Emmy Hafidz mengkapitalisasi
non-english speaking nation, triger emosi menjadi kegaduhan
extra massive.
In a nutshell, Agnez Mo menyatakan (+/-) sekalipun non-pri dan beragama minoritas Kristen, berbeda dengan mayoritas pribumi, tapi dia lahir di Indonesia dan diterima dengan baik oleh mayoritas muslim.
Setelah kalah di debat Letterlijk,
haters seperti Hong-gie Yap mempersoalkan intonasi, gesture,
facial expression dan tarikan napas. Baginya, Agnez Mo ingin mengatakan bahwa dia bukan bagian dari Indonesia.
Oh my god-dragon...!! That's halusinasi. Makanya; Jangan
ngisep Lem Aibon sambil nonton potongan
klip talkshow itu.
Agnez Mo hebat. Dia tutup
hot issue Komisaris Ahok, BPJS, Reuni 212 dan Sukmawati.
Syahganda Nainggolan, pentolan aktivis generasi pasca Hariman Siregar, menyatakan "polemik Agnez Mo menarik dibahas".
Dia bawa diskursus Agnez Mo ke level lebih tinggi.
Ngga recehan seperti Emmy Hafidz dan Hong-gie Yap.
Pembahasan jadi rumit. Syahganda Nainggolan angkat terminologi
ethnik, tribalism, pribumi vs non-pri, bangsa, warga-negara dan konsensus bernegara.
Baginya, "Bangsa" itu beda dengan "Citizenship". Bangsa berkaitan dengan darah dan ethnisitas.
Thus yang dimaksud sebagai "Bangsa Indonesia" adalah pribumi. Golongan asing seperti Tionghoa, India dan Eropa bisa menjadi WNI. Tapi tidak pas disebut "Bangsa Indonesia".
Subjektifisme Syahganda Nainggolan terhadap Anies Baswedan membuatnya ragu mereposisi Golongan Arab.
Faktor agama memudahkan Golongan Arab diterima menjadi bagian dari "Bangsa Indonesia".
Syahdan, Agnez Mo ternyata mengadopsi pemahaman Syahganda Nainggolan pada saat dia menyebut "
Indonesian blood".
Tidak ada yang salah dari paham ini. Formasi identitas Agnez Mo memperlihatkan "
a sense of uniqueness from others" sekaligus "
a sense of affiliation" kepada Indonesia.
Sebuah "Bangsa",
or a nation, bagi Benedict Anderson adalah "
an imagined political community".
Sebuah "
socially constructed community" yang dibayangkan oleh mereka yang merasa bagian dari kelompok.
Tidak ada definisi tunggal dan
general consensus nor global agreement tentang "bangsa". Amerika satu-satunya negara
modern. Semua bangsa ada di situ menjadi "Orang Amerika".
Di Jepang lain lagi. Hanya "Darah Jepang" yang dianggap sebagai "Orang Jepang". Mereka bahkan anti dengan Golongan "HÄfu"; separoh Jepang, anak-anak hasil
mixed marriage.
Indonesia lebih
rilex. Ada proses yang disebut William Swann sebagai "
Identity negotiation" dan proses ini ternyata belum selesai.
Sebuah proses dalam rangka mencapai agreement mengenai "
who is who" bangsa Indonesia itu.
Yang membuat Indonesia itu
unique amongst the nations adalah faktor bahasa.
Di Singapore dan Malaysia,
segregasi ethnis dibedakan oleh faktor genetik, culture, agama dan bahasa.
Ada "
lingua franca" di Indonesia yang ternyata sanggup menerobos
boundary segregasi rasial.
Karena suka atau tidak, secara alamiah, Tionghoa adalah bagian dari Indonesia maka dia menjadi lain sendiri.
Tionghoa Indonesia sulit menyatu dengan
the other Overseas Chinese dan
Zhongguoren karena pada umumnya mereka tidak lagi berbahasa Mandarin dan varian dialeknya.
Global Chinese menganggap Tionghoa-Indonesia sebagai "
The other Chinese". Secara
culture, mereka Lebih "Indonesia" daripada Chinese.
Di situ sedihnya jadi Tionghoa Indonesia. Dia
nggak dianggep "Bangsa Indonesia" sekaligus
nggak juga dianggap sebagai
"Chinese" on global level.
Penulis adalah anggota Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak).
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.