Prabowo, Indonesia 2030, Dan Serbuan Cebong

Sabtu, 24 Maret 2018, 12:14 WIB
"SAUDARA-saudara! Kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara. Gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini. Tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030.

Bung! Mereka ramalkan kita ini bubar. Elite kita ini merasa bahwa 80 persen tanah seluruh negara dikuasai 1 persen rakyat kita, enggak apa-apa. Bahwa hampir seluruh aset dikuasai 1 persen, enggak apa-apa. Bahwa sebagian besar kekayaan kita diambil ke luar negeri tidak tinggal di Indonesia, tidak apa-apa. Ini yang merusak bangsa kita, saudara-saudara sekalian
!"

Inilah salah satu bagian petikan pidato Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang tersiar melalui video dari laman resmi Partai Gerindra beberapa waktu lalu. Pidato ini cukup menggegerkan publik. Mereka bertanya-tanya: Apakah Prabowo benar-benar serius dengan pernyataannya?

Memang, dari sekian banyak yang mempertanyakan statement Prabowo, ada juga yang mengamini. Mulai dari Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah hingga mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Fahri menyebut pernyataan Prabowo masuk akal. Sedangkan Gatot juga tidak mengingkarinya. “Semua itu mungkin, dari mana yang tidak mungkin. Apabila kemiskinan dibiarkan, apabila kesenjangan sosial makin tinggi, rakyat akan frustrasi. Begitu krisis ekonomi, ada krisis sosial. Manakala itu berkelanjutan, terjadi kerusuhan besar," ujar Gatot.

Saya pribadi tidak kaget dengan pernyataan Prabowo di atas. Sebab, dalam sebuah agenda yang saya ikuti di Padepokan Garuda Yaksa Hambalang Juli 2017 lalu, saya mendengarkan langsung pernyataan itu dari Prabowo. Ia yang saat itu menggaungkan tentang bagaimana menghidupkan kembali Nasionalisme dalam berbangsa, kemudian mengungkapkan tentang bacaan ahli-ahli strategi dunia tentang nasib Indonesia di 2030.

Tentu, Prabowo tidak sedang main-main dengan pernyataan itu. Sebagai salah satu tentara yang pernah menjadi lulusan terbaik di sejumlah pendidikan kemiliteran di Eropa dan Amerika, tentu saja Prabowo paham dengan dunia politik dan intelijen global. Apalagi ia pernah berhasil memimpin operasi penyelamatan peneliti Ekspedisi Lorentz 95 yang disekap oleh Organisasi Papua Merdeka dalam operasi pembebasan sandera mapenduma pada tahun 1996. Prabowo membuktikan kepada konsultan-konsultan militer dari Delta Force Amerika dan SAS Inggris bahwa misi penyelamatan yang mereka vonis "mission impossible" dapat diselesaikan. Prabowo juga berhasil memimpin 28 pasukan elit prajurit Kopassus yang mengamankan Presiden Fretilin, Nicolau Lobato dalam operasi penangkapan pada tanggal 31 Desember 1978.

Prabowo juga tak sedang berkhayal tentang Indonesia 2030, apalagi berharap Indonesia runtuh seperti Uni Soviet. Bukankah Uni Soviet pernah menjadi negara adidaya yang punya “Red Army” yang sangat kuat di dunia, tetapi ternyata hanya bertahan 70 tahun, dan setelah itu bubar berantakan? Prabowo jauh dari khayalan itu.

Kita juga yakin Prabowo tak sedang meramal Indonesia sebagaimana yang dilakukan Arkand Bodhana Zeshaprajna, pria yang belasan tahun mempelajari metafisika. Doktor lulusan University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat ini meramalkan bahwa Indonesia  akan terus mengalami kehancuran dimulai pada 2020. Ia menjelaskan, dalam ilmu yang dikuasainya dapat terlihat kapan sesuatu hal bakal terjadi. (Merdeka, 27 Februari 2014).

Penjelasan Prabowo

Pernyataan Prabowo itu langsung menyulut perbincangan dan kehebohan publik. Bahkan tidak sedikit para pendukung Jokowi di dunia maya atau yang dikenal dengan sebutan “kecebong” atau “cebong” langsung ‘nyinyir’ bahkan hingga melancarkan kalimat-kalimat bernada ‘bully’ terhadap Prabowo.

Namun bukan Prabowo namanya kalau masih "baperan". Ia tidak pernah baper untuk urusan bangsa. Ia juga tak mau membawa aspek perasaan dan emosi untuk kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Itulah yang ia tunjukkan saat mengusung Anies Baswedan di Pilkada DKI. Padahal Anies tidak hanya Timses Jokowi pada Pilpres 2014, tetapi saat itu juga sempat menjelek-jelekkan Prabowo juga. Namun Prabowo mengabaikan itu semua. Selain itu, Prabowo juga tak segan menghadiri Pelantikan Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu meskipun banyak orang sebelumnya 'nyinyir' dan melancarkan tuduhan seolah semua sisi dari Prabowo adalah negatif.

Kini, dalam urusan bangsa Prabowo kembali menunjukkan anti-baper. Meski dibully Cebong karena menyampaikan hasil kajian intelijen asing, ia tak peduli dengan bully. Ia jalan terus. Bahkan ketika ditanya wartawan soal itu, Prabowo malah tampak tenang dan bahkan meminta wartawan agar juga membaca novel berjudul “Ghost Fleet: Novel of the Next World War”, buku yang jadi sumber Prabowo soal bubarnya Indonesia 2030. Meski berbentuk Novel, Prabowo mengatakan bahwa buku tersebut disusun dari kajian ilmiah yang ditulis oleh ahli intelijen dan strategi P. W. Singer dan August Cole.

"Jadi diluar negeri itu ada skenario writing memang bentuknya mungkin novel tapi yang nulis itu ahli ahli intelegen strategis," kata Prabowo.

Prabowo pun mengakui ia menyatakan hal itu untuk mengingatkan agar masyarakat dan pemerintah tak mudah dipecah belah oleh pihak asing yang memiliki keinginan untuk mengeruk dan menguasai kekayaan Indonesia.

Cebong, bukan Kelas Prabowo

Namun meskipun Prabowo sudah menjelaskan alasan-alasan di balik peringatan tentang Indonesia 2030, pasukan cebong tetap tidak mau tahu dan tetap ‘nyinyir’. Karena itu, melihat respon “cebong” yang tak mau menghargaan sumbangan informasi penting dari Prabowo Subianto, seorang kawan tiba-tiba merespon, “Ya Maklum, ‘kecebong’ itu nggak sampailah pada pikiran Prabowo. Akal mereka gak sampe ke kalas Prabowo. Beda maqam. Ibaratnya, Prabowo Ma’rifat dan cebong itu masih Syariat.”

Memang, dalam dunia tasawuf, kita mengenal tiga pembagian populer, yakni Syariat, Tarekat, dan Ma’rifat. Level Syariat adalah level permukaan dari sebuah proses pendekatan manusia terhadap Tuhannya. Tarikat adalah jembatan yang menjadi perantara dari syariah menuju hakikat (Lihat As-Sayid, Takrifat, hlm. 94). Sementara level ma’rifat merupakan yang tertinggi. Ia menyangkut maqam (posisi) tertinggi di kalangan panganut tarekat. Ini berbeda dengan ajaran Islam non-tasawwuf, di mana kita mengenal tiga prinsip pokok, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan, sebagaimana hadis shahih riwayat Muslim dari Umar bin Khattab - yang kemudian dikenal dengan hadits Jibril.

Bila diibaratkan lautan yang di dalamnya terdapat mutiara, maka level Syariat dibaratkan sebuah perahu yang harus dinaiki untuk mengantarkannya ke tengah lautan. Kemudian keberanian untuk menyelam adalah level tarekat. Sementara mutiara itu sendiri adalah ma’rifat. Ia menyangkut siapa yang tertinggi dari sebuah proses.

Tentu, saya tidak sedang menganggap Prabowo berada di level ma’rifat dalam konteks tasawuf, sehingga ia menjadi sosok sufi. Tetapi dalam konteks pemahaman dan keahliannya dalam bidang strategi intelijen, Prabowo layak mendatkan status "ma'rifat". Ini ditambah dengan perenungannya tentang nasib bangsa ini yang begitu jujur, kedalamannya menjelajahi berbagai persoalan bangsa, hingga tingginya nasionalisme yang melekat dalam jiwanya.

Oleh karenanya, jika kelompok Cebong kemudian menyerangnya, maka sesungguhnya itu tak pantas untuk dilayani. Sebab 'maqam' Prabowo jauh di atas ‘cebong’ yang boleh dibilang baru pada level Syariat. Perihal ini setidaknya dapat diketahui dari pandangan-pandangannya yang banyak ditemukan dalam buku monumentalnya “Pandangan Strategis Prabowo Subianto: Paradoks Indonesia”.

Dalam buku ini, kita akan mudah menemukan berbagai paradoks dari kekayaan alam kita yang luar biasa, tetapi justru dinikmati oleh asing. Negeri ini kaya raya, tetapi masih banyak rakyat hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Dalam buku setebal 132 halaman ini persoalan bangsa yang dipetakan ke dalam lima bagian. Pertama, Membangun Kesadaran Nasional. Kedua, Tantangan Besar 1: Kekayaan Indonesia Mengalir Ke Luar. Ketiga, Tantangan Besar 2: Demokrasi Indonesia Dikuasai Pemodal Besar. Keempat, Strategi Kita: Mencegah Tragedi Indonesia. Kelima, Menjawab Tantangan Sejarah.

Paradoks ini sebenarnya juga dapat ditemukan dari slogan “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo”. Slogan ini luar biasa. Ia menggambarkan keadaan bumi pertiwi Indonesia yang sangat kaya. Hanya saja ia baru pada level slogan, belum terealisasi dalam dunia nyata. Slogan ini belum mampu mengangkat nasib anak-anak bangsanya. Bukankah masih banyak anak-anak bangsa ini yang mati karena kelaparan dan busung lapar?

Bukankah yang terbaru begitu banyak anak-anak di Kabupaten Asmat, Papua yang terkena gizi buruk dan busung lapar sehingga menelan banyak korban jiwa? Hingga 28 Januari 2018, total 71 anak meninggal dunia akibat gizi buruk dan campak di Asmat. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya 68 orang. Sementara ratusan lainnya hingga saat ini masih menjalani perawatan.

Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Moh Ilyas
Pemerhati Politik, Alumnus Pascapol UI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA