Kumpulan artikel di
HBR.org, merumuskan hal tersebut. Para pakar bisnis dari Harvard, memberikan gambaran bahwa kemampuan untuk melewati masa sulit, membutuhkan dukungan kepemimpinan.
Corak paling mencolok dari pandemik, adalah kegelapan pengetahuan kita akan jenis wabah ini. Dalam kerangka disrupsi, sebagai sebuah gangguan kejutan layaknya pandemik, adalah keberadaan ketidakpastian -
uncertainty.
Dalam badai ketidakpastian, maka kecemasan dan ketakutan adalah konsekuensi logis yang umumnya tercipta. Kepemimpinan dengan seluruh karakteristik yang dimilikinya, harus mampu menghadirkan narasi kuat akan harapan dan tantangan bersama.
Imajinasi adalah hal esensial yang diperlukan, untuk dapat merumuskan bagaimana seharusnya solusi tercipta pada situasi kali ini, sembari menjangkau harapan di masa depan. Tidak mudah, bukan tidak mungkin. Kompleksitas pengetahuan dibutuhkan.
Keterbatasan Waktu
Hal yang tidak ada di periode pandemik, adalah keleluasaan waktu dalam mengambil keputusan. Memastikan keputusan cepat dan tepat, sesuai dengan akurasi masalah adalah persoalan penting.
Dengan begitu, data dan informasi menjadi elemen penting, berpadu menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan secara multidisiplin. Tidak ada langkah tunggal yang bisa efektif menjawab persoalan.
Di samping itu, upaya mengejar hal-hal ideal mendekati kesempurnaan -
perfectionism, justru akan menjadi faktor pemberat dalam memutuskan kebijakan -
decision making, menyebabkan kelambanan.
Akurasi tidak dikerjakan dalam sekejap mata, melainkan dilakukan melalui penajaman secara berkelanjutan. Situasi pandemik bergerak secara dinamis, sehingga tidak ada keputusan yang statis.
Ilustrasi akan solusi monolitik dalam kesempurnaan -
one suit for all, adalah hal yang nyaris mustahil. Dalam kedaruratan pandemik, kecepatan -
speed dan kesederhanaan -
simplicity dibutuhkan. Dirumuskan sebagai percepatan -
acceleration.
Komunikasi Budaya Rendah
Dalam pendekatan komunikasi, maka situasi wabah mengharuskan model persuasi secara langsung dan terbuka, atau dikenal sebagai
low context culture. Jenis komunikasi ini, tercirikan melalui bahasa yang ringkas, dan bersifat eksplisit pada pokok persoalan.
Asumsi pada pilihan komunikasi budaya rendah adalah lingkup kebutuhan komunikasi yang cepat dan disegerakan, selaras dengan kedaruratan. Tidak ada waktu berlama-lama untuk mencerna makna pesan.
Penggunaan simbol dan
gesture, dibutuhkan sebagai pelengkap non verbal yang bersifat menguatkan. Perlu diingat prinsip kesederhanaan, menghindari bias persepsi dan pemahaman.
Bila semakin banyak simbol komunikasi yang dipergunakan, tujuan penyerapan pesan menjadi terjeda, sangat mungkin mengalami gangguan penyampaian. Fokus kita adalah nyawa manusia.
Komunikasi budaya rendah dalam kondisi pandemik, harus direproduksi melalui berbagai medium, yang akan sampai ke seluruh khalayak. Perantaraan teknologi dibutuhkan, untuk memperluas keterpaparan publik, mengantisipasi negatif
feedback.
Jangkauan KekuasaanPendekatan kekuasaan yang dilengkapi dengan piranti keabsahan serta legalitas, termasuk aparatus represi dan ideologis untuk melakukan tindakan yang dipersetujui bersama, harus secara cepat serta sesegera mungkin diaktualisasikan.
Para pemangku kekuasaan, dan mereka yang diberikan kewenangan tidak bisa bersikap pasif, semestinya menjadi responsif dan antisipatif, tidak lagi hanya sekadar melakukan uji coba dengan melakukan
test the water, lalu mengamati riak gelombang.
Kepemimpinan imajinatif, mengandalkan kekuatan pengetahuan dalam situasi kedaruratan, karena publik membutuhkan kesegeraan tindakan guna memecahkan masalah, agar keluar dari situasi ketidakpastian pandemik.
Pandemik adalah ujian bersama, terutama bagi kepemimpinan yang harus tampil untuk dapat dipercaya, dan mampu membangun kepercayaan.
Kita berharap, mereka yang menjadi pemimpin akan mampu membawa biduk kenegaraan ini, mengatasi terpaan badai, hingga sampai ke pulau harapan. Menikmati indahnya warna-warni pelangi sesudah hujan badai. Semoga.
Penulis sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
BERITA TERKAIT: