Buku hasil pemikiran Salim Haji Said berjudul
“Ini Bukan Kudeta†setebal 160 halaman.
Berdasarkan pengalaman Indonesia, Thailand, Mesir dan Korea Selatan mencoba mengelaborasi keterlibatan militer dalam dunia politik praktis diperbandingkan.
Pada berbagai pengalaman kesejarahan tersebut, maka militer masuk ke kancah politik, terutama ketika terjadi fragmentasi politik elemen sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Institusi ketentaraan, dengan otoritas berbagai kesatuan di dalamnya yang berada dalam rentang struktur hirarkis
chain of commands, sesungguhnya adalah entitas sosial tersendiri.
Pertarungan pengaruh dalam memperebutkan kekuasaan politik, antar kelompok sosial disuatu negara, dengan situasi yang meruncing, memiliki tendensi untuk menarik posisi militer secara aktif ke dalam kancah perpolitikan.
Posisi istimewa kekuatan angkatan bersenjata ini, tentu terkait dengan otoritas pada penguasaan alat represif yang disandangnya.
Kuasa kekuatan tersebut, membuat militer menjadi pihak yang diperebutkan diantara kubu politik yang berseteru.
Legitimasi dari dukungan militer atas suatu kelompok politik, seolah menciptakan situasi keabsahan kekuasaan. Situasi sedemikian setidaknya terjadi pada periode kisruh politik domestik Orde Lama ke Orde Baru.
Pertentangan antarkelompok politik, kubu komunis, nasionalis dan Islam mengalami ketegangan yang memuncak, pada situasi sedemikian maka militer didekati oleh berbagai kepentingan politik guna memberikan arah sikap dan dukungan.
Peran tentara berubah secara perlahan pasca kemerdekaan, dari tentara pejuang menuju tentara profesional.
Dengan begitu, terdapat peluang untuk mulai memikirkan konstruksi kenegaraan. Momentum 1965, mengubah konstelasi politik, termasuk perimbangan dalam tubuh ketentaraan nasional. Angkatan Darat, menstabilisasi komposisi nasionalis dalam diri organisasi ketentaraan, setelah partisan partai komunis menyusup pada para petinggi militer saat itu.
Bersamaan dengan itu, tentara memainkan peran sentral dalam mengatasi kekacauan situasi, sekaligus mengambil peran komando.
Pada gilirannya, Orde Baru tumbang melalui Reformasi, konsepsi Dwi Fungsi direposisi, kembali kepada tugas pokok ketentaraan, dipisah dari garis politik.
Reformasi ditandai dengan upaya menegakkan supremasi sipil. Hal itu berjalan hingga hari ini, meski pada beberapa kesempatan, terdapat upaya untuk kembali menggoda tentara berpolitik.
Dominasi Militer di Mesir dan ThailandApa yang kemudian menarik dilihat dari pengalaman Mesir dan Thailand sebagai perbandingan? Tidak lain karena peran militer di kedua negara tersebut begitu dominan.
Mereka, menurut Salim dikategorikan sebagai deep state, oligarki kekuasaan yang mengatur sekaligus mengontrol jalannya kehidupan kenegaraan, dengan jalur pemerintahan.
Mesir, yang sempat diterpa Arabian Spring, akhirnya melengserkan Hosni Mubarak, sempat diganti Presiden Morsi yang terafiliasi organisasi Ikhwanul Muslimin tetapi tidak berlangsung lama. Kini kembali diperintah Jenderal Al Sisi. Situasi ini terjadi sebagai bentuk ambigu kekuatan sosial politik lokal, menghadapi perubahan kondisi yang begitu cepat.
Kemarahan publik atas buruknya kondisi sosial ekonomi, berujung pada penggulingan Mubarak, kelompok oposisi bersatu di bawah komando Ikhwanul Muslimin. Kekosongan kursi kekuasaan, menghadirkan realitas baru.
Kegagalan transformasi dan rusaknya relasi di dalam kubu oposisi. Kondisi tersebut, meneguhkan konflik serta terfragmentasinya elemen sosial perubahan. Hingga kemudian, kembali terjadi pelemahan kekuatan massa, serta dimanfaatkan sebagai momentum kembalinya militer ke tampuk kekuasaan, menghadapi situasi chaos.
Bagaimana dengan Thailand? Negeri monarki dengan bentuk Kerajaan dan simbol Raja tersebut, sejatinya telah berada dalam formasi
Deep State dengan sutradara pihak militer.
Pemerintahan terpilih Thaksin yang populer di kalangan publik, berhadapan dengan kepentingan oligarki kekuasaan lama. Monarki parlementer dengan keistimewaan pada peran aktif tentara. Hingga kemudian situasi
chaotik terjadi, dan titah Raja diberikan untuk merekonsiliasi situasi.
Pada akhirnya, kolaborasi monarki dan militer saling menjaga posisinya, terjadi simbiosis mutualisme.
Kekuatan reformis, yang dibangun dari arus bawah, terbendung oleh bangunan tembok birokratik, diantara kekuatan tentara dan monarki. Maka, pergolakan sosial yang terjadi di Thailand lebih merepresentasikan peta politik dalam tubuh militer itu sendiri, terpisah dari realitas publik. Terjadi kekosongan balancing power otentik milik publik.
Keberhasilan Korea SelatanKisah berbeda terjadi di Korea Selatan. Transformasi ranah dan wilayah otoritatif tentara terjadi seiring dengan perubahan ekonomi sosial di negeri gingseng.
Keberhasilan pembangunan, peningkatan kapasitas ekonomi menempatkan publik berada dalam situasi yang stabil. Situasi ini, kemudian membuat tentara sebagai sebuah entitas sosial politik, memandang penting pengelolaan negara secara profesional.
Militer memahami batas kewenangan yang dimilikinya hanya terkait dengan teritori keamanan negara dari ancaman eksternal.
Salah satu faktor penting yang terbaca dari peningkatan profesionalisme militer di Korea Selatan untuk tunduk pada supremasi sipil, dapat ditelusur pula pada aspek ketegangan wilayah dengan Korea Utara. Sehingga, secara keseluruhan, situasi di Korea Selatan memungkinkan terjadinya upaya transformasi militer untuk keluar dari kepentingan politik praktis pertarungan kekuasaan.
Jadi, apakah peran militer dalam dunia politik dan tindakan pengambilan kekuasaan dimaknai sebagai kudeta? Hal itu tentu sangat bergantung pada konten dan konteks yang terjadi, sesuai dengan kondisi serta situasi dimana lokalitas itu berada.
Syahwat kekuasaan bisa menggoda siapa saja, termasuk militer, maka syarat terpenting bagi upaya menjamin profesionalitas tentara, sekaligus supremasi sipil hanya dapat dilakukan dalam situasi pasifis, menghindari kekacauan yang seringkali disebabkan pertengkaran politik kelompok sosial dalam masyarakat.
Fragmentasi sosial politik yang meruncing, adalah celah bagi terciptanya potensi keterlibatan tentara dalam urusan perpolitikan secara tidak terhindarkan!
Yudhi HertantoProgram Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid