Karya itu melukiskan orang seperti tengkorak membuka mulut lebar-lebar dengan tangan memegang kepala. Munch dalam buku hariannya menggambarkan dirinya sedang berjalan-jalan dibawah munculnya matahari dan mendung yang berwarna merah darah.
Dalam suasana kebosanan dan kekhawatiran terpenjara di rumah, mengamati berita-berita di internet, memikirkan angka-angka di statistik di website yang terus membengkak, tiba-tiba mendung di atas rumah seakan memerah. Alam sedang menghukum manusia. Virus korona murka.
Kita bisa berteriak dalam kesendirian. Berkumpul dan bergurau bersama handai tolan sejawat menjadi pantangan. Rumah yang menjadi tempat kembali kini seperti hukuman. Semua menanti dan menyaksikan naiknya penghitungan korban.
Di saat Nusantara mengalami naik dan munculnya kerajaan mahligai Majapahit pada abad empat belas, dan munculnya kekuasaan baru Islam, Eropa berjuang dalam melawan kutukan kematian jutaan warganya, the Black Death.
Penyakit mengerikan abad empat belas sampai delapan belas ini menelan nyawa lebih dari sebelas juta. The black death terjadi berulang-ulang di benua tua itu, dari Italia, Jerman, Inggris, Perancis dan negara-negara lain.
Wilayah Asia kawasan Muslim juga mendapat gilirannya, terutama wilayah Turki Utsmani. Waktu itu, bumi kehilangan banyak penghuninya berupa manusia. Jumlah makhluk ini menurun drastis, namun hutan-hutan kembali tumbuh.
Tanaman menghormati musnahnya kehidupan dengan caranya sendiri, memakan pupuk mayat-mayat yang terurai. Satu jenis kehidupan sirna, yang lain mengambil manfaat. Jasad menjadi mayat, tanaman mengambil untung.
Eropa teruji dengan berbagai wabah. Kematian massal menjadi tonggak sejarah. Depresi dan histeria juga terekam jelas dalam berbagai lukisan.
The black death di Eropa melahirkan banyak karya seni di atas kanvas: arakan tengkorak berjalan, mayat-mayat bergelimpangan, kuburan massal, dengan suasana ketakutan dan duka mencekam.
Tiada kabar pasti apakah the black death mengutuk Nusantara. Banyak penyakit lain yang sudah menelan angka penduduknya: malaria, tubercolosis (TBC) , flu, kelaparan, disentri, beri-beri, peperangan antar kerajaan dan perang melawan penjajahan.
Corona saat ini sedang mencekam. Indonesia tidak bisa lari, dan harus menghadapi. Dari China ke Eropa, kini Asia Tenggara menerima giliran untuk bersiap. Indonesia tak terelakkan.
Kebiasaan baru bangsa ini setelah era demokratisasi adalah ibadah di ruang publik, yang menjadi komoditi politik. Banyak analisis ilmiah dalam bidang sosial dan politik mengungkap konservatisme agama sedang subur-suburnya.
Tampil khusuk di media dan khalayak bisa mengangkat ketokohan seseorang. Agama telah menjelma menjadi mode dan fashion baru, penampilan dan gaya agamis.
Hanya korona saat ini yang mungkin akan menentang trend ini karena adanya nasehat medis dan biologis untuk menambah jarak antar individu. Tampil di kerumunan publik dan mengumpulkan massa wajib dihindari.
Berdoa secara massal juga mengundang penularan virus. Ritual publik dan kerumunan politik harus ditahan saat ini. Saran sederhana: Berzikir di rumah saja atau berdiam diri komat-kamit dalam hati. Doakan segala bangsa dan semua penghuni bumi agar selamat dan bahagia: Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta (doa Buddhisme dalam bahasa Pali, semoga semua makhluk berbahagia).
Nyepi menjadi relevan. Dalam ajaran Hindu, pada puncak ibadah nyepi dilaksanakan dengan catur brata (empat lakon) yang terdiri dari amati geni (menghentikan api), amati karya (menghentikan kerja), amati lelungan (tiada pepergian), dan amati lelanguan (tiada hiburan).
Tentu tidak bisa menyepi dua minggu, sebulan, atau lebih dengan menghentikan empat aktivitas tersebut, karena akan berdampak pada geliat ekonomi nasional. Namun menahan diri untuk tetap konsisten menghindari kontak kerumunan masih jalan teraman. Solusi alternatif: Nyepi secara parsial, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Alam ini masih sumir dan salah satu kerendahan hati kita harus mengakuinya. Sebagaimana
the black death, Corona juga misterius. Korban di Indonesia yang jelas terlaporkan malah tenaga medis, yang berada di garda depan dalam upaya penyembuhan yang terkena. Kasus bertambah terus, tenaga medis berkurang.
Jihad yang sesungguhnya justru saat ini. Manusia atas nama bersama, tanpa mengenal bangsa, iman, ras, dan suku berperang melawan yang gaib, tak terlihat. Dalam ajaran agama, ada iman pada yang gaib: tiada terlihat, bukan berarti tidak ada. Virus tanpa laboratorium tidak kasat mata, tapi akibatnya terukur dengan statistik ilmiah.
Tidak ada cara lain kecuali mencoba keberuntungan dalam usaha menemukan solusi medis. Dan itu adalah usaha para ilmuan pada wilayahnya. Tidak ada yang bisa dipercaya sepenuhnya kecuali eksperimen di laboratorium dengan harapan menemukan formula baru untuk menolak virus atau menambah imunitas tubuh. Jihad ini membutuhkan keuletan dan dukungan semua pihak: pemerintah dan masyarakat.
Indonesia perlu belajar pada bangsa lain, bahwa ilmu pengetahuan berguna untuk menyelesaikan masalah. Ilmu pengetahuan harus mendapat prioritas di tempatnya, kekuatan politik dan doa harus melindunginya.
Berfikir rasional dan realistis mungkin menjadi pil penenang agar mampu bertindak sesuai dengan prosedur guna meningkatkan harapan penghindaran dan penyembuhan bagi yang terinfeksi.
Setelah runtuhnya Orde Baru tanda dimulainya Reformasi, bangsa ini banyak mendapatkan ramalan pesimis. Disintegrasi wilayah mengancam, dan republik ini telah diprediksi tidak mampu menopang persatuan antar suku dan pulau, seperti negara-negara Balkan yang terpecah-belah, karena terpaan instabilitas politik dan krisis ekonomi.
Keberuntungan memihak, Indonesia terbukti bertahan dengan caranya sendiri hingga detik ini. Kenyatannya, masyarakat Indonesia sering mengejutkan daya juangnya karena kekuatan komunalnya, sebagaimana daya juang ekonomi pada sektor informal di pasar-pasar tradisional dan tenda-tenda di pinggir jalan.
Tetapi yang dibutuhkan dalam menghadapi wabah ini adalah menjaga jarak antar manusia, menghindari kedekatan fisik. Kita perlu memaknai budaya gotong royong dengan cara lain agar relevan, yaitu kerjasama tanpa kontak fisik. Bangsa ini pasti bisa, karena pengalaman dalam menghadapi berbagai cobaan.
Al Makin Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
BERITA TERKAIT: