KUPANDANG hamparan sawah yang menghijau hingga sayup memandang, di lembah Pegunungan (Bukit) Menoreh itu, tak henti-hentinya. Pemandangan indah itu membenarkan apa yang dikatakan pelukis
post-impresionist kondang dari Belanda, Vincent Willem Van Gogh (1853-1890). Kata Van Gogh, jika kamu benar-benar mencintai alam, kamu akan menemukan keindahan di mana-mana.
Alam menyimpan banyak kejutan untuk siapa pun yang mencintainya. Mereka yang suka mengeksplorasi keanekaragaman alam yang luar biasa, tak hanya akan melihat keindahannya saja, tetapi juga akan belajar banyak dari apa yang dilihat.
Maka kata Louis Wolfe Gilbert (1886-1970) penulis lagu Amerika kelahiran Odessa, Ukraina, yang kemudian dulu menjadi wilayah Kekaisaran Rusia, mereka yang menemukan keindahan di seluruh alam akan menemukan diri mereka menyatu dengan rahasia kehidupan itu sendiri.
Di lembah Pegunungan Menoreh, sore itu, kutemukan keindahan tangan Tuhan.
Sambil menikmati kopi menoreh di Gubuk Makan Iwak Kalen Banyu Bening, Kenteng, Nanggulan, Kulon Progo, kupandangi Pegunungan Menoreh yang hijau royo-royo.
Pikiran ngelantur ke mana-mana: ingat cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang saya baca ketika masih sekolah dasar dan saya ulangi lagi beberapa tahun lalu; ingat Gua Kiskendo, Gua Seplawan atau Puncak Suroloyo; ingat Gua Maria Sendangsono dan juga Gua Maria Lawang Sih; ingat juga murid-murid saya tahun 1980-an, di SMA Sanjaya, Nanggulan.
Menoreh, banyak ceritamu. Kawasan pegunungan yang membentang di wilayah barat Kabupaten Kulon Progo di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebelah timur Kabupaten Purworejo, dan sebagian Kabupaten Magelang di Propinsi Jawa Tengah.
Pegunungan ini menjadi batas alamiah bagi ketiga kabupaten tersebut. Puncak tertinggi di Pegunungan Menoreh berada di Gunung Ayamayam yang memiliki ketinggian lebih dari 1.021 meter di atas permukaan air laut. Pegunungan Menoreh dulu menjadi basis pertahanan Pangeran Diponegoro pada saat pecah Perang Jawa (1825-1830).
IIHamparan sawah menghijau, yang tengah berbunga, mengingatkan obrolan saya dengan Sukardi Rinakit yang akrab saya panggil Cak Kardi, beberapa waktu lalu. Cak Kardi, pernah cerita soal sawah; bukan sawah di kampung halamannya.
Sawah menjadi saksi bagaimana petani bekerja dengan keras untuk hasil yang luar biasa. Sawah merupakan sumber daya utama bagi pemantapan ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi, sekarang ini sudah demikian banyak lahan sawah yang diubah menjadi kompleks perumahan atau bangunan lainnya.
Cak Kardi mengibaratkan rumah-rumah kebangsaan yang menjadi tempat persemaian para kader bangsa, sebagai sawah. Di sawah itulah benih-benih kader bangsa disemai. Ada tiga sawah tempat kader-kader bangsa disemai, yakni partai politik, masyarakat sipil, dan kelompok-kelompok agama.
Kata Cak Kardi (2013) persemaian para pemimpin di sawah atau rumah politik ini sangat lambat. Itu terjadi karena kerasnya praktik paternalistik dan oligarki partai. Selain itu juga karena semakin menguatnya kapitalisme demokrasi yang membuat proses dan kontestasi politik menjadi mahal. Politik uang yang antara lain menjadi penyebab bahwa demokrasi di negeri ini berbiaya tinggi.
Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktik
money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa
money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi.
Dalam kondisi seperti itu tumbuh praktik klientelisme politik. Kata Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2020), klientelisme politik terjadi ketika para pemilih, para penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material.
Para politisi menggunakan metode itu untuk memenangkan pemilihan dengan membagi-bagikan bantuan, barang-barang, atau uang tunai, atau juga mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan para calon pemilih atau kelompok-kelompok. Esensi dari politik klientelisme adalah
quid pro quo, sesuatu untuk sesuatu.
Sawah kedua pun yakni masyarakat sipil, kata Cak Kardi, tidak lagi menjadi tempat pesemaian kepemimpinan. Sebab, para aktivis dan pemikir yang sebelumnya bagaikan padi yang tumbuh subur di sawah ini, telah pindah ke “lahan†lain yakni lebih suka masuk politik praktis, yang lebih menguntungkan.
Akhirnya mereka gagal menjadi energi penggerak, energi transformatif. Di sawah yang mereka tinggalkan tumbuh ilalang, pemimpin karbitan, pemimpin berdasarkan kepentingan.
Kata Cak Kardi, di sawah ketiga pun—kelompok-kelompok agama— tak lagi menyemai pemikir dan penggerak perubahan yang bebas dari kerangkeng sempit tafsir teologis untuk berpijak pada kekuatan struktur basis, rakyat.
Yang muncul justru penggerak-penggerak yang berpikiran sempit dan menggoyahkan bangunan kenegaraan yang plural karena terpenjara fanatisme buta, bukan kelapangan hati dan pikiran.
Semestinya, semakin beriman semakin toleran, semakin terbukan hati dan pikirannya pada orang lain, pada perbedaan yang ada di negeri ini.
III
Jadi Cak, dari mana pemimpin rakyat lahir kalau tidak dari sawah-sawah itu? Memang, ibarat pepatah, sawah berpematang (berpiring) ladang berbintalak, segala sesuatu ada batasnya. Begitulah yang terjadi. Apalagi kalau sawah tak dirawat, dicukupi kebutuhan airnya, tidak dibajak, tidak dipupuk.
Karena itu, siapapun pemimpin rakyat yang lahir pada zaman sekarang ini—bukan dari sawah-sawah itu—tetapi lahir dari kehalusan akal budi, kerendahan dan ketulusan hati, serta keteguhan hati yang bersangkutan.
Pemimpin rakyat seperti itulah yang berani mengambil keputusan berat dan tidak populer secara mandiri. Dan, berani mempertanggung-jawabkan semua keputusan yang tidak populer itu kepada rakyatnya, sekalipun dibombardir berbagai fitnah dan ujaran kebencian. Karena ia tidak dibelenggu kepentingan-kepentingan lain.
Dan, ketika sekali lagi kupandangi hamparan tanaman padi yang hijau di lembah Pegunungan Menoreh, tak kutemukan kegersangan.
Sebab, tujuan akhir dari bertani bukanlah menumbuhkan tanaman, tetapi menjaga kehidupan. Itu jelas tidak seperti sawah-sawah kebangsaan yang kini ditumbuhi ilalang dan semak berduri, yang hanya memburu kekuasaan. Karena kekuasaan itu memesona.
BERITA TERKAIT: