Saya memandang foto terakhir kami tanggal 1 Oktober kemarin, dia meminta saya mengirim foto kami bersama tersebut ke ponsel dia. Sebelum pisah menunggu mobil, saya tunjukkan foto itu.
"Kelihatan banget
happy, kok melambai tangan Mas, kami semua enggak tuh. Kayak mau pisah saja," kata saya.
"Harus
happy di foto Dian, jadi orang senang melihatnya," jawabnya sambil terkekeh tersengal-tersengal.
Sekarang baru
ngeh kalau itu adalah lambaian selamat tinggal.
Malam itu, mas BE banyak menggerutu, tapi kami, Bang Din Syamsuddin dan Pak Rektor UMJ, Syaiful Bahri dan saya malah banyak terbahak-terbahak mendengar gerutuan mas BE.
Beliau sebetulnya lebih cocok muncul di
stand up comedi. Satir,
ngenyek tapi yang diomongin adalah kenyataan yang membuat kita sadar betapa lucunya tingkah laku kita membenarkan omongan Mas BE. Ini yang membuat kami tertawa.
Kami ngobrol cukup dalam malam itu, tentu tentang masa depan negeri ini dan kerisauan beliau. Bang Din harus mendekat menyorongkan kursinya karena Mas BE bicara dengan suara yang halus. Saya malah ngomong terus terang.
"Mas saya budek, ngomong agak kencengan dong," kata saya.
Dia menatap saya, seperti jengkel kenapa saya tidak memahami sakit yang dideritanya? Tapi kemudian dia tersenyum.
"Itu supaya kamu duduk dekat ke saya Dian," jawabnya terkekeh.
Saat berpisah, Mas BE memeluk erat saya. Sempat menanyakan bagaimana saya pulang ke rumah karena sudah jauh dan malam. Kami berempat janjian akan bertemu lagi. Sedianya bulan ini, tapi Tuhan ternyata menentukan lain.
Selamat jalan Mas, jangan ngomel-ngomel dan menggerutu lagi ya, kan sudah tidak sakit lagi.
Pasti dirimu lebih banyak tersenyum melihat bidadari-bidadari di surga, peluk erat bidadari-bidadari itu Mas, jangan lepaskan meninggalkan dirimu, dijamin pasti adem deh. Maafkan bila aku tak bisa mengantarmu ke tempat peristirahatanmu yang terakhir.
RIP Mas BE
, you will be missed by everyone. 
Riyadh, 20 November 2019
Penulis adalah wartawan senior.