Perppu ini mengingatkan saya ke era orde baru (Orba) ketika Bank Indonesia selaku bank sentral dapat memberikan berbagai pinjaman likuiditas ke masyarakat, selain pinjaman dan fasilitas kepada perbankan umum selaku
the lender of the last resort.
Berbagai jenis dan macam Pinjaman dan Fasilitas kepada perbankan ini baik yang biasa ataupun yang diberi embel embel "khusus" seperti SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) Khusus itu kemudian, - untuk mudahnya penyebutan,- diberi satu nama atau istilah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Pada umumnya pinjaman likuiditas BI itu dengan persetujuan bersama BI dan Pemerintah yang diwakili oleh Dewan Moneter. Dengan demikian sejalan atau selaras dengan kebijakan Pemerintah pada umumnya dan kebijakan fiskal pada khususnya.
Kebijakan ini berjalan harmonis dan efektif selama 3 (tiga) dekade Orba, sampai terbitnya skandal BLBI 1997-1998, saat saat BI tidak lagi disiplin dan berjalan sendiri meninggalkan Dewan Moneter. Itulah yang kemudian melatar belakangi revisi UU BI, lahirnya OJK dan LPS.
Artinya, kalau saja tidak ada kenakalan BLBI pada 1997-1998, hubungan kebijakan fiskal dan moneter yang efisien, efektif dan murah itu masih akan berlangsung sampai sekarang, tanpa ada Otoritas Jasa Keungan (OJKK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan mungkin juga tidak ada Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Negara (SBN).
Negara tetap menyimpan semua uangnya di BI tanpa bunga, sehingga BI dan Pemerintah dapat memberikan kredit likuiditas kepada sasaran yang dituju dengan bunga murah.
Pada masa Orba itu Pemerintah tidak menerbitkan surat utang sehingga BI tidak perlu repot membelinya baik di pasar perdana maupun pasar sekunder, karena memang tidak ada SUN.
Reformasi telah mengubah status BI dan agak menyulitkan konsolidasi dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah Orde Reformasi sibuk menerbitkan surat utang tapi BI hanya bisa membelinya di pasar sekunder.
Bank-bank dan lembaga keuangan lainnya yang dulunya tidak dipungut premi, kini harus membayar premi. Beban masyarakat perbankan, asuransi dan lainnya maupun APBN makin berat karena harus ikut memikul biaya OJK, LPS, KSSK.
Kembali ke Perppu No.1 Tahun 2020 yang praktis kembali ke rezim atau kebijakan ekonomi Orba antara lain BI dapat memberikan pinjaman pinjaman ke masyarakat. Bahkan pinjaman langsung ke Pemerintah, tidak harus di pasar sekunder.
Teoritis BI dapat memberi pinjaman berapa saja kepada Pemerintah untuk menopang APBN. Insha Allah konsolidasi dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter ini dapat kembali efisien dan efektif seperti semasa Orba, dengan pengecualian skandal BLBI, yang sayangnya lolos dari jerat hukum.
Karena itu, selain sebagai stimulus ekonomi untuk menghadapi gangguan Covid-19, saya mendukung Perppu No.1 Tahun 2020. Meski demikian harus ada pemahaman dan penafsiran yang yang sama sampai kapan Perppu ini berlaku ?
Dalam hal defisit APBN dan pemberlakuan tarif pajak, cukup jelas masa berlakunya, tapi untuk berbagai ketentuan yang lain perlu ada kejelasan, apalagi kewenangan yang diberikan kepada Menkeu amat besar.
Last but not least adalah Pasal 27 yang memberikan kekebalan hukum pada perumus dan pelaksananya. Itu moral hazards dan menunjukkan pejabat yang mau kekuasaan dan kewewenangan extra tapi tidak mau bertanggung jawab.
Ini bukan saja akan jadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum tapi juga cerminan rendahnya profesi. Pejabat lain termasuk TNI dan Polri wajar saja jika cari peluang untuk juga minta kekebalan hukum. Apalagi dokter dan tenaga medis yang berisiko dengan nyawanya dalam menangani pasien virus corona.
Karena itu Pasal 27 harus di hilangkan. Pasal 27 ini juga amat kontras dengan Pasal 26 yang memberikan ancaman hukuman yang amat berat bagi siapa saja yang menghalangi pelaksanaan Perppu ini. Jadi amat tidak setara.
Mestinya Pasal 27, bila tetap diadakan, justru menegaskan bahwa semua aparat negara yang korupsi atau menyalahgunakan pelaksanaan Perppu ini akan dihukum yang seberat beratnya.
Di atas itu semua, di depan hukum semua orang berkedudukan sama, dan itulah pesan tegas UUD 1945. Jadi saya kira DPR harus tetap kritis terhadap Pasal 27 ini.
Penulis adalah Mantan Menteri Keuangan RI
BERITA TERKAIT: