Menelisik 'Akar' Kausalitas Psikopatologi Orang Papua Dan Solusinya

Jumat, 01 Februari 2019, 11:28 WIB
MENARIK pernyataan Pak Jenderal HT (maaf pakai nama inisial saja), namun menantang dan kedengarannya jauh dari harapan semua pihak sebagaimana dinamika akhir-akhir ini.

Apalagi jika didengar para pakar, ini dapat dikatakan tidak konek dan tidak relevan. Bahwa dalam upaya meredam gejolak psikologis terutama dalam menangani gangguan neurotik seperti fobia, akan dilakukan pendekatan psikologis terhadap orang Papua.

Ini pernyataan resmi dan berwibawa sumbernya, namun tidak masuk dalam kelayakan ilmu psikiatrik. Demikian, karena fobia merupakan jenis gangguan psikologis, namun yang hendak dilakukan adalah pendekatan psikologis.

Barangkali pendekatan psikologis yang dimaksudkan di sini seperti apa, mustinya dijelaskan dulu. Jika proses kuratifnya adalah melakukan pendekatan dengan upaya menjauhkan faktor resiko fobia dengan desentisisasi, maka layak. Namun, apakah proses desentisisasi ini akan menjamin bahwa 100 persen tuntutan separatisme tidak akan muncul esok?

Sementara berbagai pihak-pihak kelompok pro itu, menginginkan pendekatan dan cara lain untuk mengurai duduk masalah, kemudian dicariin solusinya. Ini justru kurang tepat, bahkan tidak akan efektif.

Kembali ke dasar, bahwa mungkin logika kaum awam beda dengan logika kaum medis. Ini tentang ilmu psikologi, ya psikologi manusia. Manusia memiliki batasan kemampuan dirinya menghadapi sebuah peristiwa tertentu, terutama peristiwa buruk.

Apabila suatu peristiwa buruk terjadi di depan seorang manusia (apalagi sejak kecil atau bahkan dalam kandungan), peristiwa kelam, pahit dan seterusnya akan direproduksi secara genetik.

Bahkan lebih dari itu, jika kontak kekerasan perihal  buruk tadi datang berkali-kali dan mengenai entitas manusia dalam populasinya yang luas serta sistematis, itu akan membekas, meninggalkan luka sukma psikologis yang amat dalam.

Demikian kita kenal dengan istilah memoria passionis atau memoria penderitaan masal. Bahkan di Papua telah dijadikan sebagai teologi penderitaan.

Menelisik jauh ke dalam dunia teologi penderitaan Orang Papua, trauma kolektif manusia, akibat penderitaan yang dirasakan sejak 50 tahun silam tentu masih membekas dan menganga buana dengan sangat jelas.

Kita dapat melihatnya secara seksama melalui berbagai peristiwa yang saban hari tiada hentinya terjadi di bumi cenderawasih ini.

Bahwa aspirasi kemerdekaan, penentuan nasib sendiri dan gejolak determinannya masih ada bahkan semakin intens setelah direproduksikan oleh generasi muda Papua yang lahir dan besar relatif di zaman Ibu pertiwi zaman now.

Maaf, ini bukan perkara mudah bagaikan kasih uang habis perkara (KUHP) ala negeri ini yang lazim dipakaikan untuk menghalau lajunya aspirasi rakyat, menyelesaikan suatu kasus hukum dll, tetapi ini adalah anomali hidup berbangsa yang musti diluruskan agar tidak selamanya menjadi duri dalam daging.

Masalah Papua bukan saja sebatas karena  Benny Wenda menyerahkan petisi 1,8 juta jiwa ke Dewan HAM PBB, lalu harus direspon dengan hipereaktif, hiperparanoid dan seterusnya, tetapi ada apa sebenarnya dibalik itu semua. Itu pertanyaan kunci yang musti didiagnosis dan segera diobati oleh ibu pertiwa yang mulia dan kami hormati ini.

Kembali ke awal, bahwa soal psikis atau jiwa manusia yang terdalam itu, Ibu pertiwi memiliki sejuta beban dosa yang mustinya ditebus dengan hati dan otak dingin dari sanubari terdalam anak-anaknya, yakni  melalui implementasi pancasila dan preambule UUD 1945 alinea pertama.

Bapak yang terhormat, menguraikan ceritera sebab-musabab dan cikal-bakal mengapa orang Papua merasa fobia itu, ibarat menanyakan seorang anak yang seringkali kita pukul-pukulin selalu dan pernah membuat orang tuanya meninggal.

Lantas kita datang keesokan harinya dengan membawa permen karet untuk diberikan kepada anak tersebut. Apakah anak tersebut akan terima, sementara dengan biji matanya telah melihat bahwa para pria berbaju loreng itu yang bunuh bapa/mamanya.

Bapak loreng yang terhormat, inti dari analogi itu amat jelas. Bahwa fobia terhadap loreng tidak bisa digadaikan dengan aksi formal lewat bagi-bagi materi, kedudukan dan segala tawaran ilusif dan hipnotif kepada beberapa kelompok orang Papua.

Ini menyangkut psikopatologi kolektif yang sudah membekas dan masih membara di kalangan luas dan hampir seluruh orang Papua. Melakukan upaya demikian, memang akan meredakan mood hanya sebatas temporer.

Tetapi api dendaman, kebencian dalam kobaran trauma dan memoria passionis akan tetap hidup; bertahan dari generasi ke generasi. Ibu pertiwi ini akan terus ada, tidak seperti umat anak-anaknya yang sementara ini.

Generasi ke depan akan memikul beban dan dosa yang akan kita cetuskan dan terus wariskan, apabila pola dan pendekatan yang dipakai tetap sama. Tidak ada perubahan. Papua akan terus menjadi bara api yang suatu waktu akan menyala jika dikorek sedikit atau disirami bensin.

Maka maksud dari semua ini adalah bahwa memoria passionis kolektif rakyat Papua harus diselesaikan dengan pendekatan psikorehabilitatif yang layak dan sesuai dengan term konstitusi yang jelas. Tidak, seenak semau gue, atau kamu.

Karena ini masanya saya atau dia, sang jenderal.

Kita membutuhkan term yang layak sesuai gula-gula OTSUS Papua yang kering itu, lewat pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan lewat mekanisme  UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM atau UU 36/1999 tentang HAM.

Kedua legal standing konstitusi ini bisa dipakai, setelah dilakukan dialog inklusif dan komprehensif untuk mengakhir seluruh rangkaian masalah-konflik di Papua.

Referendum dapat menjadi solusi terakhir yang paling fair untuk melihat apakah orang Papua mau bersama ibu pertiwi lagi atau tidak.

Akhir kata, tak usahlah menghabiskan uang untuk melakukan dialog kecil-kecilan lalu menyimpulkan bahwa tidak ada masalah di Papua. Atau menggenaralisir bahwa rakyat Papua semua cinta NKRI. Itu ibarat tabung-menabung masalah, karena pada prinsipnya akan ada peristiwa yang lebih besar lagi sebagai bentuk perlawanan rakyat.

Pendekatan psikologis bisa dipakai, namun baju loreng telah menjadi momok menakutkan, sehingga apakah ia berpeluang diterima ? Ini menjadi pertanyaan reflektif.

Mana mungkin seorang pelaku kriminal bisa diampuni oleh korbannya yang masih ingat jelas kebiadabannya.

Fobia tidak bisa diusir oleh faktor dan aktor pencetusnya sendiri. Musti ada cara dan pihak lain yang harus mengobati fobia itu. Itu logika solusi kompatibelnya.[***]


Benyamin Lagowan

Pemerhati Isu Sosial - Budaya, Hukum - HAM dan Pendidikan - Kesehatan di Papua


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA