Sampai pukul 02.00 dini hari, Sabtu (22/4), saya masih monitoring persiapan Shalat Idulfitri 1444 H yang akan dilaksanakan pagi hari itu di Masjid At Tabayyun, Taman Villa Meruya. Saya bisa menyaksikan via ponsel layar CCTV masjid di mana belasan remaja relawan Masjid At Tabayyun tengah membersihkan lapangan.
Selanjutnya, menggelar karpet dasar warna biru untuk jadi alas Shalat Ied. Saya bahkan sempat meng-
upload pengumuman mengenai acara Shalat Ied ke WAG warga Taman Villa Meruya dan di WAG anak cucu. Itulah hasil rapat panitia semalam.
Tak lupa mengingatkan warga agar tiba di lokasi Shalat Ied paling telat setengah jam sebelum Shalat Ied yang akan dimulai pukul 7 pagi.
Kepada jemaah yang tinggal berdekatan dengan masjid, saya juga menghimbau agar memilih jalan kaki saja. Diprediksi jemaah akan membludak. Sedangkan sisi kiri kanan jalan di depan masjid tidak mencukupi untuk parkir mobil yang berdatangan dari daerah sekitar.
Rapat pengurus masjid semalam memutuskan Shalat Ied dimulai pukul 07.00 WIB. Dilaksanakan di dua lokasi. Di halaman masjid tempat Shalat Ied untuk jemaah pria, sedangkan untuk jemaah wanita lokasinya di dalam masjid. Lebih nyaman
full AC.
Putusan itu berdasarkan evaluasi keadaan Shalat Jumat sehari sebelumnya. Jemaah
full mengisi lantai bawah dan atas hingga meluber di halaman belakang di area yang bakal dibangun selasar.
Daya tampung masjid di dua lantai 800 orang, plus selasar, menjadi kurang lebih seribu orang. Daya tampung halaman parkir masjid kurang lebih sama. Diperkirakan ada 2000 jemaah yang akan Shalat Ied.
Masjid At Tabayyun di komplek perumahan Taman Villa Meruya, Jakarta Barat, baru diresmikan penggunaannya 9 Oktober 2022 oleh Gubernur DKI (waktu itu) Anies Baswedan. Masjid ini bersejarah.
Itulah masjid pertama dan satu-satunya di komplek perumahan yang mayoritas penduduknya non muslim. Masjid itu sudah didambakan keberadaannya lebih 30 tahun oleh warga muslim.
Penyelenggaraan Shalat Idulfitri 1444 H ini karenanya merupakan pengalaman pertama. Alasan itulah yang membuat panitia memberi perhatian khusus. Shalat Tarawih dan Iktikaf sepuluh Ramadhan terakhir sudah berhasil dilaksanakan.
Sebulan Ramadhan dan Iktikaf itulah tampaknya yang mempengaruhi pola tidur saya. Lebih sering tidur sehabis Shalat Subuh setelah mengikuti rangkaian ibadah shalat malam di masjid. Hingga memicu "kecelakaan" saat Shalat Ied tadi. Kemungkinan karena kecapean, saya terlelap tidur dan terbangun pukul 07.12 WIB.
Ya, Allah! Ampunilah dosa kami atas kelalaian ini.
Saya monitor CCTV lokasi via ponsel. Shalat Ied tengah berlangsung yang diimami Ustaz Ibnu. Setelah berpakaian rapi, saya monitor lagi: khutbah oleh Ustaz Nasrullah pun sudah dekat rampung.
Saya dan istri tetap harus ke masjid meski dengan perasaan setengah galau. Sambil merenungkan dan mengingat-ingat apa kiranya yang menjadi dosa hamba ini. Beruntung masih bertemu dengan Ustaz Nasrullah bersama pengurus masjid yang rehat di ruang sekretariat setelah salat. Menikmati panganan yang disediakan panitia.
"Niat Shalat Ied
insyaallah sudah dicatat. Padahal, kami sempat mengulur waktu salat beberapa saat," kata Marah Sakti Siregar, Ketua Dewan Kemakmuran Masjid, membesarkan hati.
Saya tentu dengan istri mengalami uzur ini. Karena memang hanya tinggal berdua di rumah pas lebaran ini. Malam hari semua pintu akses masuk rumah dikunci. Apalagi pembantu sudah mudik tiga hari lalu.
Ada satpam di rumah tapi persoalannya, itu tadi: akses masuk rumah terkunci rapat. Begitu juga anak-anak yang rumahnya bertetangga. Puluhan
miscall mereka tidak terdengar. Alarm berbunyi tapi tidak ada artinya jika tertidur pulas.
Saya buka kamus KBBI, uzur adalah halangan yang sifatnya tidak disengaja sehingga masih diampuni oleh Allah SWT, asalkan tidak menjadi kebiasaan.
Allah SWT menurut banyak ulama, memberikan keringanan dalam beribadah jika ada uzur. Sederhananya, uzur adalah halangan yang membuat seseorang tidak dapat menjalankan ibadah, namun masih mendapat pengampunan dari Allah.
Sependek ingatan, kejadian ini baru sekali terjadi dalam seumur hidup saya. Tujuh belas tahun lalu, saya memang pernah juga mengalami peristiwa unik soal Ramadhan ini. Namun, kasusnya berbeda.
Saya menjalankan puasa 31 hari yang Nabi Muhammad sendiri pun tidak pernah lakoni. Nabi mengalami sembilan kali menjalani ibadah puasa Ramadhan semasa hidupnya. Delapan kali berpuasa 29 hari, satu Ramadhan lainnya 30 hari. Tapi saya, 31 hari.
Itu bisa terjadi karena saya mengawali puasa pertama di Tanah Suci waktu berumrah di awal Ramadhan tahun 2006 lalu. Waktu itu mendadak Pemerintah Saudi memajukan jadwal puasa satu hari dari kalender sebelumnya.
Sedangkan di Tanah Air saya melaksanakan Shalat Ied menurut putusan pemerintah berdasarkan hasil sidang Isbat setelah memantau hilal. Menjelang Idulfitri 1444 H, topik Idulfitri apakah Jumat atau Sabtu kembali memantik diskusi di tengah masyarakat kalau tak mau mengatakan debat kusir.
Saya membuka lagi
file tulisan lama tentang "
Pengalaman Berpuasa 31 hari".
Sebenarnya debat perbedaan hari Idulfitri tak perlu terjadi. Kita sudah akrab dengan perayaan dua hari Idulfitri di Tanah Air. Setiap tahun. Sejak dulu. Kita tahu dua-dua sama benarnya, terjadi karena metodologi yang berbeda namun sama sahih.
Sekali lagi: sama benarnya, sama kuat dalilnya. Aneh saja, atau malah terasa lebay jika masih ada yang berusaha mendramatisir perbedaan itu. Lepas dari itu, saya tetap saja sedih absen Shalat Ied tahun ini.
Selamat Idulfitri. Mohon maaf lahir dan batin.
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: