Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Covid-19, Unilateralisme, Dan Multilateralisme

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/trias-kuncahyono-5'>TRIAS KUNCAHYONO</a>
OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
  • Rabu, 22 April 2020, 15:47 WIB
Covid-19, Unilateralisme, Dan Multilateralisme
Ilustrasi Coovid-19/Net
PERTANYAAN besar yang sampai saat ini belum ada jawabannya adalah  kapan krisis karena pandemik Covid-19 akan berakhir? Apa yang akan terjadi setelah semuanya berakhir?

Apakah benar akan muncul arsitektur baru dalam hubungan internasional, baik itu dalam hal aliansi politik, kemitraan perdagangan, dan sistem ekonomi global secara keseluruhan? Atau, apakah semuanya akan sama seperti sebelum pandemik Covid-19 menguasai dunia ini?

Pandemik Covid-19 seperti blitzkrieg, serangan dadakan yang dilakukan Jerman atas Polandia, pada 1 September 1939. Tanpa ba-bi-bu, 1,5 juta tentara Jerman Nazi menggempur Polandia. Mereka menggeruduk dari utara, selatan, dan barat. Tidak hanya lewat darat, tetapi laut dan udara.

Tank-tank Jerman bergemuruh masuk ke Polandia, menerjang semua penghalang.  Bom berjatuhan, menghancurkan lapangan udara, kereta-kereta api penuh penumpang, dan senapan-senapan mesin membunuh warga sipil tanpa pandang bulu. Bom membakar dan menghanguskan kota-kota Katowice, Krakow, dan ibu kota Warsawa. Di laut, Angkatan Laut (AL) Jerman melumpuhkan AL Polandia.

Karena serangan itu, Inggris Raya dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman. Dan, Perang Dunia (PD) II pun dimulai. Perang telah mengakibatkan krisis global, karena negara-negara di dunia terlibat dalam perang. Di belahan Bumi lain, kawasan Pasifik, perang dimulai setelah Jepang mengebom Pearl Harbor di Hawaii, AS, 7 Desember 1941. Setelah itu, perang besar terjadi di mana-mana.

Enam tahun kemudian, PD II berakhir, dengan korban jiwa antara 45–60 juta. Perang di Eropa berakhir setelah Jerman menyerah tanpa syarat, 8 Mei 1945. Di kawasan Timur, perang berakhir setelah AS menjatuhkan bom atas Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus 1945. Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang mengakui kekalahannya. Apakah pandemik Covid-19, akan berakhir seperti itu?

Krisis Terburuk

Pandemik Covid-19 yang menyerang seluruh dunia sekarang ini , bisa dikatakan merupakan krisis terburuk sejak akhir PD II. Kasus pertama Covid-19 diketahui di Wuhan China. Menurut koran South China Morning Post, virus ini pertama menyerang seorang lelaki berusia 55 tahun di Provinsi Hubei, pada tanggal 17 November 2019.

Kini, menurut Johns Hopkins University (17/4), pandemik Covid-19 sudah melanda 185 negara, 2,1 juta orang positif terserang, dan 146. 040 orang mati, 550.343 orang sembuh.

Akibat lanjutannya akan begitu banyak: menimbulkan instabilitas di banyak negara, krisis ekonomi, krisis politik, dan bisa jadi menimbulkan konflik. PBB menyebutnya, apa yang terjadi sekarang ini bukan hanya krisis kesehatan, melainkan krisis kemanusiaan.

Karena penyebaran Covid-19 begitu cepat, maka pemerintah di banyak negara mengambil kebijakan yang tidak biasa. Karena memang situasinya tidak biasa, belum pernah terjadi sebelumnya, maka aturan-aturan yang normal, yang biasa tidak lagi diterapkan, tidak lagi diberlakukan.

Sekarang ini zaman tidak normal. Aturan dan ketentuan yang biasa tidak akan mampu untuk menghambat penyebaran virus korona. Keputusan banyak negara memberlakukan lockdown, social distancing, personal distancing, karantina mandiri, pembatasan sosial bersekala luas, dan sebagainya adalah langkah untuk memutus rantai penularan Covid-19.

Akibat dari kebijakan-kebijakan tersebut sangat jelas. Orang terpaksa harus kerja di rumah, banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena itu kehilangan penghasilan, usaha-usaha pun banyak yang tutup. Karena, tidak berlebihan kalau IMF menyatakan dunia akan memasuki masa krisis yang lebih buruk dibanding krisis 2009.

Bila hal itu terjadi, maka, krisis kemanusiaan itu akan semakin menjadi. Apalagi, kalau rantai penularan Covid-19 tidak bisa segera diputus karena banyak orang tidak mau berdisiplin menaati aturan dan ketentuan yang digariskan pemerintah, maka krisis kemanusiaan itu akan semakin parah.

Musuh Bersama

Pandemik Covid-19 benar-benar mengubah cara hidup kita, manusia. Banyak negara menempuh kebijakan menutup negerinya, lockdown; selain itu pandemik Covid-19 juga telah mengakibatkan tutupnya demikian banyak usaha bisnis di seluruh dunia. Akibatnya, demikian banyak pekerja kehilangan pekerjaannya; menganggur.

Ketika serangan Covid-19 sedang mulai dirasakan sejumlah negara, awal tahun ini, masih hidup keyakinan bahwa langkah yang terbaik adalah “mengurusi diri kami sendiri” (go national). Ada pula yang semakin menegakkan kebijakan “unilateralisme,” tidak mau berurusan dengan negara lain. Maka banyak negara segera mengambil langkah sepihak: lockdown, menutup semua perbatasannya agar orang luar tidak masuk. Egoisme masing-masing negara menonjol.

Salah satu akibatnya, misalnya Italia, hingga 17 April di negara itu tercatat ada 168.941 kasus dan 22.170 orang meninggal, adalah negara di Eropa yang paling parah terkena pandemi Covid-19. Negeri ini merasa kesendirian, merasa ditinggalkan, diacuhkan oleh sesama negara anggota Uni Eroa, karena masing-masing negara mencari selamat sendiri (meskipun belakangan Uni Eropa meminta maaf).

“Yang paling penting kami, kamu uruslah dirimu sendiri,” atau “Yang penting saya.” Kira-kira semacam itu sikap-sikap atau kebijakan setiap negara pada mulanya.

Akan tetapi, semakin lama semakin disadari oleh para pemimpin negara, para pemimpin dunia bahwa tak satu pun negara akan mampu keluar dari krisis tersebut secara sendiri. Pandemik Covid-19 sudah menyebar ke seluruh dunia; membahayakan banyak kehidupan manusia, dan mengguncang fondasi cara hidup manusia.

Sampai pada titik ini, muncul kesadaran baru atau menyadarkan bahwa sikap unilateralisme sangatlah tidak benar dan harus ditinggalkan kembali ke multilateralisme, kebersamaan. Covid-19 adalah musuh bersama, yang harus pula dihadapi secara bersama-sama.

Memang, dalam beberapa tahun terakhir, gerakan populis, gerakan nasionalis dan unilateral boleh dikatakan mengancam multilateralisme. Sikap yang jumawa Presiden AS Donald Trump yang pada tanggal  1 Juni 2017 mengumumkan penarikan diri dari kesepakatan Paris menyangkut iklim, menjadi salah satu contoh, tindakan unilateral yang mementingkan diri sendiri.

Keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) contoh lain; atau juga kebijakan masing-masing negara Eropa dalam menangani masalah imigran, pengungsi, bisa menjadi contoh yang lain lagi.

Akan tetapi, kini, pandemik Covid-19 telah menegaskan bahwa “kita adalah satu dan saling terhubung.” Dunia itu satu.  Usaha untuk mempertegas perbatasan antar negara, misalnya, untuk menjadi pemisah, nyaris tidak ada gunanya.

Virus corona, tidak peduli dengan perbatasan-perbatasan. Pembedaan orang berdasarkan nasionalitas, etnisitas, suku, gender, atau bahkan agama juga sama sekali tidak ada gunanya bagi virus korona. Semua diterjang, ditembus. Hal semacam itu juga berlaku di negeri ini, Indonesia: virus korona tidak membeda-mbedakan apa pun, semuanya sama saja, menjadi targetnya.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan sekarang ini adalah solusi terkoordinasi, perlu ada kerja sama multilateral, organisasi multilateral untuk mengatasi semua itu. Itu di tingkat dunia.

Di negeri kita, tentu terkoordinasi dari pusat hingga daerah; tidak bisa daerah main sendiri-sendiri, sesuai keinginannya masing-masing, sekadar untuk mencari popularitas di atas bencana. Ada yang mengatakan, bila mau bekerja sendiri menyelesaikan krisis ini bagaikan “berusaha menguras  laut dengan sendok,” yang ada hanya capai, lelah tetapi tanpa hasil.

Pendek kata, kerja bersama, baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional adalah pilihan yang paling tepat untuk mengatasi krisis Covid-19 ini. Oleh karena pandemik Covid-19 adalah musuh bersama, karena itu harus pula diatasi secara bersama pula. rmol news logo article

Penulis adalah Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA