Apa itu Bawaslu? Sejak kapan negeri ini memiliki pengawas pemilu? Apa kaitannya dengan upaya pencapaian demokrasi substantif? Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba kita elaborasi dalam tulisan ini.
Tahukan anda? Istilah pengawas pemilu mulai dikenal dinegeri sejak pemilu 1982 dengan ditetapkannya UU NO 2 Tahun 1980. UU ini dilatarbelakangi adanya “kecurigaan†tentang kecurangan-kecurangan pemilu oleh pemerintah orde baru. Poin penting dari UU ini adalah, masuknya unsur partai politik dalam struktur Panitia Pemilihan Indonesia (PPI-KPU pada masa itu) dan adanya unsur Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Sebelumnya, PPI hanya diisi oleh unsur pemerintah secara berjenjang.
Strukturnya, Panwaslak Pemilu Pusat, Panwaslak Pemilu Daerah Tingkat I, Panwaslak Pemilu Daerah Tingkat II dan Panwaslak Pemilu Kecamatan, berturut-turut sesuai dengan tingkatannya terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota yang dijabat oleh pejabat Pemerintah serta beberapa orang anggota dari unsur pemerintah, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, Golkar, dan ABRI.
UU ini berlaku hingga pemilu 1997 yang menghasilkan terpilih kembali Soeharto sebagai Presiden hingga 1998 terjadi gerakan reformasi dan diselenggarakan pemilu 1999.
Transformasi Bawaslu di Era ReformasiPertama, Pemilu 1999 berdasarkan pada UU NO 3 1999 tentang Pemilu. UU ini merombak struktur penyelenggara pemilu yang hampir 17 tahun berjalan, yaitu sejak 1982.
Dengan semangat reformasi yang luar biasa, terjadi trasformasi yang tidak kalah penting pada lembaga pengawas pemilu. Dibentuk Panitia Pengawas di Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Tingkat Kecamatan. Keanggotaan Panitia Pengawas Tingkat Pusat, Tingkat I, dan Tingkat II, terdiri dari Hakim, Unsur Perguruan Tinggi, dan unsur masyarakat.
Sedangkan keanggotaan Panitia Pengawas Tingkat Kecamatan terdiri dari unsur Perguruan Tinggi dan unsur masyarakat. Di mana susunan Panitia Pengawas ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk Tingkat Pusat, Ketua Pengadilan Tinggi untuk Tingkat I, Ketua Pengadilan Negeri untuk Tingkat II dan Tingkat Kecamatan.
Hal lain dari transformasi penyelenggara pemilu di 1999 adalah penguatan Panwaslu yang melibatkan unsur peradilan (lembaga yudikatif – MA, PT, PN), unsur perguruan tinggi dan unsur masyarakat yang diproyeksikan dapat memberikan hasil pengawasan yang optimal dalam mendorong proses demokratisasi tanpa adanya kecurangan.
Kedua, Pemilu 2004. Pemilu ini menjadi pemilu pertama yang memilih presiden secara langsung, konsekuensi dari amandemen UUD 1945. Pemilu 2004 berdasarkan pada UU NO 12 tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU NO 23 tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden. Lalu bagaimana perkembangan transformasi pengawas pemilu pada tahun 2004?
Untuk mengawasi pelaksanaan pemilu, KPU membentuk Pengawas Pemilu dan struktur panitia pengawas hanya sampai di tingkat kecamatan dan bersifat
ad hoc. Panitia Pengawas Pemilu membentuk Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi membentuk Panitia Pengawas Pemilu Kab/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota membentuk Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Ketiga, Pada pemilu 2009, terdapat UU NO 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, seperti apa transformasi pengawas pemilu pada UU ini? Dalam UU ini, terbentuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat permanen di tingkat pusat. Jika pada UU sebelumnya, struktur pengawas pemilu hanya sampai pada tingkat kecamatan, pada UU ini sudah pada tingkat kelurahan/desa dengan sebutan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) dan terdapat juga Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN).
Menariknya, sekalipun Bawaslu sudah menjadi lembaga permanen di tingkat pusat, akan tetapi secara keorganisasian, Bawaslu masih di bawah bayang-bayang KPU. Karena untuk pengangkatannya, KPU yang membentuk timsel dan diajukan kepada DPR. Selanjutnya DPR menetapkan 5 nama peringkat teratas untuk disahkan oleh Presiden.
Lalu, untuk menyusun Panwaslu Provinsi, calon anggota diusulkan oleh KPU Provinsi. Untuk menyusun Panwaslu Kab/Kota, calon anggota diusulkan oleh KPU Kab/Kota kepada Panwaslu Provinsi. Untuk menyusun Panwaslu Kecamatan, calon anggota diusulkan oleh KPU Kab/Kota kepada Panwaslu Kab/Kota.
Sekalipun selanjutnya, ditetapkan dengan keputusan Bawaslu setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan secara berjenjang. Hanya pada level Kelurahan/Desa, Bawaslu bisa menetapkan anggotanya sendiri. Anggota PPL dipilih dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kecamatan.
Memahami permasalahan independensi Bawaslu dalam pengawasan pemilu yang secara teknis dilakukan oleh KPU, maka mekanisme ini digugat
judicial review ke MK oleh Nur Hidayat Sardini, Wahidah Suaib, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, Bambang Eka Cahya Widodo, dan Wirdyaningsih. Kelimanya merupakan perseorangan warga negara yang juga sedang menduduki jabatan sebagai Ketua dan Anggota Bawaslu periode 2008-2013 yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17/P Tahun 2008 tanggal 28 Maret 2008 (Keppres Pengangkatan Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum).
Dalam Amar putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010, MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Pertimbangan Hukum MK antara lain bahwa, ketentuan pasal-pasal yang menentukan calon anggota panwaslu diusulkan oleh KPU telah meniadakan sifat kemandirian dari Bawaslu dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu.
Bahwa kalimat “suatu komisi pemilihan umum†dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sehingga, fungsi penyelenggaraan pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Keempat, Pada pemilu tahun 2014 terdapat UU NO 15 tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, terjadi perubahan yang signifikan terhadap struktur Bawaslu. Bawaslu bersifat permanen di tingkat pusat dan tingkat Provinsi, sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota masih bersifat ad hoc dengan sebutan panitia pengawas pemilu Kab/kota.
Pada UU ini penyusunan personel Bawaslu sudah memiliki mekanisme sendiri yang mapan melalui skema timsel. Presiden membentuk Tim Seleksi, untuk menyeleksi bakal calon anggota KPU dan Bawaslu secara bersamaan.
Untuk mengangkat dan memberhentikan KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi, KPU dan Bawaslu membentuk timsel. Untuk mengangkat dan memberhentikan KPU Kab/kota dan Bawaslu Kab/kota, KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi membentuk timsel. Anggota Panwaslu Kecamatan diseleksi dan ditetapkan oleh Panwaslu Kab/Kota. Anggota Pengawas Pemilu Lapangan diseleksi dan ditetapkan oleh Panwaslu Kecamatan. Anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu atas usul kepala perwakilan Republik Indonesia.
Kelima, Pada pemilu tahun 2019 terdapat UU NO 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, struktur Bawaslu sudah permanen hingga pada struktur di kab/kota. UU ini juga menyebutkan bahwa Penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD secara langsung oleh rakyat.
Penyusunan personel dengan mekanisme timsel masih sama dengan UU sebelumnya. Bedanya, untuk pengangkatan dan pemberhentian KPU Provinsi dan KPU Kab/kota, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/kota, dilakukan secara terpusat oleh KPU dan Bawaslu.
Jika kita pahami transformasi Bawaslu dari waktu ke waktu, maka kita akan masuk pada kesimpulan bahwa bangsa ini secara perlahan tapi pasti terus mendorong terciptanya demokrasi yang substantif. Tidak hanya konsolidasi struktur hierarki, juga dengan penataan politik hukum pemilu.
Bawaslu dalam hal ini memiliki kewenangan menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu. Sehingga ada kepastian hukum pemilu bagi para peserta pemilu yang dirugikan secara hukum dalam proses yang sedang berjalan.
Ada masalah politik uang yang terus mewabah dalam setiap pemilu, untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia membentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Tidak sedikit caleg yang didiskualifikasi karena menjadi terdakwa karena di vonis terbukti melakukan tindak pidana pemilu. Riskannya ASN, anggota TNI/Polri dipolitisir, pun Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengawasi, mencegah dan menindak jika terjadi pelanggaran netralitas ASN, anggota TNI/Polri. Ini adalah tugas berat.
Meminjam istilah yang populer dari film Spiderman, “
With great power comes great responsibility.†Selamat harlah Bawaslu yang ke-12. Dirgahayu!
Munandar NugrahaPenulis adalah pegiat Pemilu
BERITA TERKAIT: