Pada 2019, Presiden Joko Widodo pernah secara tegas menolak wacana itu dan menganggap usulan tersebut sebagai tamparan buat dirinya. Namun, ia belakangan tampak lebih ambigu dalam merespons isu ini.
Tak ada lagi penolakan tegas yang darinya, tapi kalimat bersayap seperti “…patuh terhadap konstitusi.â€
Tak ada alasan yang begitu jelas dan kuat kenapa jabatan presiden harus diperpanjang atau periodisasinya harus ditambah. Keinginan perpanjangan atau penambahan periode jabatan presiden terkesan berasal dari orang-orang yang berada di sekitarnya yang belum siap tidak berkuasa atau kemaruk kuasa.
Secara politik dan ekonomi, prestasi Presiden Joko Widodo tidak tergolong luar biasa. Sebaliknya, di tengah mencuatnya wacana pelanggengan kekuasaan, wajah kepemimpinannya centang-perenang dan penuh ironi, khususnya terkait dua isu yang sangat populis.
Presiden Jokowi dikenal sejak awal sangat getol menyuarakan swasembada. Namun, kenyataan yang terjadi selalu jauh panggang dari api.
Bahkan, untuk komoditas di mana Indonesia selama ini dikenal sebagai produsen utama CPO di dunia, pemerintah ketar-ketir dalam menghadapi kuasa mafia dalam mengendalikan ketersediaan dan harga minyak goreng.
Belakangan, ia sendiri meluapkan kekesalannya terhadap pengadaan barang di institusi pemerintah yang masih mengandalkan impor.
Ironi lainnya adalah inkonsistensi terhadap kebijakan subsidi BBM. Setidaknya selama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai pengusung Presiden Jokowi sangat tegas dan tanpa kompromi menolak setiap kebijakan menaikkan harga atau pengurangan subsidi BBM.
Namun, setelah berkuasa, kebijakan Presiden Jokowi jauh lebih liberal dari pemerintah sebelumnya dan PDIP sama sekali tak bergeming terhadap kebijakan tersebut, termasuk rencana pemerintah akan kembali menaikkan harga BBM dalam waktu dekat.
Masalah lain, meski tak sepopulis dua isu sebelumnya, adalah pelemahan terhadap demokrasi. Pembungkaman terhadap suara-suara kritis semakin umum terjadi dengan berbagai cara, termasuk pengerahan
buzzer.
Koalisi partai pendukung pemerintah didesain segemuk mungkin sehingga sangat jarang terdengar suara-suara kritis dari parlemen.
Institusionalisasi DemokrasiSemangat utama Reformasi 1998 adalah perlembagaan atau institusionalisasi demokrasi. Salah satu akar otoritarianisme selama kurang lebih tiga dekade adalah personalisasi kekuasaan.
Karenanya, penguatan kelembagaan demokrasi dipandang sangat penting agar masa depan demokrasi tak lagi bertumpu pada pemegang kuasa secara personal, tapi pada sistem yang kokoh dan impersonal.
Perlembagaan demokrasi juga dipandang sangat penting untuk menutup serapat mungkin kemungkinan kembalinya model kekuasaan otoriter tersebut.
Sejak Reformasi 1998, terdapat sejumlah capaian penting dalam penguatan demokrasi. Di antara yang paling penting adalah pembatasan periodisasi kekuasaan dan penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, jujur, dan adil.
Meski masih terdapat kelemahan di sana-sini, kualitas penyelenggaraan pemilu dari masa ke masa secara umum tampak menuju ke arah kemapanan demokrasi di Indonesia.
Sosok Presiden Joko Widodo pada awalnya dianggap merepresentasikan harapan rakyat akar rumput dan dianggap banyak pihak sejalan dengan kepentingan keberlanjutan demokrasi pasca reformasi, terlebih saingan politiknya dipandang identik dengan Orde Baru. Alasan ini turut menjelaskan kenapa ada banyak aktivis yang bertengger di barisannya.
Setelah hampir tujuh tahun berkuasa, Presiden Joko Widodo semakin menampakkan bahwa dirinya semakin jauh dari semangat reformasi. Di bawah kepemimpinannya, alih-alih melakukan penguatan terhadap institusionalisasi demokrasi, wacana penundaan dan penambahan periodisasi jabatan presiden justru mencuat.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah terendusnya skenario bahwa operasi ini dipimpin oleh orang yang selama ini dikenal paling dekat dan paling sering mendapat kepercayaan penting dari Presiden Joko Widodo.
Masih lemahnya institusionalisasi demokrasi di Indonesia adalah alasan paling utama kenapa jabatan presiden harus tetap dua periode. institusionalisasi demokrasi memerlukan waktu yang panjang. Hal ini bukan hanya soal membangun lembaga, tapi penguatan sistem yang tertanam dalam pikir dan laku.
Dengan kata lain, demokrasi di Indonesia masih butuh waktu untuk menjelma menjadi tradisi atau budaya politik yang kokoh dan meritokratik.
Lemahnya insitusionalisasi demokrasi di Indonesia salah satunya dapat dilihat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana. Petahana memiliki peluang dalam menggunakan fasilitas negara, pengerahan aparatur negara masih sangat besar, dan pengaruh terhadap kelompok pemilik modal.
Jika periodisasi tak dibatasi, setiap kekuasaan akan berpeluang mengulangi model kekuasaan Orde Baru.
Perpanjangan atau penambahan periode jabatan presiden akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
Presiden Joko Widodo masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkannya dengan bersikap secara tegas menolak usulan tersebut. Kejelasan sikap presiden akan menunjukkan bahwa dirinya adalah benar-benar negarawan, bukan kemaruk kuasa.
*Peneliti pada Paramadina Public Policy Institute