Padahal, guru kebenaran yang sangat kharismatik itu, tidak pernah sekalipun membuat orang lain menderita. Namun, sekarang menderita.
Guru yang juga tukang kayu itu tidak pernah melakukan kekerasan; juga tidak pernah menganjurkan para muridnya untuk melakukan kekerasan. Ia orang bijak. Bukan penghasut.
Ia juga bukanlah seorang propagandis. Bukan! Ia tidak mengumbar kata-kata tak berisi, yang hanya manis di telinga. Ia memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.
Guru itu sangat yakin, yang mengangkat pedang akan mati karena pedang pula. Karena itu, ia menasihati murid-muridnya jangan melawan kejahatan dengan kejahatan!
Cintailah musuh-musuhmu seperti kamu mencintai dirimu sendiri,†kata Guru suatu ketika. “
Si vis amari, ama.., Jika engkau ingin dicintai, maka cintailah…†begitu kata Guru berkali-kali.
Tetapi, ketika Ia menderita, Ia kesendirian. Orang-orang yang dicintainya, malah meninggalkannya. Namun, bagi Guru, kesendirian bukan berarti tak ada cinta. Dalam kesendirian justru cinta menyempurnakannya.
Kata Guru, "Aku mencintai, karena itulah aku ada.†Hanya cintalah yang dapat membawa setiap individu menuju kesempurnaan hidup sebagai individu. Cinta memungkinkan manusia semakin bersatu dengan yang lain tanpa kehilangan keunikan masing-masing. Karena itu, “Marilah kita juga memberi cinta," katanya.
Cinta hanya sepotong kata; ibarat air yang bisa menguap karena kepanasan; ibarat mega-mega putih di langit biru yang bisa hancur berantakan berubah bentuk disapu angin; ibarat mendung hitam yang berubah menjadi hujan dan turun ke Bumi yang lalu menelannya atau masuk ke sungai mengalir ke laut.
Tetapi, sepotong kata itu, cinta, oleh Guru diberi makna. Dan, diwujudkan sehabis-habisnya, bahkan hidupnya pun direlakan demi cinta.
Dan karena itu, Guru menawarkan jalan cinta. Ia adalah inisiator cinta. Guru lebih dulu mencintai para muridnya, dan siapa pun yang mendambakan kehidupan damai, yang menjunjung nilai-nilai persaudaraan, yang peduli kepada sesama, yang tidak menutup mata dan hati bagi sesama meskipun berbeda dalam segala hal.
Memang, meskipun mengajarkan kelemah-lembutan dan rasa hormat, namun kadang-kadang kata-katanya keras dan bahkan provokatif, terutama terhadap para pemegang kuasa yang menyeleweng, yang mementingkan diri sendiri, mementingkan keluarga, kelompoknya, dan juga yang korup materi dan menyalahgunakan kekuasaan.
Guru juga mengecam para pemuka agama yang munafik, yang menganggap diri paling suci, yang sok saleh, dan gampang menuding orang lain sebagai orang berdosa, dan kafir. Para pemimpin agama yang memamerkan ibadahnya tetapi tidak mampu mencintai orang lain, melainkan membenci sesama yang tidak segolongan, disebut sebagai pembohong besar.
Kelompok elite-religius dan politik pun tak luput dari kritikan Guru dari desa ini. Mereka dikritik karena mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, korup, sementara rakyat hidup dalam kemiskinan
Karena itu, para pemimpin politik, para pemuka agama, dan tetua masyarakat bersekongkol untuk menangkap dan menyingkirkan Guru yang penuh belas kasih dan pengampun itu. Mereka merasa kewibawaan dan otoritasnya tergerus oleh tindakan dan omongan Guru. Maka, lahirlah konspirasi antara penguasa, pemimpin agama, dan para tokoh politik.
Inilah konspirasi politik dan agama, yang berujung pada ketidakadilan dan penolakan terhadap kebenaran. Ajaran agama yang semestinya bersifat monastik dan sakral berkembang menjadi entitas profan dengan menempatkan para agamawan sebagai penjaga kekuasaan dari penguasa dengan mengikat pemahaman moral masyarakat secara dogmatik.
Guru paham semua itu. Karena itu, meskipun tidak berpolitik praktis, tetapi sikap politiknya sangat jelas: memperjuangkan bonum commune kesejahteraan bersama.
Hal itu diwujudkan dengan berjuang membela dan menegakkan keadilan dan kebenaran, sesuai hukum yang berlaku. Kebenaran tidak pernah mati atau pudar, meskipun kerap kali dikorbankan. Sebab, veritas filia temporis, non auctoritatis, kebenaran adalah anak zaman, bukannya anak mereka yang berkuasa.
Sikap politik semacam itu jelas menegaskan bahwa berpolitik itu melayani. Melayani orang lain demi terwujudnya kesejahteraan.
Berpolitik itu artinya membuat orang menjadi sejahtera, menikmati keadilan, merasa diuwongke, merasa diperhatikan, merasa dipedulikan, dan tidak merasa dimarjinalkan.
Semua itu diwujudkan bukan dengan cara-cara kekerasan, melainkan dengan semangat cinta-kasih. Sebab, setiap orang (tidak peduli siapa) diciptakan oleh tangan mahacinta yang sama.
Bahkan, ketika tubuhnya pada akhirnya tergantung antara langit dan bumi, di salib, sikap politik cinta-kasih dan pengampunnya masih diperlihatkan. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,†doa Guru memohonkan pengampunan bagi semua orang yang mengkhianati, menyiksa, menghina, merendahkan martabatnya, dan memutuskan untuk disalib.
Di salib, hidup Guru berakhir. Tetapi, bagi Guru, kematiannya bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan: kemenangan cinta. Karena Guru mencintai, tidak hanya sampai terluka, bahkan sampai mati. Cinta telah mengalahkan kematian.
Dari puncak Bukit Golgotha, Guru mewariskan cinta–kasih, sebagai sumber utama kekuatan yang menggerakkan hati dan pikiran manusia.
Dan kini, semua muridnya dan siapa pun yang memiliki kehendak baik diuji, apakah dalam hati dan pikirannya masih ada cinta-kasih ketika menyaksikan dunia, negara, masyarakat di sekitarnya diporak-porandakan pandemi Covid-19?
Apakah mereka hanya akan berdiri di pinggir jalan, seperti melihat guru berjalan terseok-seok memanggul salib menuju puncak Golgotha, atau menyingsingkan lengan baju membantu mereka yang sangat membutuhkan bantuan?
Dari puncak Golgotha, kasih itu mengalir ke segala penjuru, bagaikan sungai yang tidak pernah kering airnya.
Penulis adalah wartawan senior
BERITA TERKAIT: