Terlalu riskan, di tengah tahapan pemilu sudah berjalan, serta tekanan publik yang luar biasa, MK membuat keputusan yang melawan arus
common sense mayoritas partai parlemen serta masyarakat luas.
"Ini kesalahan terbesar saya meyakinkan saudara-saudara, para caleg DPR RI Nasdem, bila keputusan sistem pemilu tertutup", tegas Surya Paloh di hadapan 580 caleg DPR RI dari 84 Daerah Pemilihan (Dapil) seluruh Indonesia.
Ternyata, pernyataan Surya Paloh pada pertemuan tertutup di atas tepat sekali. MK ternyata memutuskan
judicial review Undang undang 7/2017 tentang Pemilu, dengan menolak seluruh permohonan pemohon. Sehingga, sistem yang berlaku pada Pemilu 2024, tetap sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Jadi, Putusan Nomor: 114/PUU-XX/2022 setebal 735 halaman ini telah mengakhiri ketidakpastian hukum pemilu. Putusan yang diwarnai
dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi insentif moral bagi para caleg nomor urut sepatu sekalipun untuk berkompetisi dengan
free and fair. Gairah demokrasi internal partai bangkit kembali. Rakyat tetap bisa ikut menentukan caleg yang jadi.
Jujur, tidak kurang dari 7,5 bulan dari 1 November 2022 sampai dengan 15 Juni 2023, perhatian publik tersita oleh urusan uji materi UU Pemilu ini. Selama itu pula, demoralisasi kompetisi terjadi besar-besaran di kalangan para tokoh yang hendak maju beserta para tim dan massa pendukungnya. Mereka memilih untuk menahan diri dan diam, sambil melihat perkembangan perkara di MK. Kecuali para incumbent yang tetap melakukan sosialisasi terhadap masyarakat.
Dampaknya sangat terasa, sosialisasi caleg sangat minim. Media luar dan pertemuan tatap muka tak segairah pada pemilu-pemilu sebelumnya. Semua itu merupakan ekses berbagai kontroversi dan spekulasi dari uji materi UU Pemilu di MK. Apalagi, kontroversi dan spekulasi ini berasal dari sinyalemen Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari perihal peluang perubahan sistem pada sistem proporsional tertutup.
Selain itu, rumor terus berkembang soal peta kekuatan 9 hakim konstitusi dikabarkan cenderung pada sistem pemilu tertutup. Hal ini berdasarkan afiliasi para hakim terhadap kekuatan politik yang ada. Yang paling viral, sinyalemen Wakil Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Denny Indrayana yang menyampaikan bocoran bahwa panel hakim MK skor 6:3 pada sistem proporsional tertutup.
Apalagi, sehari sebelum pembacaan amar putusan MK, ada matriks beredar dari group WA yang satu pada yang lain. Isinya tentang sistem proporsional campuran. Bila yang mencoblos partai lebih besar dari suara caleg, maka caleg terpilih didasarkan pada nomor urut. Kursi berikutnya baru didasarkan suara terbanyak. Matriks ini membuat caleg selain nomor urut satu sudah berancang-ancang mau menarik diri dan mundur dari pencalegan.
Penolakan 8 fraksi DPR RI minus fraksi PDIP, serta dukungan pemerintah terhadap sistem proporsional terbuka, tak cukup ampuh meyakinkan politisi di Tanah Air. Mereka kebanyakan termakan isu miring soal patgulipat MK dengan partai pemenang pemilu untuk meloloskan sistem proporsional tertutup.
Kesimpang-siuran di atas telah menimbulkan
social distrust terhadap institusi negara, sehingga beberapa komponen masyarakat sipil mengancam melakukan people power untuk memakzulkan rezim berkuasa yang notabene kakak ipar dari Ketua MK, Anwar Usman. Putusan MK Kamis, 15 Juni 2023 justru menjawab berbagai kecurigaan dengan keluarnya amar putusan sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Sebab, publik ternyata mayoritas tetap menginginkan sistem proporsional terbuka. Ini tercermin dari hasil survei Skala Survei Indonesia (SSI). Abdul Hakim, Direktur Eksekutif SSI menyampaikan bahwa 63 responden setuju sistem proporsional terbuka. Sedangkan, 4,8 persen responden setuju sistem proporsional tertutup. Sisanya, 32,2 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab atau rahasia.
Kita patut mengapresiasi terhadap MK sebagai
the guardian of the constitution tetap berada di jalan lurus. Jalan ini mengarahkan peta jalan demokrasi dalam menjaga dan memelihara kedaulatan rakyat. Sistem proporsional terbuka lebih membuka peluang partisipasi politik yang jadi indikator dari Indeks Demokrasi yang berskala internasional.
Akhirnya, saya kutipkan pendapat dari Naomi Klein, seorang aktivis sosial asal Kanada, serta penulis produktif yang banyak diterjemahkan ke dalam 28 bahasa, seperti No Logo, Fances and Windows, The Take, The Shock Doctrine dan lain sebagainya. Perempuan Kelahiran 8 Mei 1970 ini menyatakan, bahwa demokrasi bukan hanya soal hak untuk memilih, tetapi juga menyangkut hak untuk hidup bermartabat. Semoga!
*
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
BERITA TERKAIT: