Korelasi Penerimaan Negara 100 Persen Pada Kesejahteraan Rakyat

Selasa, 15 Januari 2019, 18:51 WIB
PEMERINTAH sedang berbunga-bunga. Akhir tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan realisasi penerimaan negara pada tahun 2018 telah mencapai 100 persen dari target APBN.

Sementara belanja negara, tercatat sudah sebesar 97 persen. APBN 2018 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.894,7 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.220 triliun. Capaian ini seolah menjadi kado indah bagi pemerintahan sekarang. Bahkan menjadi prestasi yang dibanggakan. Namun benarkah capaian ini merupakan prestasi pemerintah? Lantas, apakah dipastikan rakyat sejahtera?

Prestasi Semu

Penerimaan APBN tahun 2018 dianggap prestasi semu, karena tidak mencerminkan kinerja pemerintah, melainkan karena faktor eksternal yaitu kenaikan harga minyak dunia. Hal ini tercermin dalam besarnya penerimaan dari PNBP yang melonjak 86,8 persen dari tahun lalu dan capaian PPh Migas sebesar 156,7 persen dari target.

Selain faktor kenaikan harga minyak dunia, tingginya penerimaan negara juga disebabkan pelemahan Rupiah yang meningkatkan pajak impor. Semakin melemah nilai Rupiah, maka semakin besar nilai pajak yang diterima dalam bentuk rupiah. Sri Mulyani mengatakan, setiap pelemahan 100 per dolar AS menyumbang penerimaan Rp 4,7 triliun dan belanja juga naik sebesar Rp 3,1 triliun. Oleh karena itu, keseimbangan APBN sebesar Rp 1,6 triliun.

Sedangkan kinerja pemerintah bisa diukur dari Tax Ratio yaitu perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sejak beberapa tahun terakhir, tax ratio masih terbilang rendah dan cenderung memiliki tren turun.

Program amnesti pajak  belum mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Menurut Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira, pencapaian penerimaan memiliki efek jangka pendek. Pemerintah tidak bisa terus bergantung pada faktor eksternal. Jika ke depan keadaan berbalik, maka penerimaan negara juga akan ikut tergerus.

Korelasi Terhadap Kesejahteraan Rakyat

Hal yang perlu lebih dipastikan dari prestasi penerimaan APBN 2018 ini adalah korelasinya terhadap kesejahteraan rakyat. Tujuan pengelolaan APBN adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah bisa berbangga dengan capaian angka penerimaan, namun apakah hal itu menguntungkan rakyat?

Jika kita memperhatikan APBN 2018, tampak bahwa keseimbangannya defisit, yakni belanja lebih besar daripada penerimaan. Bahkan ketika penerimaan mencapai 100 persen, APBN tetap defisit sebesar sebesar Rp 259,9 triliun atau 1,76 persen dari PDB. Defisit ini akan ditutup dengan utang yang akan membebani APBN tahun-tahun berikutnya.

Di tahun 2019 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp396,54 triliun untuk membayarkan bunga dan cicilan pokok utang dalam APBN. Hal ini termuat dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 129 Tahun 2018. Dalam lampiran V, dijelaskan alokasi pembayaran bunga utang pada APBN 2019 mencapai Rp275,88 triliun, naik 15,62 persen dibanding 2018. Belanja pemerintah untuk membayar cicilan dan bunga utang akan makin besar dari tahun ke tahun.

Sebagai akibatnya, penerimaan negara dari sektor pajak digenjot, karena pajak mencapai porsi 85 persen dari penerimaan negara. Target penerimaan pajak terus naik tiap tahun. Sebagai informasi, target penerimaan pajak di tahun 2019 naik menjadi Rp1.783,76 Triliun dibandingkan rahun 2018 sebesar Rp 1.350,9 Triliun. Hal ini akan membebani rakyat karena beberapa jenis pajak diberlakukan pada semua rakyat, tanpa peduli apakah kaya atau miskin.

Ironisnya, kekayaan alam milik rakyat tak pernah dirasakan manfaatnya. Sumber daya alam itu pergi keluar negeri diangkut oleh perusahaan multi nasional yang menguasainya.

Rakyat hanya mendapat bagian pajak yang tak seberapa dan persoalan lingkungan untuk jangka waktu sekian lama.

Rakyat tetap saja jauh dari sejahtera, meski pemerintah mengklaim prestasi ini dan itu. Karena prestasi itu adalah capaian angka di atas kertas. Padahal prestasi penguasa yang riil adalah ketika mampu menyejahterakan rakyatnya secara nyata, bukan angka. Sayangnya, sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan saat ini justru sibuk dengan hitungan angka, meski realita menunjukkan sebaliknya.

Perlu kritik mendasar atas sistem ekonomi kapitalis dan mewujudkan sistem ekonomi yang menyejahterakan. Yaitu sistem ekonomi yang mengembalikan kekayaan alam pada pemiliknya (rakyat).  Sehingga kekayaan Indonesia bisa dinikmati publik, bukan hanya segelintir korporasi. [***]


Ragil Rahayu, SE
Komunitas Revo-Ekonomi


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA