Sebab dalam penggalian fakta penyidikan atau terungkap di persidangan ditemukan ada orang orang yang tidak punya kapasitas atau kalaupun ada jabatan mereka seolah jabatan semu, mereka sekedar seperti robot 'jabatan asesoris' yang ada pengendali utamanya.
Sebuah istilah pun dibuat untuk para pelaku yang hanya "ikut-ikutan" atau atas namanya dipergunakan untuk atas nama membantu kejahatan korupsi ini ada yang menyebutnya tumbal, bamper dan dalam catatan kecil ini. Saya mengistilahkan dengan "kriminalisasi" struktural atau victimisasi struktural.
Hukum itu mengenal asas accesoriumnon ducit, sed sequitur, suum principale yang artinya pelaku pembantu tidaklah memimpin, melainkan mengikuti pelaku utamanya.
Pertanyaan lebih lanjut apa indikator yang menjadikan seseorang dapat dikategorikan sebagai victimisasi struktural. Setidaknya ada dua syarat.
Pertama antara yang memerintah dan diperintah berada dalam dimensi hukum publik.
Kedua, hubungan subordinasi (dimensi kepegawaian atasan), karena kenyataan kebanyakan pegawai atau bawahan tidak berani membantah atasan. Inilah salah satu kausalitasnya dan secara sosiologis ada rasa pekewuh (segan). Sehingga jika sudah mendapat perintah atasan merasa yakin dan aman karenanya pegawai yang di bawah subordinasi tadi berani mengambil tindakan walaupun harus berbenturan dan melawan hukum. Inilah setidaknya dikategorikan sebagai victimisasi struktural.
Sedangkan yang dimaksud kriminalisasi struktural dalam diskusi saya dengan Chairul Huda, menyebutkan setidaknya ada beberapa ciri ciri indikator untuk disebut "kriminalisasi" struktural antara lain antara lain: 1. Penggunaan diskresi yang dipidanakan; 2.Tuduhan penyalahguaan wewenang terhadap orang yang tidak punya wewenang; 3. Judgment business yang dipidanakan.
Maka sebenarnya terhadap kedua hal istilah tersebut di atas sudah ada kebijakan formulasinya dalam KUHAP guna untuk membatasi kekuasaan alat alat negara dan terjaminnya Hak Asasi Manusia. Maka dalam sistem peradilan pidana ada difrensiasi fungsional antar penegak hukum di mana penyidik sebagai pintu masuknya sejak dari penyelidikan menuju penyidik dapat mempetakan dan mengetahui fakta-fakta hukumnya. Siapa saja yang melakukan, bagaimana peran masing masing, locus dan waktu kejadian dimana dan pasal apa yang dapat disangkakan. Ini yang dituang dalam berita acara pemeriksaan dan resume perkara sampai dikirimkan surat pemberitahuan di mulai penyidikan dan ada ruang dialog diskusi koordinasi penyidikan dalam manajemen penyidikan jaksa ada P18, P19 sampai P 21 sampai dilimpahkan oleh penyidik ke jaksa selanjutnya ke pengadilan.
Ini satu kesatuan sekaligus menjadi lembaga yang saling
check and balance.Sehingga seharusnya penyidik dengan mudah dapat menarik benang merah aktor paling dominan tanggung jawabnya sehingga sampai ke tahap terjadinya pidana korupsi misal kewenangan siapa, penerimaan uang atau pencairan keuangan jadi bukan dibebankan pada orang yang tidak ada peran maksimal.
Anehnya dalan praktik terdapat ada pelaku utama malah tidak dimintai pertanggungjawaban atau tidak diproses hukum lebih lanjut.
Karenanya akan tergambar jelas ketelitian, kejelian penyisiran penyidik di tahap penyaringan pelaku berupa fakta dan penghimpunan alat bukti di tingkat penyidikan. Karena jejak rekam kejahatan pelaku utama terungkap dan semestinya dimintai pertanggungjawaban pidana karena motivasi pelaku yang dominan inilah yang sangat mempengaruhi motif dalam perbuatannya.
Namun jika sejak awal dalam penyidikan di berita acara pemeriksaan ada pihak -pihak yang dihilangkan oleh penyidik di awal (ada fakta atau pelaku yg disembunyikan) pasti ini sudah diketahui oleh penyidik, sangat disengaja perbuatan tersebut karena jelas-jelas fakta hukumnya digelapkan.
Konsekuensinya analisa dan kesimpulan sampai putusan hakim akan gelap dan tentunya mencederai rasa keadilan bagi pelaku yang sebenarnya bukanlah pelaku utama.
Sejatinya kedudukan dan peran penyidikan sejak awal adalah membuat terang dan jelas atas sebuah peristiwa hukum. Jadi "bila ada" ditemukan pihak-pihak yang memang menginginkan tidak membuat terang pasti harus banyak tanda tanya atas ini.
Kalau praktik seperti ini terus terjadi dan dibiarkan maka rasa keadilan tersebut tidak akan pernah terwujud dan yang dihukum adalah hanya setingkat pelaku pembantu. Padahal otak yang berbuat dan jahat tersebut adalah pelaku utama, maka bersihkan para pelaku utama ini jika birokrasi mau reformasi sebenarnya. Kalau tidak, reformasi birokrasi hanya sebatas ilusi.
Selain itu para penegak hukum tidak hanya terbatas dalam pola pemberantasan, namun perlu pula penemuan aspek aspek pencegahan(non penal) berupa produk kebijakan kebijakan dengan mempetakan serta mengeliminir faktor-faktor kriminilogen yang dapat memicu potensi terjadi perbuatan korupsi.
Perketat SOP dan pengawasan internal diperkuat, termasuk pemberian sanksi kepada atasan langsung satu tingkat bagi pegawai yang melakukan korupsi serta dibuat aturan dalam UU Kepegawaian bahwa bawahan diperkenankan membuat surat bantahan (menegur) atas tindakan atasan yang keliru atau melawan hukum, sehingga antara atasan dan staf di bawahnya saling mengawasi dan ada keseimbangan posisi.

Azmi Syahputra Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno; Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia(Alpha)