap.
Kasi Humas Polres Tangerang Selatan, Ipda Galih Dwi Nuryanto kepada pers, Selasa (18/7) mengatakan, pihaknya memutuskan menangkap Budyanto karena tak kooperatif dalam proses penyelidikan.
Galih: "Tersangka juga melakukan pengancaman terhadap korban dan keluarga korban.”
Hal baru, hasil visum (setelah hampir sepekan) barulah keluar.
Galih: "Dalam keterangan surat visum oleh ahli kedokteran RS tersebut (RS Hermina Serpong) bahwa terhadap luka-luka korban dalam kategori yang menimbulkan penyakit, atau halangan dalam melakukan aktivitas pekerjaan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari.”
Maksudnya, korban Tiara luka berat. Berdasarkan Pasal 90 KUHP tentang kriteria luka berat, dalam poin dua, disebutkan: Korban tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan mata pencarian.
Padahal, sepekan sebelumnya polisi sudah menetapkan korban luka ringan. Maka Budyanto dikenakan Pasal 44 Ayat 4 UU PKDRT, atau KDRT ringan. Dengan adanya perubahan hasil visum itu, berarti Budyanto kini dikenakan Pasal 44 Ayat 2 UU PKDRT, atau KDRT berat.
Kalau KDRT berat, atau ayat 2, maka ancaman hukuman maksimal sepuluh tahun. Sangat jauh berbeda dengan KDRT ringan yang maksimal empat bulan penjara.
Apakah wajah Tiara yang bonyok itu bisa masuk kriteria nomor dua Pasal 90 KUHP? Ini lebih unik lagi.
Kriteria nomor dua, Pasal 90 KUHP: “Korban tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan mata pencarian.”
Wajah bonyok bisa saja ditafsirkan bahwa korban tidak mampu bekerja. Bisa ditafsirkan begitu. Bisa ditafsirkan, korban malu pada khalayak. Karena bonyok.
Namun di pasal tersebut ada kata “terus-menerus”. Bisa ditafsirkan permanen. Atau selamanya. Sedangkan, bonyok Tiara akan hilang paling lama sebulan. Pastinya, ini membingungkan publik.
Betapa pun di kasus ini ada dua kemungkinan.
Pertama, slogan ‘
no viral no justice’ terbukti terjadi. Setelah kasusnya viral, barulah penyidik bertindak sesuai keadilan.
Kedua, publik bersama media massa dan media sosial, melakukan intervensi hukum yang sangat dahsyat. Akibatnya polisi terpengaruh. Sehingga mengubah pasal yang dituduhkan kepada tersangka.
Dua hal itu sama-sama negatif. Atau buruk bagi pembangunan penegakan keadilan di Indonesia. Aparat penegak hukum dan semua masyarakat wajib merenungkan ini, lalu sama-sama menghindari dua hal tersebut di atas.
Itu di luar fakta berikut ini:
Budyanto pada 2021 menyelundupkan ribuan pil ekstasi, dikemas dalam kapsul obat Covid-19. Tapi, barang bukti ternyata berubah jadi puluhan pil ekstasi. Akhirnya, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis hukuman tujuh bulan penjara. Dijalani Budyanto, dan ia sudah bebas penjara.
Fakta terakhir itu, bisa jadi kausalitas dengan kehebohan kasus KDRT Budyanto-Tiara. Tapi bisa juga tidak ada hubungan sama sekali. Tergantung siapa yang menilai.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: