HARI Rabu, tanggal 24 Februari 2021.
“Kita ketemuan kok untuk divaksin,†kata Widi Krastawan disambut derai tawa sekitar sepuluh orang yang berkumpul di ruang tunggu setelah divaksin. Setelah divaksin, kami diminta untuk menunggu selama 30 menit, untuk mengetahui ada reaksi tidak.
“Kan, lebih baik ketemu saat divaksin, ketimbang ketemuan saat melayat,†sambung Bre Redana, wartawan Kompas, novelis, dan pemuja Gabriel Garcia Marquez (1927-2014), seorang novelis asal Kolumbia dan penerima Hadiah Nobel Sastra 1982 yang salah satu adikaryanya adalah Cien años de soledad (One Hundred Years of Solitude).
Karuan saja, celetukan Bre Redana meledakkan tawa para wartawan senior —untuk tidak menyebut tua— yang hari itu divaksin. Hari itu, Rabu, sejumlah wartawan senior Kompas —selain Bre Redana dan Widi Krastawan, ada lagi Efix Mulyadi, Witdarmono, Budiarto Shambazy, James Luhulima, Poppy Fritisia, Pieter Gero, Chris Pujiastuti, Nugroho, dan Retno Bintarti —reuni kecil mendadak. Kami juga ketemu dengan para wartawan dari media lain: Tempo, SWA, Metro TV, Sinar Harapan (dulu), dan Femina.
Reuni kecil dadakan terwujud, karena kami diikutkan oleh Kompas untuk menerima vaksin Covid-19 yang difasilitasi Forum Pemred kerja sama dengan Kementerian Kesehatan. Vaksinasi dilaksanakan di kompleks Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kesehatan, Kebayoran Baru.
Memang, selama ini, kami nyaris hanya ketemuan —meskipun selalu kontak lewat WA— saat sama-sama melayat seorang sahabat yang dipanggil Tuhan atau menghadiri resepsi perkawinan anak teman sekantor dulu.
Tetapi, gegara pandemi Covid-19 ini, pertemuan semacam itupun sangat sulit dilakukan demi kesehatan bersama. Ketika kemarin reuni kecil, kami tetap mematuhi protokol kesehatan, tertawa ngakak dengan sopan, karena mulut ditutup masker.
Duduknya pun berjarak. Ketika ketemu pun tidak ada jabatan tangan apalagi cipika-cipiki, hanya ber-hei-hei…lalu disusul derai tawa.
IIRasa persaudaraan,
ukhuwah. Itulah yang saya, kami rasakan saat pertemuan kemarin dulu. Kebersatuan kami selama bertahun-tahun di harian Kompas, telah menumbuhkan rasa persaudaraan,
Ukhuwah yang sangat dalam. Inilah bagian dari
Ukhuwah Insaniyah/Basyariyah yakni persaudaraan pada semua manusia secara universal tanpa membedakan ras, agama, suku, dan aspek-aspek kekhususan lainnya.
Persaudaraan semacam itu diikat oleh jiwa kemanusiaan. Artinya, sebagai manusia kita harus dapat memposisikan atau memandang orang lain dengan penuh rasa kasih sayang, selalu melihat kebaikannya bukan kejelekannya.
Dalam rumusan filsuf Driyarkara, disebut
homo homini socius, manusia adalah teman bagi sesamanya. Ini adalah kodrat manusia. Maka itu, ada yang menyebut
homo homini deus est, manusia adalah dewa bagi manusia lain.
Karena manusia adalah dewa bagi manusia lain, maka persaudaraan mengandaikan cinta, hormat, dan melakukan yang terbaik bagi orang-orang lain di sekitar kita. Inilah persaudaraan sejati.
Tetapi, persaudaraan sejati hanya terjadi di antara orang-orang yang tulus. Persaudaraan sejati tidak akan muncul di antara orang-orang yang pura-pura tulus; di antara orang-orang munafik.
Persaudaraan sejati adalah kebutuhan utama umat manusia dalam relasinya satu sama lain. Persaudaraan sejati itu akan menjadi kekuatan yang luar biasa dahsyatnya dan akan mengubah wajah dunia manakala manusia hidup di dalamnya.
Kasih dapat menjadi dasar dan landasan bagi kita dalam upaya untuk dapat mewujudkan persaudaraan sejati. Negeri ini, Indonesia, lahir juga sebagai buah dari persaudaraan sejati para Bapak Bangsa.
Banyak contoh besar tentang hal itu. Kisah lama pertemuan dan kemudian menjadi pertemanan antara Santo Fransiskus Asisi dengan Sultan Malik al-Kamil, dari wangsa Ayyūbiyah yang berkuasa atas Mesir, Palestina, dan Suriah, memberikan gambaran jelas tentang persaudaraan sejati itu.
Fransiskus Assisi berani ‘keluar dari batas’: Ia berani menjumpai Sultan Malik Al Kamil di kota Damietta, Mesir pada masa perang salib (1219) dengan membawa misi damai dan kasih, bukan perang. Mereka, kedua tokoh itu, sama-sama memiliki damai otentik dalam dirinya. Semangat damai. Semangat persaudaraan.
IIIInilah —persaudaraan,
Ukhuwah— yang belakangan ini, di negeri kita, terasa mulai menipis (semoga saja tidak hilang; sebab kalau benar-benar hilang, negeri ini bukan lagi Indonesia). Orang lebih suka, lebih cenderung memperlihatkan perseteruan, permusuhan, ketidak-senangan, kebencian, keirian ketimbang persahabatan, persaudaraan, kecintaan, dan saling mendukung.
Ada kecenderungan, sementara pihak lebih senang hiruk-pikuk, ingar-bingar, ketimbang hidup aman dan damai, saling menghormati. Ada yang lebih senang mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, tetapi sebaliknya mengunci rapat-rapat mulutnya terhadap hal-hal yang sebenarnya masalah yang harus dipersoalkan.
Anehnya atau malah mungkin “gilanya†sikap-sikap semacam itu tidak monopoli rakyat kecil, rakyat jelata, wong cilik tetapi justru orang-orang besar atau orang-orang yang merasa besar, elite politik, elite masyarakat, bahkan elite agama. Atau justru, rakyat kecil hanya mencontoh para elite: masyarakat, politik, dan agama.
Padahal ada masalah bangsa yang lebih mendesak untuk ditangani secara bersama: pandemi Covid-19! Bukankah pandemi Covid-19 ini telah memporak-porandakan segalanya, tidak hanya kehidupan rakyat Indonesia yang mengalami, tetapi juga rakyat negara-negara lain.
Benar yang ditulis seorang sahabat. Ketika mengomentari postingan foto saya yang tengah divaksin, sahabat itu menulis: “Kita satu perahuâ€.
Orang-orang yang sudah menerima vaksinasi, diumpamakan sebagai berada dalam satu perahu bersama dengan orang lain yang sama-sama mengupayakan kesehatan bersama; untuk membangun
herd immunity, kekebalan komunitas.
Bila
herd immunity sudah terbentuk, maka akan menghentikan atau sekurang-kurangnya mengerem penyebaran penularan Covid-19. Maka itu, program vaksinasi terus digencarkan. Meskipun, masih tetap saja ada yang meragukan manfaat vaksinasi, bahkan menentangnya dengan berbagai alasan.
Dalam situasi seperti sekarang ini, berada dalam “satu perahu†adalah sangat penting. Berada dalam “satu perahu†demi saya dan demi kita. Demi kita untuk mengupayakan kesehatan dan keselamatan bersama sebagai satu saudara—saudara setanah air, setumpah darah, sebangsa—bukan sebagai individu.
Inilah bentuk solider sebagai saudara. Inilah Ukhuwah Wathoniyah yakni bentuk persaudaraan yang diikat oleh jiwa nasionalisme tanpa membedakan agama, suku, warna kulit, adat istiadat dan budaya dan aspek-aspek yang lainnya.
Pada saat ini,
Ukhuwah Wathoniyah sangatlah penting. Sebab, pandemi korona membuka topeng egoisme, dan menyingkap kenyataan bahwa kita telah mengabaikan harta bersama yang paling berharga, yaitu menjadi saudara satu sama lain (Paus Fransiskus, Fratelli Tutti). Maka dengan berada dalam “satu perahu†menerima vaksin maka persaudaraan itu menjadi hidup, menjadi nyata.
Maka, reuni kecil dengan para sahabat lama, benar-benar telah menjadi sarana untuk memperkuat, memperteguh persaudaraan, saling memperkuat dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, yang entah kapan berakhir. Ada kecemasan di antara kami.
Tetapi, kami masih bisa tertawa bersama ketika tahu bahwa ada kawan yang uring-uringan ketika hasil pengukuran tekanan darah dengan piranti digital, sangat tinggi.
“Gila, masak tekanan darah saya, 210. Nggak pernah setinggi ini, selama ini. Gara-gara alat digital, jadi tinggi,†katanya bersungut-sungut.
Mendengar omelan itu, dengan ringan Bre Redana mengatakan, “Ah, kita ini bukan mahkluk digital. Instrumen digital tidak sanggup membaca gejala tubuh kita, para gaek ini yang ketika masih aktif dulu sebagai wartawan, menggunakan mesin ketik.†Semua terbahak mendengar komentar itu…
BERITA TERKAIT: